Drs. Surya Pernawa (Foto Darma Putra, 2013)
Drs. Surya Pernawa (Foto Darma Putra, 2013)

Bali kehilangan salah satu seniman patung yang berjasa. Dia adalah Drs. Surya Pernawa, pembuat patung I Gusti Ngurah Rai, yang terpasang di sebelah timur Bandara Ngurah Rai.

Kabar kepergiannya itu terbetik Sabtu, 26 Desember 2015. Beliau meninggal di Rumah Sakit Boromeous, Bandung, dan (akan) dikremasi 5 Januari 2016 di desa kelahirannya, Bondalem, Buleleng. Dia lahir 24 Maret 1939, meninggal dalam usia 76 tahun.

Surya Pernawa bersekolah di Surabaya sejak tingkat SMP, lalu pernah kuliah di Universitas Airlangga Surabaya. Lalu, dia pindah ke ITB Bandung. Surya Pernawa lulus jurusan seni rupa dan desain ITB, dan kemudian menjadi dosen di almamaternya, 1967-1988.

Ketika mahasiswa di ITB, beliau aktif bekerja, dia diajak oleh kawan-kawan seniornya dan para dosen dalam menangani sejumlah proyek penting.

Misalnya tahun 1963/1964, dia ikut masuk dalam tim perencanaan Gedung Conefo yang kini menjadi Gedung DPR/MPR Jakarta. Hiasan atau ornamen dalam gedung wakil rakyat itu adalah sebagian besar hasil kreativitas Surya Pernawa.

“Dari sana saya dilihat oleh banyak orang, dikenal, lalu banyak pekerjaan datang,” kata Surya Pernawa, dalam suatu percakapan dengan penulis, 25 Juli 2013, di kediamannya di Bandung. Menurutnya, dia tidak pernah mencari pekerjaan. “Pekerjaan yang datang mencari saya,” ujarnya dalam nada tetap merendah.

Patung I Gusti Ngurah Rai di sebelah timur airport, karya Surya Pernawa (Foto internet)
Patung I Gusti Ngurah Rai di sebelah timur airport, karya Surya Pernawa (Foto internet)

Rumahnya cukup besar, berarsitektur Bali, dan asri. Kebunnya menyejukkan, hiasan interior mengagumkan, ada juga lukisan dan wayang (wayang kulit Bali dan golek Jawa) terpajang yang ikut memperindah atmosfir rumah.

Dari interiror, arsitektur, dan suasana, memang tampak sekali rumahnya adalah kediaman seniman/budayawan.

“Di sini saya hanya berdua, dengan istri. Anak bekerja di Jakarta,” katanya. Menurut anak tertuanya, Daranindra Josi, almarhum meninggal dalam tenang dan damai. Tidak pernah mengeluh sakit apa pun kecuali asma.

Surya Pernawa dengan patung Bung Karno (Doc. Radar Bali)
Surya Pernawa dengan patung Bung Karno (Doc. Radar Bali)

Patung Bung Karno

Surya Pernawa membuat setidaknya dua patung Bung Karno. Pertama, adalah patung Bung Karno saat menjalani masa penahanan di penjara Banceuy. Di sana Bung Karno digambarkan dalam posisi merenung, memegang sebuah buku, mencerminkan jiwa Bung Karno yang bebas walau terkurung di penjara (Maulana Sandijaya, Radar Bali, 1 Januari 2016, hlm. 21-31).

Kedua, patung Bung Karno dalam diorama rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18-19 Agustus 1945. Dalam rapat inilah, Bung Karno dipilih secara aklamasi sebagai Presiden RI.

Diorama yang dibuat Surya Pernawa tak lama sebelum meninggal itu terpasang di pusat sejarah gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Diorama ini diresmikan belum lama lalu oleh Jokowi. saat peresmian itu Jokowi tertarik melihat kursi kayu tempat duduk peserta rapat PPKI. Patung ini menjadi inspirasi bagi kalangan umum dan MK untuk mengenal sejarah dan hukum (Radar Bali, 1 Januari 2016, hlm. 21-31).

Patung Bung Karno dalam diaorama rapat PPKI di pusat sejarah Gedung MK (Doc Radar Bali)
Patung Bung Karno dalam diaorama rapat PPKI di pusat sejarah Gedung MK (Doc Radar Bali)

Surya Pernawa juga membuat monumen perjuangan rakyat Bondalem. “Banyak karya Bapak di Bali, namun beliau tidak mau mempublikasikan,”ujar Daranindra Josi, seperti dikutip Radar Bali.

Menurut Josi, Surya Pernawa sering pulang ke Bondalem.  Surya Pernawa memiliki keinginan besar untuk mendorong usaha-usaha pelestarian kesenian Bali, khususnya seni tradisi dan klasik seperti tari dan tabuh. Josi berusaha untuk mewujudkan ‘wasiat’ almarhum untuk menggali seni tradisi Bali yang hampir punah.

Surya Pernawa diwawancarai wartawan (Dok Keluarga)
Surya Pernawa diwawancarai wartawan (Dok Keluarga)

Senang Membantu

Ketika menjadi dosen di ITB, Surya Pernawa senang membantu teman-teman dari Bali yang melanjutkan kuliah ke Bandung termasuk ITB, salah satu misalnya Jero Wacik.

“Dia datang bersama ayahnya, keluarga kami memang saling kenal. Untuk pendidikan, kami membantunya,” ujar Surya Pernawa.

Surya Pernawa ingat pesan orang tuanya bahwa pengetahuan dan keterampilan (keririhan) penting sekali. “Orang tua saya berpesan, katanya penting sekali memiliki keririhan,” ujarnya.

Dia sangat percaya kepada karma, tidak ada yang bersifat kebetulan.“Karma itu berkaitan dengan masa lalu,” ujarnya.

Dalam percakapan sekitar satu jam itu, Surya Pernawa yang senang mendalami ajaran agama, seni, dan filsafat juga menyebutkan konsep tri semaya, dan mengatakan bahwa masa lalu, masa kini, dan masa depan saling berkaitan.

“Yang terjadi hari ini, berkaitan dengan yang dulu, jangan dilihat sepotong-sepotong,” katanya.

Kepergian Surya Pernawa meninggalkan karya penting yaitu patung I Gusti Ngurah Rai, yang berdiri anggun di sebelah timur Bandara Ngurah Rai. Karya patung bersejarah itu adalah hasil keririhan-nya yang dipesankan oleh orang tuanya di masa lalu.

Surya Pernawa tak hanya mewariskan karya seni bersejarah tetapi juga meninggalkan pesan, paling tidak kepada anaknya, yakni untuk pelestarian seni budaya yang merupakan identitas bangsa.

-Darma Putra (29 Des 2015, updated 1 Januari 2016, berdasarkan tulisan Radar Bali).

Liputan Radar Bali, 1 Januari 2016.
Liputan Radar Bali, 1 Januari 2016.

 FullSizeRender(1)