madepasektb2

Senin, 17 Juli 2000
Denpasar, Kompas

Sastra Bali baru (modern) sudah ditulis tahun 1913, ditandai munculnya buku kumpulan cerita pendek (cerpen) karangan I Made Pasek. Setelah itu, muncul jenis buku yang sama karya Mas Nitisastro. Kedua pengarang tersebut berprofesi sebagai guru di Kota Singaraja.

Pendapat ini dikemukakan peneliti sastra Nyoman Darma Putra, pekan lalu di Denpasar, saat peluncuran bukunya berjudul Tonggak Baru Sastra Bali Modern. 

Sebelumnya, secara turun-temurun diakui, tonggak sastra Bali baru (modern) dimulai ketika terbitnya roman karya I Wayan Gobiah berjudul Nemoe Karma (Ketemu Jodoh) tahun 1931.

Sastra Bali baru (modern) adalah sastra yang ditulis dengan bahasa Bali dengan bentuk-bentuk yang bebas. Dia tidak terikat oleh berbagai aturan sebagaimana pengertian pupuh dalam sastra klasik.

“Kehadiran dan kualitas cerpen-cerpen Bali modern karya I Made Pasek dan Mas Nitisastro memiliki alasan kuat untuk mematahkan mitos yang selama ini menganggap sastra Bali modern bermula tahun 1931,” ujar Darma Putra.

Cerpen-cerpen karya Pasek dan Nitisastro tidak lagi mengikuti aturan-aturan dalam sastra klasik. Tema-tema yang digarapnya pun adalah tema-tema komtemporer, seperti masalah mengisap candu (narkotika dan obat berbahaya sekarang).

Darma mengatakan, munculnya tradisi menerbitkan buku-buku berbahasa Bali sesungguhnya tak lepas jauh dari politik etis pemerintahan kolonial Belanda. Belanda sangat berkepentingan mendorong penerbitan buku-buku, antara lain dengan maksud kelowongan buku-buku pelajaran serta makin membangkitkan daerahisme.

Di sisi lain, katanya, politik etis telah membawa era baru dalam kesusastraan Bali modern. Para guru tidak lagi menulis dalam huruf Bali, tetapi sering disebut huruf Belanda (Latin).

Pada masanya, kata Darma, Pasek dan Nitisastro adalah dua pengarang yang sangat produktif. Karya-karya mereka diterbitkan oleh penerbit-penerbit pemerintah kolonial, baik yang ada di Batavia maupun Semarang.

Darma Putra mengatakan, perkembangan sastra Bali baru bukanlah akibat langsung dari berkembangnya kesusastraan Indonesia modern. “Tetapi merupakan akibat langsung dari pengenalan pendidikan modern inisiatif dari Pemerintah Kolonial di awal tahun 1900-an,” katanya. (can)