Oleh Widminarko, Tabloid Tokoh, 19 April 2009

Oh Tuhan, aku tidak membutuhkan pahala dari perbuatanku. Berikan pahala kepada mereka yang menginginkannya. Berikan kenikmatan  duniawi kepada mereka yang masih mencarinya. Yang kuinginkan hanya  satu saja, jangan sampai aku melupakan nama-Mu. Sehingga, pada saat ajalku tiba, yang teringat olehku hanyalah Engkau.

 (Djiwa Duarsa, Ulang Tahun ke-80 – 14 Oktober 2006).

Ajal itu telah tiba. Selasa (14/4) siang telah menutup mata untuk selamanya, Wayan Djiwa Duarsa, dalam usia 83 tahun. Menurut penuturan anak pertamanya, Dokter Mita Duarsa, tokoh pendidikan itu meninggal dengan tenang, dalam posisi tidur, di tempat tinggalnya, Banjar Tengah Kangin, Kerambitan.

Almarhum yang menyusul istrinya, Tuti Sudarmani, yang lebih dahulu meninggal 19 Januari 1997, meninggalkan 5 anak yakni 2 dokter, 2 insinyur, 1 notaris, serta 12 cucu, 9 putri dan 3 putra. Seorang cucu tamatan Monash University Melbourne, 2 kuliah di Fakultas Kedokteran, lainnya pelajar.

Alumnus Taman Siswa Denpasar (1937-1938) dan Taman Dewasa Denpasar (1942-1945) itu, semasa hidupnya juga memiliki kepedulian besar terhadap kegiatan di bidang pers dan politik.

Ketika bekerja di Yogyakarta, almarhum sempat menjabat pemimpin redaksi Medan Bahasa Bali tahun 1957 – 1959. Saat 27 tahun menjabat kepala SPG Negeri Denpasar, 1959 – 1986, majalah sekolah Mahawerdi yang dirintisnya sejak 1 September 1976 terbit dengan teratur.

Majalah itu menyajikan rubrik tetap tulisan almarhum. “Dari Meja Pimpinan” adalah semacam editorial. “Forum Sekolah Persahabatan” dimaksudkan untuk membawakan pesan persahabatan nasional maupun internasional. Lewat rubrik “Biografi dan Obituari” diperkenalkan kepada para siswa ide-ide besar dalam dunia pendidikan.

Sebagian tulisan almarhum itu telah dibukukan dalam judul “MI ULTIMO ADIOS” (Perpisahanku yang Terakhir) tahun 1986, tahun saat almarhum memasuki masa pensiun sebagai pegawai negeri sipil.

Setelah melewati masa sekolahnya di Denpasar, Lombok, dan Makassar hingga tahun 1951, selama setahun (1952-=1953) almarhum tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Sastra jurusan Bahasa Inggris Universitas Sawerigading Makassar.

Tahun 1953-1956 melanjutkan sudi di Fakultas Sastra, Pendidikan, Filsafat, Universitas Gajah Mada dan tahun 1957 di B 1 Pendidikan, juga di Yogyakarta.

Puluhan kegiatan di bidang pendidikan di dalam dan luar negeri yang dihadiri sosok yang berpenampilan sederhana ini, dicatatnya dengan rapi. Pejuang yang pernah ikut dalam Revolusi Fisik di Bali 1945 – 1948 itu mengawali pengabdiannya kepada negara, sebagai guru Ilmu Pasti di SMP Negeri Makassar 1951-1953.

Setelah itu guru Sejarah dan Bahasa Indonesia di Taman Dewasa Yogyakarta, 1953-1959. Guru Sejarah dan Tata Negara dijalaninya di Taman Madya Yogyakarta, 1956 – 1959. Sebelum dipindahkan ke Bali tahun 1959, almarhum menjabat kepala Bagian Bahasa Bali di Kantor Balai Bahasa Yogyakarta, 1957-1959.

Tugas pertama yang diembannya setelah pulang ke daerah kelahirannya adalah guru di SGA Negeri Singaraja. Setelah 6 bulan di Singaraja, almarhum mendapat mandat dari pemerintah untuk mendirikan SGA Negeri, yang kemudian berubah menjadi SPG Negeri, di Denpasar. Di SMTA Negeri pertama di Bali Selatan inilah, almarhum menjabat kepala sekolah 27 tahun terus-menerus.

Tentang tugasnya di satu tempat, dengan jabatan yang sama, selama 27 tahun itu, almarhum pernah menulis, “Saya tidak pernah merasa dilanda kejenuhan, sekalipun berbagai kegagalan pahit terpaksa harus saya telan. Mungkin, persoalan yang selalu datang dan pergi, persoalan yang segera minta ditangani, keberhasilan dan kegagalan yang datang silih berganti, justru membuat hidup ini menjadi lebih menarik dan tidak membosankan”.

Hidup menjadi tidak membosankan, juga berkat kegiatan ekstra almarhum dalam menghidupi keluarga dengan mengelola usaha stensilan dan beternak ayam di rumah kontrakannya di Jalan Gadung, sebelum menempati rumah dinas.

Tinggal Empat Orang

Selasa (14/4) siang itu, saya sedang mewawancarai Nyoman Djepun Sekarini, S.Pd. Ia didampingi suaminya, Drs. Komang Soka. Djepun adalah mantan murid Pak Djiwa di SGA Negeri Denpasar, dan Komang Soka mantan guru di sekolah itu. Maka, sebagian pembicaraan terisi berbagai kenangan tentang ketokohan Djiwa Duarsa.

“Desember 1968 Pak Djiwa hadir dan memberi sambutan dalam acara reuni SPG Negeri Denpasar di Taman Pahlawan Margarana. Beliau mengharapkan, semogra masih bisa hadir lagi dalam reuni tahun berikutnya,” ungkap Bu Djepun yang hadir dalam reuni itu bersama suaminya.

“Kita sekarang tinggal lima orang ya,” kata saya ketika mengenang aktivitas Pak Djiwa di politik praktis tahun 1960-an. Selain menjadi aktivis di kalangan Pendidik Marhaenis, Pak Djiwa menjabat ketua III DPD PNI/FM Bali hasil konperensi daerah di Singaraja tahun 1969. Inilah pengurus DPD PNI Bali terakhir sebelum PNI berfusi ke dalam PDI bersama Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba, tahun 1973.

Kami menghitung-hitung pengurus tersebut kini tinggal 5 orang yakni Djiwa Duarsa (Ketua III), Kaler Adnyana (Ketua V), Komang Soka (Sekretaris I), Widminarko (Sekreraris II), dan Gde Suartika (Sekretaris III). Ternyata hitungan kami salah.

Saya tahu Pak Djiwa meninggal, esok harinya, lewat SMS Dokter Mita Duarsa. Kabar duka ini segera saya teruskan antara lain kepada Bu Djepun dan Gde Suartika. Ternyata kini kami bukan tinggal 5 orang, tetapi tinggal 4 orang.

Upacara pengabenan almarhum akan berlangsung di Kerambitan 29 April, didahului upacara ngeringkes 26 April.

Sumber:http://www.cybertokoh.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=5912