Carma Mira dan karyanya (Foto Ari Suarka).

Buku kumpulan cerpen Ngantosang Ulungan Bulan (Menanti Bulan Jatuh) karya Carma Mira (Klungkung, Bali, 31 Agustus 1991) ditetapkan sebagai buku sastra Bali modern terbaik tahun 2023. Buku yang diterbitkan Pustaka Ekspresi, Tabanan, itu dianugerahi Hadiah Sastra Rancage 2024 untuk kategori sastra Bali modern.

Selain karena enak dibaca dan menampilkan tema orisinal, apakah kelebihan antologi cerpen Ngantosang Ulungan Bulan sehingga ditetapkan sebagai buku terbaik tahun 2023? Bagaimana gambaran karya-karya lainnya?

Laporan audio visual, bisa disimak di sini.

Banyak Buku Baik

Penerbitan buku sastra Bali modern tahun 2023 ditandai munculnya banyak buku baik, bentuk dan isinya. Ada kumpulan puisi yang liris, inovatif, imajinatif dengan tema dan amanat aktual. Ada antologi cerpen dengan alur cerita menarik, konflik kuat berlapis, dan padat amanat.

Ke-12 buku sastra Bali yang terbit 2023.

Karena nominasi buku terbaik untuk hadiah sastra Rancage hanya satu, tidak mungkin memilih lebih dari satu. Buku-buku yang baik lainnya, dengan berbagai pertimbangan, tidak mendapat anugerah tetapi tetap hadir sebagai karya mulia dan patut diapresiasi pecinta sastra Bali.

Syukur dunia sastra Bali memiliki pengarang-pengarang yang memiliki passion berkesenian, bukan (semata) untuk mencari anugerah material. Karya-karya mereka dan karya pengarang lainnya sudah dan selalu akan hadir sebagai pilar kelestarian seni budaya Bali.

Rata-rata 10 Judul per Tahun

Setiap tahun jumlah buku sasatra Bali modern yang terbit relatif stabil, yakni rata-rata 10-an judul. Kenaikan atau penurunan dari angka 10 tidak pernah drastis.

Pada tahun 2023 terbit 12 judul, meningkat dua judul dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 10 judul. Sama dengan tahun sebelumnya, buku-buku yang terbit tahun 2023 ini pun sebagian besar diterbitkan oleh penerbit Pustaka Ekspresi, Tabanan, Bali. Yang lainnya diterbitkan Mahima (Singaraja) dan Oase (Sukoharjo, Jawa Tengah).

Yang terakhir ini penting dicatat karena biasanya buku sastra Bali modern diterbitkan penerbit yang beralamat di Bali.

Selain lewat buku, karya sastra Bali juga muncul di media massa (cetak dan daring), seperti rubrik Angripta Rum (koran Nusa Bali), rubrik Media Swari (koran Pos Bali), Ajeg Bali (koran Media Bali), dan Suara Saking Bali, sebuah majalah daring berbahasa Bali.

Untuk pertama kalinya, terbit majalah berbahasa Bali yang baru, yaitu Sentir (Suluh/ Lampu), Vol. 1 (Juli-September 2023), dengan keberkalaan tiga bulan sekali. Majalah ini memuat puisi, cerita pendek, dan profil sastrawan. Banyak karya yang terbit di rubrik-rubrik sastra media massa tersebut yang kemudian dikumpulkan penulisnya untuk diterbitkan menjadi buku.

Dapat dikatakan bahwa kehidupan sastra Bali modern mendapat dukungan dari dua lembaga: penerbit dan media massa.

Jumlah buku terbit 12 judul tahun 2023 terdiri atas 6 buku kumpulan cerpen, 5 kumpulan puisi, dan sebuah majalah yang memuat puisi dan cerita pendek (Lihat tabel di bawah). Dari antologi puisi itu, ada satu antologi karya bersama dari siswa SMP 2 Sawan, Bali Utara, yang berjudul Nyurat Rasa Ngupapira Basa (Menulis Rasa Merawat Bahasa). Judulnya mengandung pesan yang cocok dikobarkan, terutama di kalangan siswa yang akan menjadi generasi masa depan Indonesia, yang wajib menjaga bahasa nasional dan bahasa daerah.

Dilihat dari umur pengarang, rentangnya adalah dari pengarang kelahiran 1959 (usia 65 tahun) yaitu Ngakan Made Kasub Sidan hingga kelahiran 2000 (usia 24 tahun) yaitu Ni Wayan Antari. Kebanyakan pengarang tergolong usia produktif untuk berkarya. Kehadiran penulis produktif memancarkan optimisme bahwa sastra Bali modern akan terus berkelanjutan.

Secara umum, karya sastra Bali yang terbit tahun 2023, baik berupa antologi puisi maupun cerpen menunjukkan kreativitas pengarang Bali dalam pencarian estetika ekspresi. Tiap pengarang menyajikan gaya yang berbeda-beda. Minat, latar belakang pendidikan, daerah asal pengarang yang berbeda-beda ikut menentukan gaya ekspresi mereka. Pengarang dari Klungkung dan Karangasem (Bali Timur) dan Singaraja (Bali Utara) misalnya memiliki dialek bahasa Bali yang sedikit berbeda sehingga estetika bahasa mereka juga terasa berbeda.

Akan tetapi, karena mereka sama-sama menulis tentang Bali, sebagai orang Bali, dalam lingkungan budaya Bali, dalam periode waktu yang sama dengan situasi sosial yang sama, maka karya-karya mereka memiliki persamaan dalam tema, misalnya tema tentang pandemi Covid-19, tema sosial politik umum atau isu menjelang pemilu, penyakit sosial seperti korupsi, romantika remaja jatuh cinta, dan isu-isu masalah domestik.

Antologi Puisi

Dari lima antologi puisi yang terbit, bisa dicatat hadirnya puisi-puisi pendek, ditulis dengan irama kuat dalam bunyi suku kata terakhir, tema-tema kritik sosial, puisi tentang tempat wisata atau bersejarah, dan pandemi Covid. Muncul juga beberapa puisi tentang makanan dan minuman yang diungkapkan penyair antara lain untuk mengartikulasikan rasa sedih, duka, dan cinta.

Antologi puisi Cangkik den Bukit karya Komang Sujana, memuat 68 judul puisi, tampil menarik dengan tema politik, pandemi covid, dan tema-tema lokal tentang tempat-tempat populer di Singaraja seperti daerah wisata Lovina dan Pelabuhan Buleleng. Sujana adalah alumni S1 dan S2 Pendidikan Bahasa dari Undiksha Singaraja, dan kini menjadi guru bahasa Bali di SMPN 2 Sawan, Bali Utara.

Dalam antologinya ini, pembaca bisa menyimak puisi berjudul “Senja ring Pelabuhan Buleleng” mengingatkan pada sajak Chairil “Senja di Pelabuhan Kecil”, melukiskan pelabuhan Buleleng sebagai tempat rekreasi dan romantik remaja.

Kekhasan sajak-sajak Komang Sujana terletak pada ungkapan yang ringkas, irama yang terjaga dengan permainan bunyi yang mengesankan, dan penggarapan secara orisinal tema-tema yang umum. Contoh sajak “Covid Siangolas’, dengan empat bait dengan kalimat/ frase pendek, bersyair dari kalimat pertama sampai akhir: Pagantung tastas/ Jinah telas/ Sesepelan Telas// (Tumpuan habis/ Duit habis/ Simpanan habis).

Antologi bersama siswa SMPN 2 Sawan Nyurat Rasa Ngupapira Basa (Menulis Rasa Merawat Bahasa) yang memuat 56 sajak, karya 12 siswa. Pilihan tema dan estetika sajak-sajak mereka mirip dengan sajak-sajak Komang Sujana, guru bahasa Bali sekaligus mentor sastra mereka. Tema Covid-19 misalnya muncul dari tiga siswa dengan sudut pandang berbeda. Sajak-sajak mereka terasa polos, dibandingkan dengan karya mentornya, Komang Sujana. Apresiasi pantas diberikan kepada Komang Sujana sebagai pembimbing yang membina lahirnya calon-calon penulis sastra Bali.

Antologi Pasisi Lawar lan Sake (Pesisir Lawar dan Sake) karya Wayan Esha Bhaskara (memuat 64 puisi. Judul antologi menarik karena keanehannya berjejer sebagai judul yang tanpa makna eksplisit. Ternyata judul ini berasal dari tiga judul puisi yang memang tidak ada kaitan tekstual sama sekali.

Puisi “Pesisir” mengungkapkan tentang romantisme remaja yang hendak menghanyutkan rindunya di pantai, sake tentang minuman yang memabukkan, dan lawar makanan khas Bali yang enak tapi menyesakkan. Hal lain yang menarik dari antologi ini adalah hadrinya sajak-sajak tentang makanan-minuman: sake, lawar, kopi, kelepon, dan nasi jinggo. Ada yang ditulis semata untuk menggambarkan makanan tersebut, ada juga yang menjadi metafora untuk renungan kehidupan.

Antologi puisi Poleng karya Eka Murdiatika Yasa memuat 41 puisi yang dominan mengambil tema kritik sosial dengan menjadikan berbagai isu sebagai landasan kritik seperti covid (corona) dan isu politik. Kritik sosial dalam puisi dengan bunyi akhir sama seperti syair itu banyak diarahkan untuk membangun kesadaran ajeg Bali, agar Bali lestari, tidak rusak atau hancur karena kelalaian.

Dalam menyampaikan kritik, penyair yang bekerja sebagai penyuluh bahasa Bali ini terkadang mengambil posisi kritik langsung (puisi “Propokasi”) bisa juga mengambil posisi halus menyindir (puisi “Ampura” [“Maaf”), atau satire (puisi “Beli Bali” dan “Bali Lali” [Bali Lupa]).

Buku puisi terakhir, yaitu Geguritan Sraya Kanti Atma Luwih (Nama Empat Tokoh Cerita: Wayan Sraya, Made Kanti, Nyoman Atma, Ketut Luwih) karya IBW Widiasa Keniten, peraih dua kali hadiah sastra Rancage. Buku ini agak lain dengan antologi puisi di atas karena ditulis dalam bentuk bait-bait khas yang disebut pupuh (tembang), seperti sinom, ginada, pucung, durma. Melihat karakteristik puisi ditulis menggunakan pupuh, Geguritan Sraya Kanti Atma Luwih) ini lebih pas dimasukkan ke dalam genre sastra Bali tradisional, daripada sastra Bali modern.

Karakteristik lainnya dari geguritan karya sastrawan yang sangat produktif ini adalah narasi disampaikan lewat cerita dalam cerita, mendekati bentuk cerita berbingkai. Sejauh isinya dicermati, puisi tradisional ini menyampaikan pesan moral universal, yakni pentingnya kesadaran setiap insan menegakkan kebenaran dan mewujudkan kesucian.

Antologi Cerpen

Enam kumpulan cerpen yang terbit 2023 menunjukkan dua estetika utama, yaitu cerpen cerpen-cerpen non-konvensional (absurd) dan konvensional.

Antologi cerpen Ada karya Komang Adnyana yang memuat 11 judul cerpen tampil khas dan dapat dikategorikan cerpen-cerpen non-konvensional. Absurditas dalam cerpen-cerpen di sini terasa karena narasinya menampilkan dunia dengan cara lain, mislanya sangat imajinatif, simbolik, dan minimalis. Kalimat-kalimatnya pendek-pendek, jauh dari kalimat biasa. Kekhasan lain dari antologi ini terletak pada judul-judul cerpen yang semuanya dimulai dengan kata “Ada”, misalnya “Ada Celeng Mamaca Cerpen” (Ada Babi Membaca Cerpen) dan “Ada Cerita Untuk Peteng” (Ada Cerita tentang Malam).

Seperti judulnya, cerpen tentang babi membaca cerpen melukiskan babi sebagai tokoh utama. Cerita ini melukiskan proses kreatif pengarang muda menulis cerita-cerita satire yang membuat babi sebagai pembaca menjadi emosional dan tersinggung merasa kena kritik.

Dengan menggunakan kalimat-kalimat pendek, pengarang Komang Adnyana yang pernah meraih haduah sastra Rancage 2012 ini menulis narasi atau adegan dengan cara yang tidak logis, simbolik, imajinatif, dan minimalis. Diperlukan pembacaan berulang dan pembaca sastra serius untuk dapat menafsirkan narasi simbolik dan imajinatif dari cerpen-cerpen non-konvensional ini.

Antologi cerpen Nasak Karbitan (Matang karena Karbit) karya Ardana Bukian berisi 16 cerita pendek. Cerita-cerita dalam antologi ini tergolong cerita konvensional, mengisahkan kehidupan dalam konteks keluarga, pendidikan (sekolah), kehidupan remaja, dan kehidupan sosial yang berkaitan dengan budaya. Kisah-kisah ini digunakan pengarang yang sehari-hari menjadi guru bahasa Indonesia di SMKI Kubu Tambahan Bali Utara ini untuk menyampaikan pesan moral atau kritik sosial.

Cerpen “Nasak Karbitan” yang menjadi judul antologi ini mengisahkan ketidakberesan orang-orang yang ingin mendapatkan kehormatan dan status lebih tinggi dengan menjadi dukun padahal tidak berilmu, menjadi pendeta padahal perilaku masih keduniawian alias belum matang, atau dipaksa matang dengan karbit.

Dalam cerpen “Sing Ja Amah Leak” (Bukan karena Diserang Setan) adalah cerpen yang hendak mendidik masyarakat untuk mengubah mindset dari percaya takhyul bahwa penyebab penyakit adalah setan menjadi percaya ilmu kesehatan. Amanat yang terlalu kuat membuat unsur cerita (kisah yang menghibur) dari keseluruhan cerpen-cerpen dalam antologi ini seperti menjadi unsur nomor dua.

Antologi cerpen Klangen Ngeberang Angen (Riang Menerbangan Angan) karya Made Suar-Timuhun, memuat 13 cerpen, juga tergolong kisah-kisah konvensional. Menariknya, cerpen-cerpen dalam antologi ini mengangkat tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan kontemporer, kekinian. Hal ini bisa dibaca dalam cerpen “Petani Youtuber”, juga dalam dua cerpen tentang Covid. Cerpen “Klangen Ngeberang Angen” mengisahkan pemuda yang pandai membuat layang-layang, tetapi kreativitasnya dihalangi oleh pemuda yang iri-hati. Kisah ini tersaji dalam alur dan konflik berlapis, dengan happy ending, yang membuat pesan moralnya sangat jelas, bahwa spirit untuk berbuat baik tidak akan pernah bisa dibendung oleh perilaku iri-hati yang anagonistik.

Kekuatan cerpen-cerpen Made Suar-Timuhun dalam antologi ini, tidak merata, dalam arti ada yang alur dan narasinya indah serasi, ada juga yang hadir sebagai sketsa tanpa alur yang sekuat karya lainnya.

Kumpulan cerpen Mrebutin Angin (Memperebutkan Angin) karya Ni Wayan Antari, (pengarang muda usia kelahiran Kintamani tahun 2000), memuat 11 cerpen yang mengisahkan masalah rumah tangga, hubungan anak dengan orang tua dengan berbagai pesan moral. Misalnya, tentang anak yang mesti menghormati orang tua, orang tua yang mesti memberikan teladan demi keharmonisan keluarga (jangan malah berselingkuh, seperti dalam cerpen “Las Ati Punyan Cempaka” [Gantung Diri di Pohon Cempaka]). Cerpen “Mrebutin Angin” mengisahkan anak-anak dalam satu keluarga yang memperebutkan warisan, namun lupa mengurus ibunya yang sakit-sakitan. Setelah ibunya meninggal, menjadi ‘angin’, barulah mereka menyembah-nyembah.

Serupa dengan kisah anak-anak yang tidak menghormati orang tua, cerpen “Tanah Lekad” mengisahkan seorang anak yang meninggalkan keluarganya merantau ke kota, karena sukses di rantau tidak menghormati saudara di desa bahlan angkuh dan menghina. Namun, ketika dia jatuh sakit di rantau, habis kekayaan untuk berobat tapi tidak sembuh, barulah pulang menjumpai orang tua, tapi terlambat ibunya keburu meninggal. Ungkapan dan kisah cerita dalam cerpen-cerpen ini pun orisinal, hadir dengan konflik dan alur yang menawan, dan pesan moral yang mendidik.

Antologi cerpen Lan Kobarang Apine (Hayo Kobarkan Apinya) karya Ngakan Made Kasub Sidan (kelahiran Klungkung, 1959) memuat 10 cerpen, dengan tema utama pesan moral agar manusia tidak sombong, jangan memuja setan, selalu waspada, tetapi selalu heroik untuk membela tanah air, seni, dan budaya.  Cerpen pertama “Lan Kobarang Apine” yang menjadi judul antologi ini adalah kisah heroik tokoh utama ikut berperang bersama Raja Gelgel melawan Belanda. Spirit lebih baik mati daripada dijajah menjadi salah satu sub-tema cerpen ini.

Selain spirit heroik dalam melawan penjajah, juga ada cerita spirit heroik sebagai relawan Covid, seperti terbaca dalam cerpen “Majalan Melah-melah, Luh” (Berangkatlah Baik-baik, Adinda). Kalau cerita “Lan Kobarang Apine” melukiskan duka-cita istri melihat suaminya meninggal dalam medan perang, cerita “Majalan Melah-melah, Luh” sebaliknya suami melihat istrinya meninggal di ‘medan perang melawan Covid’.

Salah satu ciri khas dari cerpen-cerpen dalam antologi ini adalah menjadikan suasana alam yang sebagai pembuka cerita, seperti lukisan senja kala gerimis dan lolong anjing, bulan purnama bulat indah, debur ombak pantai, angin mendesir, dan kabut dalam gerimis untuk membangun suasana duka cita sesuai tema cerpen. Cerpen-cerpen dalam antologi ini tampil dengan alur dan konflik tunggal dan sederhana.

Antologi cerpen Ngantosang Ulungan Bulan (Menanti Bulan Jatuh) karya Carma Mira, memuat 12 cerpen yang memiliki kualitas narasi, alur, dan amanat yang sama kuat. Penggarapan tema juga menarik karena menonjolkan substansi cerita yang orisinal, tampak inovatif dibandingkan karya-karya yang terbit tahun 2023. Ini tampak dari alur yang menarik, menyentuh dalam, dan ending cerita yang memiliki daya kejut yang kuat. Cerita pertamanya adalah “Mula Saja Bekung” (Memang Benar Mandul) mengisahkan sakit hati seorang istri/ menantu karena dicurigai mandul oleh mertuanya, sedih menahan sakit hati karena tidak bisa membela diri dari gelombang gosip, setelah akhirnya terbukti bahwa yang mandul adalah suaminya.

Sama dengan cerpen “Mula Saja Bekung”, cerpen “Ngantosang Ulungan Bulan” yang menjadi judul antologi ini juga melukiskan derita perasaan tokoh perempuan. Bedanya, sedih-duka tokoh perempuan bukan karena dituduh mandul, tetapi tidak diizinkan menikah dengan pacarnya dengan alasan dia sebagai anak ketiga harus menanti agar dua kakak laki-lakinya menikah dulu, tidak boleh mendahului. Ayah ibunya menekan keras agar tokoh perempuan ini sabar menanti. Akhirnya terungkap, kakaknya nomor dua tidak akan menikah sebelum menyelesaikan kuliah spesialis (kedokteran), sedangkan kakaknya nomor satu yang disangka berpacaran dengan Carla (nama wanita) ternyata berpacaran dengan Charles (laki-laki). Terbayang bagaimana pernikahan sesama jenis sebagai sesuatu yang tidak mungkin. Setelah diketahui demikian, tokoh wanita semakin sedih karena penantian persetujuan menikah dari orang tuanya sia-sia, seperti menanti bulan jatuh.

Konflik-konflik cerita yang kuat dan alur yang memikat, membuat cerpen- cerpen lain karya Carma yang sehari-hari menjadi dosen Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Unud ini berhasil menyentuh hati dan menyampaikan pesan yang mendalam (Darma Putra, juri untuk Sastra Bali, sejak tahun 1999).