Gang Bambu (foto-foto Darma Putra)

Setiap hal memiliki sejarah, paling tidak cerita, termasuk nama-nama gang di Jalan Gunung Agung Denpasar Barat, khususnya di daerah Tukad Mati ke arah barat. Berikut adalah kisah mengapa empat gang, yaitu: Gang Bambu, Gang Carik, Gang Kojek, dan Gang Tahiti, diberi nama demikian.

Dalam ilmu bahasa ada teori yang disebut dengan toponimi, yang mempelajari asal-usul penamaan sebuah tempat. Dengan menggunakan pendekatan toponomi dapat diungkapkan ternyata keempat nama gang itu memiliki sejarah, riwayat, kisah, atau cerita sendiri.

Gang-gang itu hadir menghilangkan apa yang ada. Apa yang ada itu dijadikan nama gang untuk mengingatkan yang hilang.

Gang Bambu

Gang Bambu, terletak tepat di tepi barat sungai Tukad Mati, masuk ke arah utara. Gang selebar kurang dari dua meter itu, panjangnya sekitar 700 meter. Karena sempit hanya motor yang bisa lewat. Karena sempit, motor yang lewat harus berhati-hati saat papasan. Gang menggunakan paving bagus sehingga tak ada istilah becek kalau hujan.

Kondisi mulut gang agak curam, menurun, menikung. Bagi pengendara yang akan masuk, mesti hati-hati. Bagi yang akan ke luar gang, kehati-hatian sama juga diperlukan.

Gang yang mulai dibangun sejak awal tahun 2000-an itu awalnya adalah tanah yang ditumbuhi banyak pohon bambu. Walaupun bukan hutan, tapi rumpun-rumpun bambu yang begitu banyak mendominasi pemandangan di sepanjang tepian Tukad Mati, baik ke arah utara maupun ke selatan.

Selain bambu, di daerah subur sana juga tumbuh pohon gatep, mangga, kepundung, juet, mundeh, buni, dan aneka belukar.

Dulu Jalan Gunung Agung pas di atas jembatan pun dirindangi bambu. Jika hujan turun deras, pohon-pohon bambu berebah sampai menghalangi orang lewat.

Pernah suatu malam pertengahan 1980-an, sepulang kerja dari Bali Post, tengah malam dalam hujan deras, saya sampai memilih haluan agar bisa lewat karena bambu dengan daun-daunnya merendah rebah tak kuasa memikul beban hujan deras.

Warga sekitar sering mandi atau mencuci baju di Tukad Mati. Waktu itu, 1970-an, airnya jernih. Saat mandi, warga menaruh baju dan handuk di tanah atau batu dekat akar bambu.

Karena banyak pohon bambu, maka gang ini dinamakan Gang Bambu. Namun, paradoksnya adalah setelah ada Gang Bambu, malahan bambunya lenyap. Amblasnya bambu terjadi karena pohonnya dirabas untuk gang.

Gang Bambu tepat di depan ini.

Tanah miring karena tebing mesti dibuat rata agar bisa lewat. Untuk itu rumpun-rumpun bambu ditebas. Selain itu, amblasnya bambu juga tanah-tanah tempatnya tumbuh sudah dibangun rumah.

Secara tradisional, sebelum ketatnya peraturan seempadan sungai, warga biasanya mengklaim memiliki tanah sampai ke tepi sungai. Bagi mereka, sungailah menjadi batas.

Ketika batas sungai itu diambil mundur ke tepian beberapa meter, pemilih tanah berkeberatan. Negosiasi yang melibatkan pemerintah akhirnya memungkinkan pembuatan gang, walau gang supersempit. Penghuni di daerah itu tidak mungkin membawa mobil masuk.

Namun, mereka tetap bersyukur, tanpa gang itu, akses keluar-masuk mereka ke jalan utama akan sepenuhnya tertutup. Walau letak rumah-rumah di sana ‘terpencil’, karena ada google map, rumah-rumah itu mudah dijangkau.

Warga mudah memesan makanan atau produk online karena pengirim tak sulit mencari, petunjuk awalnya adalah masuk di Gang Bambu. Tulisan Gang Bambu terbuat dari pipa dan lempeng besi. Carilah tanda baca itu, jangan mencari pohon bambu karena pohon itu sudah tidak ada lagi.

Gang Carik

Carik adalah istilah bahasa Bali yang dalam bahasa Indonesia berarti sawah. Gang Carik yang terletak 200 meter di sebelah barat Gang Bambu, masuk ke utara.

Gang ini sudah berubah menjadi jalan lebar sekitar 5 meter. Mobil bisa lalu-lalang. Pelebaran jalan setapak itu terjadi karena di sana dibangun kompleks perumahan Padang Pesona Graha (PPGA) sekitar pertengahan dekade 2000-an.

Gang ini dinamakan gang Carik karena di sana memang awalnya adalah daerah persawahan. Di daerah ini sawah bertahan agak lama. Di bagian lain di daerah sama, sawah sudah duluan dikepung dan disulap jadi bangunan tempat tinggal atau warung.

Di petak-petak sawah di samping perumahan itu dulunya sawah yang khusus ditanami kangkung. Tanahnya  subur, tiap hari tampak petani memetik kangkung untuk dijual ke pasar. Sebagian petak ditanami bibit baru, sebagian lainnya dipanen kangkungnya. Siklus sambung-sinambung sayur kangkung.

Masuk ke Gang Carik.

Perumahan dan rumah makin rame. Sawah-sawah pun makin habis. Ladang kangkung tidak tampak lagi. Berubah jadi rumah. Sama dengan Gang Bambu tanpa ada lagi pohon bambu, maka Gang Carik pun adalah gang yang tidak memiliki carik lagi. Namanya yang hilang diabadikan dalam nama gang. Gang hadir untuk menghilangkan sekaligus mengabadikan.

Kelak jika ada pertanyaan, mengapa disebutkan Gang Carik, jawabannya bukanlah ‘mungkin dulu banyak sawah’, tapi ‘pasti dulu banyak sawah’. Sawah atau carik yang dihilangkan diabadikan dalam nama gang.

Gang Kojek

Posisi keluar masuk Gang Kojek sama dengan Gang Carik. Bedanya adalah, Gang Kojek masuk ke selatan, sedangkan Gang Carik masuk ke utara.

Gang Kojek lebih sempit di mulut gang masuk, bisa lewat satu mobil. Mobil tak bisa papasan. Makanya mobil dilarang masuk. Kalau dari selatan, mobil bisa masuk dan ke laur ke Jalan Gunung Agung. Gang Kojek jiak ditelusuri ke selatan, bisa tembus ke Jl Mahendradatta, sekitar Rumah Sakit Bali Med.

Sama dengan wilayah Gang Carik, di kawasan Gang Kojek juga dulu banyak sawah. Hamparans awah luas dari Barat ke timur, merendah sampai aliran limpahan/luapan air sawah masuk ke Tukad Mati.

Tapi, pertanyaannya, mengapa Gang Kojek diberi nama Gang Kojek bukan Gang Carik? Kalau diberikan nama Gang Carik mestinya juga bisa, karena secara fisik Gang Kojek ini lebih dulu hadir daripada Gang Carik. Tapi kenapa tidak? Kenapa kok Gang Kojek? Apakah di sini dulu banyak tukang ojek?

Nama Gang Kojek sudah mulai dipakai akhir tahun 1980-an menggunakan nama julukan seorang sopir bemo yang tinggal di sana, dikenal sebagai Ketut Kojek. Nama Kojek itu diberikan kepada sopir itu karena kepalanya gundul atau plontos, persis seperti plontosnya kepala bintang film serial TV “Kojak” (baca: Kojek).

Sopir Kojek itu ramah, murah senyum, mudah bergaul. Tidak mudah tersinggung. Ketika orang-orang sekitarnya menyebutkannya Kojek, dia terima saja. Kami yang tinggal berdekatan tidak sempat tahu nama aslinya. Dengan memanggil Pak Ketut Kojek, komunikasi jalan lancar.

Apakah Pak Ketut masih tinggal di sana atau tidak, yang jelas gang itu tetap bernama Gang Kojek. Sudah disahkan dengan memasang gerbang besi dengan tulisan Gang Kojek, materi tiang dan lempeng besinya mirip dengan Gang Bambu. Hanya tulisannya sedikit berbeda.

Gang Carik masuk ke kiri, Gang Kojek masuk ke kanan. Gang Bambu di kiri, di bawah pohon hijau rimbun.

Gang yang mulutnya berada dalam satu titik, di lokasi yang dulu sama-sama persawahan, memiliki asal-usul nama (toponimi) yang beda. Satu karena lokasi, satu lagi mengacu pada nama orang yang bersumber dari nama legendaris dari film Amerika. Inspirasinya ternyata jauh sekali, namun sudah melalui proses lokalisasi. Kojak menjadi Kojek. Nama bintang film menjadi julukan nama sopir bemo yang tinggal di tempat itu.

Yang jelas nama Gang Kojek tidak ada hubungannya dengan tukang ojek. Ketiak gang itu dinamanakan tahun 1980-an, profesi tukang ojek belum ada.

Gang Tahiti

Gang Tahiti terletak dekat ujugn Barat Jalan Gunung Agung, posisinya masuk ke selatan, wilayah permukiman.

Jalannya sempit, kalau terpaksa ada mobil, akan sulit papasan. Pengaturanjalur satu arah belum tegas di sini. Namun, kecuali penghuni, tidak ada sopir berselera masuk ke gang Tahiti yang sempit ini.

Tapi, mengapa disebutkan dengan Gang Tahiti? Apakah ada hubungannya dengan nama negara kecil di lautna Pasifik?

Ternyata tidak. Nama gang Tahiti diberikan oleh I Made Gde Astina, penghuni di sana, berdasarkan fakta bahwa di gang sempit itu dulu ada banyak kotoran (maaf: tahi). Campur baur antara kotoran babi, manusia, anjing, sapi, dan sebagainya termasuk sampah busuk.

Gang ini sangat jorok dulu. Ketika beberapa mulai dibangun di sana, bau menyengat dari kotoran juga keluar dari septik tank. Begitulah kisah Tahiti, akronim dari tahi liyu gati (kotoran banyak sekali).

Kini gang itu relatif bersih, hampir tidak ada kotoran seperti dulu lagi. Sama dengan gang lain, pencirinya sudah tidak ada lagi. Makanya, kalau ada yang bertanya, penjelasan seperti ini penting adanya. Jangan sampai jawabannya mungkin-mungkin atau ‘serba mungkin’.

Waktu berganti, situasi berubah. Nama gang bisa menjelaskan seperti apa perubahan itu di lokasi masing-masing.

Seperti Gang Kelinci tanpa Kelinci

Sebagai penutup, baik kiranya dikutip lagi pop-klasik “Gang Kelinci” ciptaan Titik Puspa, dinyanyikan Lilis Suryani yang mencapai hit tahun 1963. Sampai sekarang lagu ini masih manis didengar, tak pernah hilang dari udara.

(Kompas.com/ Rindi Nuris Velarosdela )

Dalam konteks toponimi, kutipan dua bait pertama lagu berikut jelas mengungkapkan mengapa gang itu diberikan nama Gang Kelinci padahal kini sudah tidak ada kelinci lagi di sana.

Jakarta, kotaku indah dan megah
Di situlah aku dilahirkan
Rumahku di salah satu gang
Namanya Gang Kelinci

Entah apa sampai namanya Kelinci
Mungkin dulu kerajaan kelinci
Kar’na manusia bertambah banyak
Kasihan, kelinci terdesak

Karena tidak ada saksi mata, maka disebutkan ‘mungkin dulu kerajaan kelinci’. Yang jelas, kaitan dengan kelinci merupakan keniscayaan.

Mirip dengan itu, Gang Bambu, Gang Carik, Gang Kojek, dan Gang Tahiti semuanya memiliki kisah penamaan dari realitas setempat, namun perubahan membuat realitas itu lenyap, sehingga nama-nama gang seperti kehilangan simbol.

Namun, karena absen atau ketiadaan simbol itulah menimbulkan pertanyaan ‘mengapa’ sehingga simbol itu bisa diangkat sebagai jawaban.

Yang bertanya akan paham dan kiranya tidak perlu melawan (Darma Putra).