Diskusi buku “Nawa Sena”, Jumat 23 Juni 2023 di Kantor Kompas Renon Denpasar.


SENANG rasanya diundang untuk berbagi dalam acara diskusi buku perpaduan novelet dan lukisan Nawa Sena (2023) karya duet sastrawan Dr. AA Mas Ruscitadewi dan perupa-dosen Dr. I Wayan Sujana Suklu, di kantor perwakilan surat kabar Kompas Renon Denpasar, Jumat, 23 Juni 2023. 

Acara dibuka oleh Rektor ISI Denpasar Prof. Wayan Kun Adnyana. Prof. Kun menyambut baik hadirnya buka kombinasi rupa dan sastra. Di dalamnya diksi dan fiksi berkelindan mengeksplorasi dan menawarkan estetika baru dan orisinalitas.

Acara yang dipandu jurnalis kocak kelas berat Wayan Juniarta itu menampilkan lima pembahas: Dewa Palguna, I Made Sujaya, I Gusti Agung Paramita, Dian Dewi Reich, dan I Nyoman Darma Putra. 

Sekitar 20 orang yang hadir, terdiri atas seniman, sastrawan, budayawan, peneliti, dosen, journalis, dan penekun pariwisata atau event organiser. Jarang ada pertemuan seperti ini sejak covid-19, makanya diskusi Jumat itu penuh semangat dan suka-cita.

Buku Nawa Sena diterbitkan Bali Mangsi Denpasar. Buku setebal sekitar 108 halaman, hadir dengan sejumlah kata pengantar dari para tokoh, termasuk Dewa Palguna (hakim, budayawan), I Gde Joni Suhartawan (budayawan), I Ketut Sumarta (ahli sastra Bali, budayawan), dan Hartanto (budayawan, penyair, pengelola Bali Mangsi). 

Talen Masing-masing

Dalam Nawa Sena ini, Suklu dan Mas menyajikan talennya masing-masing. Suklu menyajikan lukisan-lukisan abstrak yang dahsyat, Mas Rus menjadikan lukisan itu sumber inspirasi menulis novelet dengan isi dan bahasa yang sangat kuat.

Kehadiran buku ini mengingatkan kita pada buku puisi rupa Gajah Mina (2021) karya duet pelukis Made Gunawan dan penyair Dokter ahli kandungan Sahadewa. Sama dengan Nawa Sena, buku Gajah Mina juga diterbitkan oleh Bali Mangsi. Bedanya, Gajah Mina adalah perpaduan seni rupa dengan puisi, sedangkan Nawa Sena perpaduan seni rupa dengan novelet.

Keduanya produk kreativitas Bali Mangsi.

Esensi di balik penyusunannya kurang lebih sama yakni memberikan ruang kreatif antara perupa dan sastrawan untuk saling merespon karya. Secara konvensional, terutama dalam konteks media dan penerbitan kontemporer, lukisan atau gambar dalam buku biasanya dianggap sebagai ilustrasi, istilah yang menganggap lukisan sebagai pelengkap. Dalam buku Nawa Sena dan Gajah Mina, lukisan sejajar kedudukannya dengan teks, resiprokal dalam ruang kreativitas.

Lukisan Suklu dan Narasi Gung Mas Rus.

Sebetulnya, resiprokalitas antara seni rupa dan sastra dalam kebudayaan Bali dan dunia sudah lama terjadi, terus sampai sekarang, sehingga bisa dikatakan bersifat universal. Dari Timur Tengah kita tak hanya mendapat cerita Seribu Satu Malam atau Aladin tetapi juga mendapat lukisan tentang keduanya, bahkan kisah dalam film.

Di Bali, banyak lukisan bertema epos Mahabharata dan Ramayana. Bisa jadi orang melukis karena membaca atau menonton fragmen epos Mahabharata atau Ramayana, atau bisa saja orang menuturkan kisah itu berdasarkan gambar atau ukiran yang ada. Usaha memadukan keduanya bukanlah hal baru, tetapi tetap mesti dihargai karena dia meneruskan tradisi kreativitas yang baik dan berterima secara ultimate.

Dalam bahasa Suklu, proses kreatifnya dengan Gung Mas Rus, terjadi dalam proses intermingle, bersatu bersama. Agung Paramita menjelaskan proses kerja bersama itu dengan istilah surup-sumurup, saling memasuki, saling memengaruhi. Saya menyebutkannya sebagai pasatmian, yaitu proses bersatunya zat atau esensi masing-masing.

Dalam proses surup-sumurup itu tidak perlu lagi diperdebatkan siapa memengaruhi dan siapa dipengaruhi. Tak perlu lagi ada debat mana lebih dulu telur atau ayam, lukisan atau sastra, sebaliknya sastra atau lukisan, tak perlu menyebutkan ini sebagai lingkaran setan (vicious circle) karena ini adalah lingkaran genius (genius circle).

Tahun 1947, duet penulis buku pelajaran berbahasa Bali I Made Mendera dan IGB Soegeriwa (namanya diabadikan sebagai nama Universitas Hindu Negeri IGB Sugeriwa) menerbitkan karya berjudul Giri Koeta. Giri dan Koeta adalah nama tokoh cerita Nyoman Giri dan Ketoet Koeta, yang dilukiskan sebagai dua orang yang sedang berjalan-jalan dari gunung (giri) ke kota. Pesan giri-kuta (gunung-kota) sudah bisa disimak dalam sampul buku. Isi buku melukiskan perubahan Bali dari era kekunoan (gunung) ke era kemajuan (kota).

Sampul buku dan lukisan.

Pelukis yang diajak berkolaborasi atau bersenyawa oleh Mendera dan Sugeriwa tidak ditonjolkan. Tidak ada penjelasan siapa pelukisnya. Yang jelas jumlahnya banyak, bukan satu pelukis. Belasan lukisan dalam buku ini adalah hasil karya pelukis berbeda. Untuk sampul, nama pelukisnya tercantum sebagai Tj Rai P., entah siapa beliau. Untuk lukisan di dalam buku, nama pelukisnya ada yang tercantum ada yang tidak, tetapi tidak jelas terbaca.

Penulis dengan cermat menyusun narasi untuk melukiskan kemajuan-kemajuan pembangunan di Bali, mulai dari hadirnya pendidikan modern, transportasi mobil dan kapal laut, kantor pos, suasana urban, dan kontras berobat dengan dukun dan dokter.

Lewat tokoh Nyoman Giri dan Ketut Koeta, kemajuan-kemajuan di Bali dilukiskan, dan diserta gambar-gambar yang sesuai. Gambar-gambar di sini tak bisa dianggap sekadar ilustrasi, berkedudukan lebih rendah daripada teks. Tidak. Karena kehadirannya sudah bersenyawa dengan teks, dan teks bersenyawa dengan gambar, menghadirkan pesan Bali memasuki era modernisasi.

Perpaduan atau Pasatmian “Nawa Sena”

Novelet Nawa Sena mengingatkan kita gaya Giri Koeta. Ini bukan soal tiru-meniru, bukan pengaruh-memengaruhi, tetapi lebih merupakan model kreativitas yang sederhana tetapi memesona yang dipilih penulis dan perupa yang baik untuk menghasilkan karya penuh pesona juga.

Nawa dan Sena adalah nama dua tokoh utama novelet Nawa Sena. Nawa digambarkan sebagai pelukis yang harum namanya [simbol Suklu), Sena dilukiskan sebagai sosok penulis yang cemerlang namanya (simbol Mas Rus). 

Gung Mas Ruscitadewi dan Wayan Suklu.

Dalam novelet, keduanya setia bersatu, saling genggam dalam petualangan hidup (hlm 8.), dan dikisahkan memiliki anak bernama Pradnya, yang kelak mencipta kisah atau menulis buku tentang ayah-ibunya, Nawa Sena (hlm 77). Pradnya atau Pradnya artinya pintar, berilmu, bijak. Persenyawaan Nawa Sena menghasilkan Pradnya alias kebijakan.

Dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno ada istilah pasatmian (satmya) yang berarti ‘satu dalam hakikat’ atau menjadi satu, dipersatukan. Dilihat dari isi dan spiritnya, lukisan Suklu dan tulisan Mas Rus dalam Nawa Sena telah menyatukan zat-zat atau sifat dasarnya, selain dalam kehidupan mereka berdua, juga lewat anaknya Pradnya yang melukiskan kisah mereka, sehingga “Nawa Sena” bisa dilihat sebagai sebuah pasatmian. Uraian lebih jauh tentang Pasatmian bisa dibaca di buku Heterogenitas Sastra di Bali (2021).

Sepertinya proses dan kreativitas pasatmian terus terjadi secara alami dalam dunia seni rupa Bali dan dunia secara universal, tak berlebihan rasanya menyampaikan dua hal berikut.

Pemancing bincang diskusi.

Pertama, berterima kasih kepada seniman budaya kontemporer yang melakukan pasatmian dengan sadar dan bergandengan tangan. Secara spesifik, terima kasih kepada Suklu dan Gung Mas Rus; Sahadewa dan Made Gunawan; dan tentu saja dengan Romo Hartanto lewat bendera penerbit Bali Mangsi yang telah berkarya nyata.

Lukisan Suklu yang dahsyat (atas dan bawah).

Kedua, semoga kreativitas dengan spirit pasatmian terus lahir menyemarakkan kehidupan seni sastra dan seni rupa kontemporer. Dengan berkarya bersama, mereka tidak saja bersatu secara simbolik dan tidak langsung, tetapi juga bergandengan tangan dalam langkah kreatif yang nyata.

Dalam bahasa Mas Rus, semoga ‘perkawinan perupa dan sastrawan’ tidak berhenti sampai di sini tetapi berlanjut gayut menghasilkan karya yang lango, nyata dan nyata indah (darma putra).