Pekan lalu, di sela diskusi buku “Nawa Sena” karya kolaborasi perupa I Wayan Sujana Suklu dan Mas Ruscitadewi, saya mendapat hadiah buku terbaru Pak Prof. Darma Putra, guru besar sastra di FIB Unud yang juga menjadi promotor saya.

Buku bertajuk Stigma Sastra Sayembara: Perkembangan Mutakhir Penerbitan Buku Sastra Bali Modern (2023) ini diterbitkan Mei lalu sebagai apresiasi balik atas penghargaan Bali Jani Nugraha dalam bidang Pengkajian Sastra Bali Modern yang diterimanya tahun 2022 lalu dari Pemerintah Provinsi Bali. 

Pada mulanya buku ini merupakan laporan penelitian skema Grup Riset Udayana tahun 2019. Fokus penelitiannya pada pemetaan peluang, tantangan, dan strategi penerbitan buku sastra Bali modern dengan rentang waktu 2009-2018.

Menggunakan pendekatan sosiologi sastra Robert Escarpit, kajian dalam buku ini berbeda dengan kajian-kajian selama ini terhadap sastra Bali modern yang berfokus pada teks, tetapi mengalihkan perhatian pada konteks. Sastra Bali modern yang sudah berusia lebih dari 100 tahun dipandang sebagai produk budaya yang lahir dari rangkaian sistem produksi, distribusi, dan konsumsi.

Karena itu, buku ini kaya dengan data-data kuantitatif mengenai produksi buku-buku sastra Bali modern sejak tahun 2009 hingga pascapandemi.. 

Ada beberapa temuan menarik dalam buku ini. Meski dikatakan semarak, ternyata rata-rata buku sastra Bali modern yang terbit hanya 10-11 buku per tahun. Angka ini tentu bisa dibaca beragam sesuai perspektif.

Temuan lain, jumlah buku kumpulan cerpen mendominasi bahkan mencapai hampir separuhnya, yakni 47,70%. Buku novel di urutan kedua (24,77%), buku puisi di posisi ketiga (20,18%), dan buku drama paling sedikit (7, 33%). Di jagat sastra Indonesia, lazimnya buku puisi paling melimpah. 

Buku ini tampaknya memang memilih fokus pada aspek produksi sehingga belum menyentuh aspek distribusi dan konsumsi. Kiranya dua aspek ini juga penting dikaji terutama untuk menjawab di mana saja buku-buku sastra Bali modern beredar dan siapa saja pembacanya.

Pembaca merupakan bagian penting ekosistem penerbitan buku sastra, termasuk sastra Bali modern. Mungkin ruang kosong ini sengaja disisakan untuk penelitian selanjutnya. 

Buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern edisi 2000

Namun, buku ini seperti melengkapi buku karya Pak Darma Putra sebelumnya, Tonggak Sastra Bali Modern yang terbit tahun 2000 dan 2010 lalu. Buku itu telah menjelma semacam “monumen” dalam studi sastra Bali modern.

Stigma Sastra Sayembara membuat “monumen” itu makin kokoh, tentu.

Betapa tidak, mereka yang tertarik mengkaji atau menekuni sastra Bali modern praktis mesti menyusuri lapis demi lapis “monumen” karya Pak Darma Putra, yang disebut sastrawan dan jurnalis Made Adnyana Ole sebagai sang “juru kunci” sastra Bali modern. 

Selamat, Pak Darma. Terima kasih telah berbagi hadiah yang indah ini. Salam sastra (Dr. I Made Sujaya, dosen dan jurnalis).