pustaka1Setelah membaca timbangan atas buku Bali dalam Kuasa Politik (2008) tulisan Jayakumara (Sarad, Maret 2009, hal 48-49), saya teringat kisah Pan Balang Tamak dalam cerita rakyat Bali. Tokoh ini digambarkan sebagai orang yang tak malu-malu menggunakan akalnya untuk mengolok-olok, menjebak, atau berkelit dari tanggung jawab sosial dengan mencari-cari kesalahan omongan orang lain. Di balik wacana yang diplintir dia berusaha bersembunyi.

 Suatu hari masyarakat akan melaksanakan gotong royong dan diumumkan bahwa acaranya dimulai kira-kira setelah tuwun siapè (ayam turun dari tidurnya di pagi hari). Pan Balang Tamak enak-enak saja muncul siang hari ketika gotong royong sudah berakhir. Ketika sanksi hendak dijatuhkan kepadanya, tanpa malu-malu dia membela diri dengan mengatakan ayamnya baru tuwun siang hari. Yang dijadikan dalih adalah ayam betinanya yang sedang mengerami. Ayam mengerami bisa tak turun berhari-hari, tak lazim dipakai penanda tibanya pagi.Walau di beberapa daerah seperti di Bali Barat distanakan sebagai Dewa, secara umum citra Pan Balang Tamak dalam pandangan masyarakat Bali rada negatif dan tidak patut diteladani. Saya tidak pernah mendengar orang arif bijaksana diberikan julukan Pan Balang Tamak. Sebaliknya, citranya sering ditempelkan pada orang yang licik, banyak akal, kerjanya mengolok-olok, tak tahu malu, dan mau menang sendiri dengan bersilat lidah.

Dalam timbangan buku itu, Jayakumara (selanjutnya disingkat Jakur) menulis dengan gaya dan logika Pan Balang Tamak. Dia bukan saja Pan Balang Tamak biasa, tetapi yang dijangkiti salah satu virus sapta timira (tujuh sifat memabukkan), yaitu ‘mabuk karena kepintaran’. Ada baiknya terlebih dahulu melirik siapa Jakur dan bagaiman dia mengidentifikasi dirinya dalam tulisannya.

Orang Dalam

Jakur adalah Kepala Perpustakaan Pascasarjana Hindu Indonesia (Unhi), Denpasar, dan anggota redaksi majalah Sarad.[1] Dalam tulisannya, dia memasang statusnya sebagai kepala perpustakaan, sedangkan posisinya sebagai redaksi Sarad disembunyikan.

Dengan mengidentifikasikan diri sebagai kepala perpustakaan, dia tak hanya berharap bisa mendapat kredit-point dari petinggi kampusnya yang bermarkas di Desa Tembau sebagai orang yang ikut mempopulerkan lembaga lewat media massa, tetapi juga menunjukkan bahwa dia memiliki jabatan ‘tinggi’ dan juga SIM untuk menimbang buku. Penyembunyian statusnya sebagai anggota redaksi Sarad adalah langkah mengelabui pembaca bahwa dia bukanlah ‘orang dalam’.  

Sebagai ‘orang dalam’, Jakur bisa menulis semaunya tanpa risiko tolak-muat.  Saya berani bertaruh, andaikan resensi buku seperti yang ditulis Jakur itu ditulis oleh orang luar yang bukan anggota redaksi, belum tentu Sarad sudi memuatnya. Saya berani bertaruh, andaikan resensi Jakur seperti yang dimuatnya di Sarad dikirim ke media lain, tulisannya itu akan dimasukkan ke tong sampah, lalu ngoceh kema-mai sambil menuduh redaktur media itu tidak tahu tulisan ‘bermutu’.

Status ‘double agent’ di Sarad membuat Jakur dengan mudah menyalahgunakan kuasa media tempatnya bekerja untuk menghantam pihak lain yang ‘tidak disukainya’, seperti ditunjukkan dengan menghina dosen di Program Pascasarjana Kajian Budaya Unud sebagai ‘pikun-pikunan’ dan ‘mengingau’. Dia menjadikan ‘mass media’ (media massa) sebagai ‘me media’ (mediaku). Ini jelas sikap yang tidak etis dan tidak sesuai dengan, meminjam motto majalah Sarad, ‘prihal pikir, kata dan laku orang bali’.

Sempat tercetus dalam pikiran saya bagaimana bisa dalam Sarad yang pernah saya kagumi karena tujuannya mendorong penguatan etika berbasis spiritualitas Hindu bisa termuat artikel yang jauh dari santun, yang disusun dengan semangat mabuk-kepintaran. Adakah anggota tim redaksi Sarad kurang awas atau malah ikut kena virus sapta timira yang disebarkan oleh Pan Balang Tamak dari Tembau?

Penuh Prasangka

Gelagat Jakur mabuk-kepintaran dan penuh prasangka menimbang buku sudah terasa sejak awal tulisannya dan keseluruhan pendekatan yang dipilihnya. Daripada membicarakan substansi, dia memilih membahas buku dengan pendekatan biografis, menjadikan penulisnya sebagai sasaran tembak. Selain itu, buku saya dijadikan ketapel untuk menyetip pihak lain, dalam hal ini Program Pascasarjana Kajian Budaya Unud.

Sebenarnya membahas buku dari latar belakang penulisnya tidaklah keliru sepanjang fokusnya tetap pada substansi buku (Thukul bilang: “kembali ke laptop”). Pendekatan biografis mungkin lebih produktif jika digunakan untuk membahas beberapa buku dengan tujuan memahami (perkembangan) pemikiran penulisnya.

Untuk membuat kajiannya seolah memiliki pijakan, Jakur memulai resensinya dengan menguraikan karakteristik kerja wartawan seperti yang pernah dia lakoni. Dia mulai dengan mengatakan bahwa wartawan sangat tergantung dengan blocknote. Dengan gaya sodok sana-sodok sini, dia membedakan dengan ngawur bahwa meliput isu politik adalah jenjang tertinggi profesi wartawan. Entah apa relevansinya dengan ulasannya, dia juga menyebutkan bahwa wartawan politik sering mendapat amplop alias sogokan.

Tidaklah benar ada hierarki dalam profesi kewartawanan seperti itu. Di Bali, misalnya, jurnalis yang meliput pariwisata atau budaya atau kriminal atau di kepolisian sama pentingnya dengan yang meliput pemerintahan dan isu politik. Koresponden yang bekerja sendiri malah meliput berita apa saja sehingga tak ada istilah jenjang tertinggi, jenjang terendah, seperti dilansir Jakur. Tapi itulah Jakur mirip Pan Balang Tamak suka bikin-bikin.

Mengingat penulis buku yang dibahas adalah wartawan, maka Jakur secara apriori mengatakan buku sama dengan ‘koran’: ‘cocok untuk teman minum kopi di pagi hari: dibaca untuk dilupakan’. Ada dua tanggapan atas pernyataan ini. Pertama, Jakur meremehkan koran, padahal koran sebagai salah satu bentuk media massa memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik. Bagaimana bisa Jakur bisa meremehkan koran padahal dia sendiri bekerja sebagai awak media. Kedua, buku Bali dalam Kuasa Politik jelas bukan koran. Dia sendiri mengakui dalam resensinya bahwa buku ini membahas kebudayaan Bali dengan sudut pandang politik, sudut pandang yang diakuinya baik. Mungkin karena mabuk, dia tidak bisa mengontrol apa yang hendak dikatakan.

Masih ada pernyataan Jakur yang dibuat-buat. Dengan apriori dia menyebutkan bahwa buku Bali dalam Kuasa Politik merupakan ‘notulen kebudayaan’ hanya karena berdasarkan fakta wartawan bekerja dengan blocknote. Meremehkan buku yang dihadapi sebetulnya hanya dalih Jakur untuk membebastugaskan dirinya dari membahas substansi buku, seperti akal-akalan Pan Balang Tamak menjadikan ayam mengerami sebagai penanda fajar untuk membebaskan dirinya dari kewajiban gotong royong.

Jakur berkomentar: ‘Sistematisasi data yang ditampilkannya sangat informatif (karenanya buku ini bisa menjadi teman minum kopi yang baik) tetapi tidak memberikan efek perenungan bagi pembaca’. Pertanyaannya: mengapa dengan mudah dia mengangkat diri sebagai representasi pembaca? Apakah dia pikir pembaca sama apriorinya dengan dirinya?

Bisa dipastikan bahwa tiap-tiap pembaca akan memiliki respon berbeda-beda usai membaca buku ini. Seorang kandidat doktor ilmu sejarah UGM yang berasal dari Bali menyampaikan bahwa dia mencantumkan sekitar 20 catatan kaki dari buku Bali dalam Kuasa Politik di dalam disertasinya.[2] Seorang pembaca lain menyebutkan bahwa buku ini ‘penting dibaca oleh mereka yang tertarik pada cultural studies atau yang ingin tahu perkembangan budaya massa dalam masyarakat Bali’.[3] Kedua contoh ini menunjukkan bahwa Jakur salah langkah ketika mencoba berbicara atas nama pembaca.

Bukti lain yang menunjukkan bahwa Jakur berfikir dengan logika Pan Balang Tamak terlihat ketika dia secara selektif mengutip kalimat berikut: ‘Mungkin sudah kehendak Tuhan, beberapa bangunan di anjungan Belanda terbakar……‘ (hal 7). Setelah itu dia menyebutkan bahwa proposisi ini ‘lemah secara metodologis’. Penyebutan Tuhan, katanya, membuat kajian yang mestinya ‘rasional’ (politik) menjadi ‘irrasional’. Menurutnya, kalau ‘kalau sudah bicara Tuhan siapa yang berani membantah?’

Memang dia tidak mengatakan bahwa kelemahan metodologis terjadi pada keseluruhan buku tetapi hanya pada satu ‘proposisi’ yang dikutipnya (yang terdiri dari 10 kata), meski demikian pernyataannya ini tetaplah bisa diadili. Pertama, mengapa dia memberikan penilaian terhadap satu kalimat padahal tugasnya atau pekerjaan yang sedang dia pilih (atau diberikan oleh editor) adalah meresensi buku?

Kedua, kalau ternyata kesimpulannya itu digunakan untuk menjebak pembacanya agar berfikiran bahwa kelemahan metodologis merupakan kelemahan keseluruhan buku, mengapa kesimpulan itu dibuat dari kutipan 10 kata saja? Ini persis seperti logika menjebak ala Pan Balang Tamak yang menggunakan seekor ayam betina yang mengerami untuk menandai terbitnya fajar.

Mereka bukan Redaktur

Doyan banget Jakur mengutip pemikiran intelektual besar tapi menggunakannya dengan keliru. Dia mengutip pendapat Sartre mengenai wartawan yang menulis dalam ‘sorotan mata’ redaktur. Menulis dalam situasi itu, menurutnya, identik dengan kesadaran palsu (malafide). Bagi saya, wajar redaktur memberita perintah kepda wartawan, bukan karena di sana ada hirarki kerja tetapi juga karena kerja di media massa adalah kerja tim. Dengan tunduk pada redaktur, bukan berarti wartawan itu hina dina, tetapi menunjukkan semangat kerja tim yang kompak.

Hanya karena tahu bahwa saya adalah wartawan, maka Jakur sekehendak hatinya menyebutkan bahwa dalam menulis buku ini saya bekerja dalam bayang-bayang redaktur, menulis dengan kesadaran palsu. Siapakah yang dimaksud dengan redaktur? Menurut Jakur “Para redaktur itu tertulis dengan jelas dan rinci pada bagian buku ‘Ucapan Terima Kasih’.

Memang dalam ‘Ucapan Terima Kasih’ (hal ix-x) saya ada menulis sejumlah nama (dari mentor, akademisi, seniman, wartawan, sampai anggota keluarga) yang saya anggap turut memberikan bantuan dalam proses penulisan buku, tapi mereka jelas bukanlah ‘redaktur’ seperti di surat kabar yang memberikan instruksi kepada wartawan. Nama-nama yang saya haturkan apresiasi itu bukanlah sekelompok orang yang mempunyai pikiran yang sama, yang mempunyai kepentingan sama, untuk disusupi ke saya.

Tidak ada yang namanya redaktur dalam konteks penulisan buku saya, baik dalam pengertian faktual maupun simbolik. Menyebutkan saya menulis dengan ‘sorotan mata’ redaktur bes ngaè-ngaè cara sing ngelah gaè (terlalu dibikin-bikin seperti tak punya kerjaan). Saya curiga jangan-jangan penilaian Jakur yang menekankan bahwa saya menulis dengan ‘kesadaran palsu’ adalah cermin ‘kesadaran palsu’-nya sendiri.

Bukankah perilaku menyampaikan apresiasi kepada mentor, kolega, dan keluarga dalam konteks penulisan buku adalah hal yang universal? Bukankah bersyukur kepada Tuhan mulia adanya? Tapi, Jakur menganggap semua itu sebagai kesadaran palsu. Hal ini dia tegaskan lagi dengan kutipan berikut: ‘Menurut Sartre, berterima kasih pada Tuhan adalah salah satu contoh sikap malafide’. Lebih dari sekali Jakur mengutip Sartre dalam tulisannya. Tampaknya dia yakin sekali akan kebenaran intelektual radikal kiri dari Perancis ini.

Dengan mengutip Sartre seperti itu Jakur seperti ingin menyampaikan bahwa berterima kasih kepada Tuhan harus dihindari karena itu refleksi kesadaran palsu. Sulit mengerti mengapa kalimat seperti ini bisa muncul dalam ‘majalah gumi Bali’, media yang berjuang untuk memperkuat sradha alias keyakinan kepada Tuhan. Ini jelas efek dari penyalahgunaan kuasa media dari seorang kontributor yang sekaligus ‘orang dalam’.

Poin lain dalam resensi yang perlu ditanggapi adalah pernyataan Jakur yang menggarisbawahi bahwa ‘Darma Putra sepertinya sing pati runggu’ (tidak perhatian) dalam fenomena berita bintang (bayar) di sebuah harian lokal. Yang dimaksud dengan ‘sebuah harian lokal’ pastilah Bali Post, tapi Jakur menyembunyikan nama koran itu.

Penyembunyian nama surat kabar itu mungkin karena ‘sorotan mata’ redaktur Sarad yang barangkali melarang penyebutan media lain yang dianggap pesaingnya.[4] Justru ini adalah contoh paling tepat untuk menunjukkan bahwa Jakur-lah yang sebetulnya ditimpa kesadaran palsu.

Memang benar fenomena berita-iklan di Bali Post tidak diuraikan dalam buku, tetapi memvonis bahwa Darma Putra sing pati rungu akan fenomena ini jelas keliru karena fenomena berita advertorial di koran kelompok media Bali Post dan media massa lainnya di Bali itu sudah saya tulis bersama Graeme MacRae (seorang antropolog dari Selandia Baru) dalam dua artikel dalam konteks kampanye pilkada di Bali 2005-2008. Artikel tersebut dimuat di dua jurnal internasional berbeda yaitu Asian Studies Review tahun 2007 dan RIMA tahun 2008.[5] Kalau saja perpustakaan Unhi berlangganan jurnal internasional ini, tentu Jakur sebagai kepala perpustakaan bisa mengeceknya.

Mengenai fenomena tentang ‘harga’ atau ‘biaya’ yang harus dibayar masyarakat Bali dalam usaha mengokohkan identitas kebaliannya sudah saya tulis ketika berbicara mengenai penyanyi lagu pop Bali yang harus membayar kalau mau video klip mereka ditayangkan di Bali TV (hal 33). Penilaian Jakur bahwa saya sing pati rungu jelas melenceng. Ini tampaknya konsekuensi negatif dari menulis resensi dengan pendekatan biografis yang tanpa kontrol, lupa ‘kembali ke laptop’, karena merasa ‘orang dalam’. Kalau begitu, izinkan saya mengembalikan bahwa yang sesungguhnya ‘sing pati rungu’ adalah Jakur sendiri.

Di akhir tulisannya, Jakur mengutip (dengan agak salah) lirik lagu kelompok rock and roll The Doors dengan vokalis Jim Morrison seperti ini: ‘Break all through to the other side‘ (mestinya ‘break on through to the other side‘).[6] Kutipan ini berisi ajakan untuk mendobrak konsep ‘bentuk, fungsi, makna’ (BFM) yang menjadi karakteristik analisis Program Pascasarjana Kajian Budaya. Buku Bali dalam Kuasa dalam Politik tidak menerapkan kerangka BFM maka dari itu bisa dipastikan kesimpulan Jakur ini meloncat jauh. Hanya orang yang mabuk-kepintaran saja tampaknya yang bisa menulis seperti ini: membicarakan tentang ‘sungai’ tetapi memberikan kesimpulan tentang ‘laut’.

Terima Kasih

Apa pun, sebagai akhir kata, sebagai orang yang tetap ingin bersyukur kepada Tuhan (berarti menolak mengikuti pendapat Sartre yang dikutip Jakur bahwa ‘berterima kasih kepada Tuhan adalah kesadaran palsu’) dan tulus mengapresiasi segala bentuk kontribusi dari mentor dan kolega (berarti menolak logika olok-olok Pan Balang Tamak), saya tetap menyampaikan terima kasih kepada Jakur dan Sarad yang telah mempromosikan buku Bali dalam Kuasa Politik dengan caranya sendiri, dalam edisi cetak dan online.

Harapan saya agar mereka berbesar hati menerima kenyataan bahwa ajakannya untuk ‘melupakan’ buku Bali dalam Kuasa Politik belum bisa menjadi kenyataan, paling tidak sampai detik ini. Begitulah, tidak ada orang yang merasa perlu meneladani sosok dan akal-akalan Pan Balang Tamak.

Brisbane, 15 April 2009                                           I Nyoman Darma Putra

 


 

[1] Informasi tentang status Jayakumara sebagai anggota redaksi Sarad bisa dilihat di http://www.saradbali.com/redaksi.htm (Dilihat, 11 April 2009).

[2]               Mahasiswa tersebut adalah I Nyoman Wijaya. Kutipan sms-nya berbunyi: ‘saya ambil sekitar 20 fn dr buku ini’ (SMS, 8 April 2009).

[3]               Lihat artikel Windhu Sancaya “Bali dalam Kancah Media Massa”, Bali Post, 31 Agustus 2008,  atau   http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaindex&kid=7&id=4170 (Dilihat 11 April 2009).

[4]               Istilah ‘pesaing’ kurang begitu tepat karena yang satu Koran harian, yang lain majalah bulanan. Tapi, karena sama-sama media massa, penggunaan ‘pesaing’ dianggap pas dengan catatan.

[5]               Kedua artikel itu adalah: Darma Putra, I Nyoman (+Graeme MacRae). 2007. ‘A New Theatre-State in Bali? Aristocracies, the Media and Cultural Revival in the 2005 Local Elections’, Asian Studies Review, 31:2, 171 – 189; Graeme MacRae and I Nyoman Darma Putra. 2008. ” A ‘Peaceful Festival of Democracy: Aristocratic Rivalry and the Media in a Local Election in Bali”, Review of Indonesian and Malaysian Affairs (RIMA), vol. 42, no. 2, pp. 107-46.

[6]               Lirik lagu ini bisa dilihat di http://www.mp3lyrics.org/j/jim-morrison/break-on-the-thruogth/

resensi di majalah SARAD ada di sini: http://www.saradbali.com/edisi107/pustaka.htm