ajeg-bali-siwi

BRISBANE, ANTARA NEWS

Masyarakat Bali tidak akan kehilangan seni tarinya, karena hampir semua seni di daerah itu bersifat fungsional terhadap adat dan agama, kata pengamat masalah pariwisata, sastra dan budaya Bali, Dr.I Nyoman Darma Putra, di Brisbane, Senin (1/9).

“Bahkan dalam 20 tahun terakhir ini, saya melihat jumlah anak Bali yang mempelajari tari Bali tumbuh pesat, melebihi apa yang mungkin pernah terjadi di masa lalu,” katanya menanggapi kegundahan Pemimpin padepokan tari Bali “Ulu Chandra”, Wayan Sutedja, terhadap masa depan kesenian tradisional Bali.

Penulis buku Bali dalam Kuasa Politik terbitan Arti Foundation Juni 2008 itu mengatakan, banyak anak sekolah di daerah pedesaan dan perkotaan Bali berlomba-lomba dengan rasa bangga mempelajari tari dan tabuh Bali.

“Di Bali dewasa ini, hampir di setiap jalan ada terpajang papan `kursus` tari Bali, di gang-gang kecil, di banjar-banjar, kegiatan tari-menari mudah ditemukan. Anak Bali bangga dengan identitas keseniannya,” kata dosen senior Fakultas Sastra Universitas Udayana yang menjadi peneliti tamu di Universitas Queensland, Australia ini.

Menurut Darma Putra, kini jauh lebih banyak orang yang bisa menari Bali dibandingkan di masa lalu. Bahwa kemudian sebagian besar anak itu berhenti menari setelah dewasa atau tidak meneruskan upayanya hingga menjadi penari profesional, maka hal itu soal lain.

“Karena itu saya tidak khawatir orang Bali akan kehilangan seni tarinya karena hampir semua seni di Bali, termasuk kesenian Bali, bersifat fungsional terhadap adat dan agama. Pernyataan bahwa kelak orang Bali belajar tari Bali ke Jepang atau orang Jawa belajar tari Jawa ke Belanda saya kira berlebihan,” katanya.

Kegundahan Sutedja

Sebelumnya, Pemimpin padepokan tari Bali “Ulu Chandra”, Wayan Sutedja, mengatakan saat anak-anak asuhnya tampil di acara Pesona Indonesia pekan lalu bahwa ia gundah dengan masa depan kelestarian kekayaan tari tradisional Indonesia.

Kegundahan pribadinya itu disebabkan oleh langkanya anak-anak dan remaja di Tanah Air yang tertarik belajar dan mendalami aneka tari-tarian asli negerinya dan menjadikannya “gantungan hidupnya” sebagai dampak dari rendahnya apresiasi pemerintah dan bangsanya pada profesi seniman, katanya.

“Ketakutan saya pribadi pada generasi berikut adalah mereka belajar tari Jawa dari Belanda dan tari Bali dari Jepang karena anak-anak cucu kita tak bisa hidup dari sekadar berprofesi sebagai penari, betapa pun maestronya mereka akibat apresiasi kita yang sangat rendah pada seni,” kata Wayan Sutedja.

Pengusaha barang-barang kerajinan perak Bali yang mencintai seni tari Bali dan Nusantara pada umumnya ini mengatakan, para seniman Indonesia belum bisa hidup dengan layak dari hanya berkarir sebagai seniman.

Di tengah kondisi Indonesia yang belum menghargai secara pantas profesi seni tari ini, orang asing justru berdatangan ke Bali dan daerah lain di Tanah Air untuk belajar tari tradisional, katanya. (ant)