Tulisan ini merupakan karya wartawan senior Kompas, Putu Fajar Arcana, yang dimuat dalam rubrik EPILOG Kompas, 14 Juni 2023. Dimuat di sini atas seizin Fajar. Judul aslinya adalah “Tiket Pulang ke Surga”, yang merupakan terjemahan dari judul film “Ticket to Paradise”, yang menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini.
Tiket Pulang ke Surga. Jika kau menonton film “Ticket to Paradise”, semuanya adalah hasil rekaan tentang Bali, meneruskan cita-cita para “imigran seni” dari Eropa dan Amerika (Baca juga ulasan film ini di jurnal Humanis oleh Prasiwi Bestari).
Suatu siang yang terik di Sanur, saya bertemu dua orang yang berada di balik kesuksesan film Ticket to Paradise.
Pertama adalah Prof. Dr. Nyoman Darma Putra, tak lain adalah dosen semasa saya kuliah di Fakultas Sastra UniversitasUdayana, Denpasar, dan kedua lelaki kekar yang baru pertama kali saya kenal bernama Agung Pindha. Jik Gung, demikian lelaki ini akrab dipanggil, bahkan menjadi pemeran Wayan, ayah Gede (Maxime Bouttier).
Hari itu juga saya baru menyadari bahwa Jik Gung telah bermain dalam beberapa film produksi Hollywood, termasuk Pirates of The Carribbean dan Narnia. Jadi sebagai orang Bali dan aktor yang menetap di Queensland, Australia, iacukup diperhitungka n Hollywood.
Darma dan Jik Gung menjadi dua orang yang memberi arah dan detail tentang kebudayaan Bali, yang menjadi latar utama dalam film itu. Tidak hanya soal kesesuaian bentuk bangunan Bali, tetapi juga hal- ikhwal menyangkut adat-istiadat pernikahan orang Bali.
Film ini, kata Darma, tidak bisa melakukan shooting di Bali lantaran pandemi Covid-19 yang merebak di seluruh dunia. “Dan tahun 2021, Indonesia sedang melakukan PSBB— pembatasan sosial berskala besar. Jadi hanya memberi konsultasi lewat Zoom,” kata Darma.
Sementara Jik Gung, secara intensif menjadi pendamping sutradara dan penulis naskah Ticket to Paradise, Ol Parker, selama proses shooting di Queensland, Australia. Ia melihat film ini hadir tepat waktu. “Ketika pariwisata Bali sedang hancur karena pandemi, ia menjadi medium promosi paling populer dalam dunia industri pariwisata,” katanya.
Bali, menurut kajian Darma, entah mengapa hampir selalu diberi “anugerah” oleh tangan- tangan gaib Sang Pencipta. Ketika tatanan pariwisata Bali luluh- lantak oleh serangan bom berseri tahun 2002 dan 2005, muncul film Eat Pray Love yang diangkat dari novel populer Elizabeth Gilbert. Hebatnya, kata Darma, aktris papan atas Hollywood, Julia Robert, hampir selalu hadir di dalam film- film itu.
“Haruslah diakui bahwa kedua film itu telah membangkitk an gairah orang- orang Amerika untuk mengunjungi Bali. Dan itu mempercepat pemulihan Bali dari krisis,” ujar Darma.
Tuan rumah kami siang itu, Putu Ana Anandi, sedang berulang tahun. Kami disambut barbeque bersama beberapa orang sahabat, termasuk konsul Italia di Bali, Pino Confessa. Tentu saja selain barbeque, ada bir dan kacang kulit sebagai penyelaras suasana di bawah naungan pohon kelapa dan hamparan rumput hijau.
Tak jauh dari situ debur ombak Pantai Sanur membayangi pertemuan kami. Ada romantisisme terhadap Bali. Apalagi saat berjumpa dengan Agung Pindha, suasana romantis Bali itu semakin terasa. Bahwa banyak orang telah begitu bergairah datang ke pulau ini setelah mendengar cerita, membaca buku, atau menonton film di pelosok-pelosok dunia.
Tahun 2022 Balai Lelang Sotheby’s di Singapura berhasil melelang lukisan berjudul “Tierfabel (Animal Fabel-1928)” karya pelukis Wa l t e r Spies dengan harga fantastis: 4 juta dollar Singapura setara dengan Rp 42,5 miliar! Tentu saja harga ini amat fantastis untuk lukisan yang “hanya” berukuran 81 cm x 65 cm.
Sudah pasti bukan itu saja yang membuat saya menulis epilog hari ini, tetapi ada romantisisme terhadap alam Bali. Bali diposisikan sebagai entitas kultural eksotik yang tersisa di bumi. Pasca- Perang Dunia I telah lahir buku bertajuk The Last Paradise dari Hickman Powel yang terbit di Amerika tahun 1930 berdasarkan kajian tentang Bali tahun 1920-an. Buku ini juga dihiasi cover lukisan Wa l t e r Spies, yang menggambar kan alam pedesaan Bali dengan petani dan kerbau serta alam pepohonan yang asri.
Banyak pengkaji Bali percaya bahwa buku ini telah menjadi cikal-bakal lahirnya julukan ”Bali The Last Paradise”, yang mencitrakan bahwa Bali adalah sepotong surga yang tersisa di bumi setelah kehancuran yang disebabkan oleh perang. Penulis skenario film, seperti Muriel Stuart Walker, memilih mengembara ke Bali setelah menonton film dokumenter berjudul Bali The Last Paradise di Hollywood Boulevard. Ia pergi dari Amerika dan menuju Hindia Belanda (Indonesia via Batavia) tahun 1932, meninggalkan suaminya, Karl Jenning Pearson.
Muriel di kemudian hari menetap lama di Bali dan diangkat menjadi putri Raja Klungkung dengan nama Ktut Tantri. Kita bisa membaca novel biografinya dalam buku Revolt in Paradise. Pelukis Belanda, Johan Rudolf Bonnet, tahun 1928datang ke Hindia Belanda atas saran pelukis Belanda lainnya, WOJ Nieuwenkam p, ketika mereka bertemu di sebuah desa kecil bernama Anticoli Corrado, Italia. Nieuwenkam p sendiri telah berkeliling Hindia Belanda dan mengabadikan banyak obyek di Bali.
Tahun 1929, Bonnet akhirnya sampai di Bali. Dalam sekejap, ia menjadi akrab dengan Wa l t e r Spies, yang telah lebih dahulu ada di Bali, serta berkarib dengan Raja Ubud Tjokorda Gede Agoeng Soekawati (periode 1931-1950).
Sejarah kemudian mencatat tiga serangkai ini: Spies, Bonnet, dan Tjokorda Soekawati, mendirikan perkumpulan seni bernama Pita Maha. Organisasi inilah yang menjadi cikal-bakal lahirnya perupa- perupa kenamaan Bali seperti I Gusti Nyoman Lempad, Anak Agung Made Sobrat, Ida Bagus Made Poleng, serta banyak pelukis lainnya. Selain itu, Pita Maha melahirkan melukis bergaya Ubud, yang menjadi identitas baru bagi desa internasional itu.
Setelah ditangkap Jepang dan diasingkan ke beberapa pulau di Hindia Belanda, bahkan kemudian dideportasi ke Belanda, Bonnet tak kapok. Pada usia sepuh ia terus merintis pendirian museum di Ubud, yang kini kita kenal dengan nama Museum Puri Lukisan Ubud. Bahkan, kecintaannya kepada Bali ia ekspresikan dengan menulis wasiat agar jasadnya dikremasi dan dilarung di Bali.
Benar adanya, ketika wafat 18 April 1978 pada usia 83 tahun di Laren, Belanda, jenazah Bonnet diterbangkan ke Bali untuk dikremasi dan abunya dilarung ke laut di perairan Bali. Seluruh peristiwa itu terekam dalam ingatan publik dunia. Buku-buku seperti karya Hickman segera disusul oleh buku-buku lain, seperti Island of Bali (Miguel Covarrubias- 1937), yang membuat nama Bali kian mendunia.
Sebelumnya ada buku fotografi dan laporan dari seorang dokter muda asal Jerman bernama Gregor Krause berjudul Bali 1912 (1920). Foto-foto dalam buku inilah yang menginspirasi banyak seniman “bermigrasi” ke Bali. Mereka berebut ingin mendapatkan tiket untuk menuju surga terakhir yang tersisa di bumi.
Ketika film Eat Pray Love dan Ticket toParadise dirilis, kebenaran tentang keberadaan surga terakhir di bumi itu seolah terkonfirmasi. Jika Elizabeth Gilbert merasa mendapatkan pencerahan di Bali, pasangan David (George Clooney) dan Georgia (Julia Robert) kembali menemukan perasaan cinta satu sama lainnya. Meski berangkat dengan kebencian dan mengemban misi mencegah pernikahan Lily (Kaitlyn Dever) dengan Gede, pasangan cerai David dan Georgia, utuh kembali setelah mengunjungi “Bali”.
Memang shooting film Ticket to Paradise tidak bisa dilakukan di Bali karena alasan pandemi. Namun, pulau kecil di timur Jawa itu menjadi latar utama film ini dan tentu saja menjadi alasan utama pulihnya hubungan cinta di antara manusia. Pencatatan dalam berbagai dokumentasi dan ingatan yang demikian kuat telah menjadikan Bali lahir sebagai wilayah yang “sakral”. Jargon seperti the last paradise atau jargon lain seperti island of God seolah mengandung mantra magis yang menyebabka n banyak orang terhipnotis untuk mencari kedamaian di pulau itu.
Bahkan, tak jarang penduduk lokal Bali sendiri menghubung -hubungan citra “adiluhung” Bali di mata dunia itu, dengan gelaran upacara yang seolah tiada henti di situ. Bahwa upacara- upacara itu telah menghidupka n Bali secara spiritual; memiliki energi spiritual untuk menarik orang datang.
. Jika dilihat dari konsep marketing, tentu saja Bali telah mendapatkan promosi secara gratis lewat berbagai aktivitas kreatif yang telah dimulai jauh hari. Pemerintah kolonial Belanda telah mempromosi kan Bali sebagai tujuan wisata sejak tahun 1914 lewat brosur-brosur wisata di Eropa.
Marketing yang barangkali tanpa sengaja dilakukan, seperti berbagai publikasi dari para penulis dan seniman itu, telah membuat branding Bali demikian kuat. Coba saja ingat- ingat, bagaimana kekuatan branding Bali itu kemudian diikuti oleh komoditas seperti jeruk dan salak Bali yang,” katanya” paling enak di dunia. Benar atau enggaknya silakan dibandingkan dengan jeruk dari China atau salak pondoh dari Yogyakarta.
Ilmu cultural studies yang digencarkan oleh Jean Baudrillard menyebut permainan ini sebagai simulacrum. Simulacrumtak lain penciptaan kenyataan melalui model konseptual yang berhubungan dengan mitos, yang tidak dapat dilihat dalam kenyataan. Semuanya adalah simulasi- simulasi yang sengaja diciptakan untuk mengaburkan kenyataan. Dalam pada itu, kau tidak dapat lagi membedakan secara jelas mana yang nyata mana yang semu. Teori itu melahirkan sebutan Bali adalah kenyataan yang semu. Dia hidup dan diceritakan dalam berbagai publikasi sehingga menarik banyak orang untuk datang.
Peneliti tentang Bali, Adrian Vickers, menyebut apa yang sebenarnya “dinikmati” oleh banyak wisatawan kini di Bali tak lain adalah buah ” rekayasa” kolonialisme, yang disebut dengan Baliseering atau Balinisasi. Proyek kebudayaan ini diluncurkan kolonialis Belanda akhir tahun 1920-an sebagai “kompensasi” kehancuran Bali yang disebabkan oleh Perang Puputan 1906.
Proyek kebudayaan ini seperti “menciptakan ulang” kebudayaan Bali agar tidak lagi diberi embel- embel eksotis alias primitif. Sejalan dengan itu Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyertakan Bali sebagai peserta dalam The Paris Coloniale Exposition 1931, di mana diperkenalka n tarian kecak, calonarang, dan legong kepada dunia. Rombongan seniman Bali itu dipimpin langsung oleh Tjokorda Gede Soekawati.
Proyek kebudayaan itu, kata Darma, semakin menguatkan branding Bali sebagai the last paradise. ” Orang seperti terbius oleh keeksotisan Bali. Makanya, orang seperti Bonnet, juga Antonio Blanco, mungkin juga Spies, bermimpi untuk mati di Bali. Karena dalam mimpi mereka, inilah surga terakhir yang bisa mereka cecap sebelum benar-benar hilang secara wadag,” kata Darma.
Oleh sebab itu, jika kau menonton film Ticket to Paradise, semuanya adalah hasil rekaan tentang Bali, meneruskan cita-cita para “imigran seni” dari Eropa dan Amerika, untuk menemukan surga terakhir di bumi sebelum mereka pamit untuk selamanya. Bukan semata latar peristiwa Bali yang disimulasikan di Queensland, melainkan seluruh gambaran kenyataannya adalah citraan yang semu. Barangkali itulah cara kita memuaskan rasa haus akan kehadiran surga, yang bisa kita reguk dan bagi-bagi bersama sebelum akhirnya lenyap dari muka bumi.
Sebelum kau benar-benar pergi genggamlah tiket masing- masing. Yakinkan bahwa itulah jalan terakhirmu untuk pulang menuju surga.