Sate babi lezat di Pasar Penamparan, Denpasar Barat (Foto-foto Darma Putra)

Sudah 20 tahun dia jualan sate babi. Tidak mengherankan kalau racikan satenya enak, lezat, dan laris. Kepuasan pembeli dijamin oleh pengalaman panjang.

Inilah kisah penjual sate babi Ketut Mirawati. Perempuan asal Karangasem itu merantau ke Denpasar setahun sebelum ledakan bom Bali 2002. Saat itu, dia baru tamat SMP. Di Denpasar, dia bekerja di majikan penjual sate.

“Dari sana saya belajar cara meracik bumbu, dan menyiapkan sate,” ujar Ketut.

Tak lama setelah itu, Ketut mencoba keberuntungan dengan menjadi pedagang sate sendiri, kemudian bersama suaminya.

Pengalaman panjang membuat sate, tak hanya membuktikan bahwa passion Ketut memang di sana, tetapi juga membuktikan bahwa dia sangat pandai membuat dan menyajikan sate dengan cita rasa yang lezat memuaskan lidah pembeli.

Tampaknya dia sudah yakin dengan profesi yang ditekuni, sekali pedagang sate tetap pedagang sate.

Selain pandai membuat sate, Ketut juga pandai memilih tempat berjualan, yaitu di Pasar Penamparan, Padangsambian, Denpasar Barat. Seperti pasar tradisional lainnya, Pasar Penamparan pun ramai setiap pagi.

Pengunjung pasar adalah calon pembeli sate. Ketut jualan seorang diri, praktis tanpa pesaing. Siapa berani melawan pedagang dengan pengalaman dua dekade?

Karena lezat, sate Ketut laris dan habis dalam sekejap. Pembeli datang dan pergi.

-Bungkus sepuluh ribu, dua pulu ribu. Pedas. Pisah sambelnya.
+Tipat?
-Tidak.

Pemesan sate melengos masuk ke dalam pasar untuk belanja. Sesudah usai belanja, dia ambil sate pesanannya.

Satu emblong lekas habis.

Untuk harga Rp10.000, pembeli mendapat tujuh tusuk sate; kalau Rp20.000 dapat 14 tusuk bonus 1 jadi 15 tusuk. Harga per tusuk sate sekitar Rp1.500.

-Bungkus 15 tusuk!
+Habis.

Dalam sehari berjualan jika dagangan habis, Ketut, merasa bisa dapat untung sekitar Rp100-200 ribu. “Sulit menghitung, karena uang berputar untuk beli bahan,” katanya.

Sebagai pedagang, dia mengalir saja. Bekerja sesuai dengan kebutuhan. Beli daging, buat bumbu, nusuk sate, jualan, dan begitu siklusnya. Uang masuk dipakai beli bahan lagi. Dia bersyukur, jualannya laku. Lokasinya berjualan selalu ramai.

Banyak warga yang ke pasar rupanya penggemar sate babi. Namun, jika mereka telat membeli, telat memesan, mereka tidak akan kebagian. Jawabannya sate amblas.

Berapa Tusuk Habis Sehari?
Ketut Mirawati menuturkan bahwa dalam sehari dia jualan sate satu emblong, baskom aluminium tempat tusuk sate mentah. Berapa tusukkah isinya? Berapa tusukkah habis sekali jualan?

Pembeli memesan atau menanti.

“Saya tidak pernah menghitung, berapa tusuk isinya, berapa tusu sate laku. Saya buat masukkan, kalau sudah penuh ya penuh,” tutur Ketut, 1 Juni 2022, pagi, saat ditemui di tempatnya berjualan.

Yang jelas, dalam sehari, dia membuat sate dari 8 kg daging babi. Selain daging, dia juga membeli muluk untuk sate. Hasil sate dari 8 kg itu dijual berdua: suaminya dan Ketut sendiri. Ketut berjualan di Pasar Penamparan. Suaminya di Pasar Padangsambian. Mereka bekerja berdua.

Daging babi dibelinya di daerah Penamparan. Ketut sendiri tinggal di daerah Tulangampiang, skitar 2-3 km dari lokasi berjualan.

Masa sebelum covid, bisnis sate bagus. Dalam sehari, mereka bisa menghabiskan 8 kilo sendiri, atau 16 kg berdua, bahkan sampai 20 kg. Daging bahan sate dibeli pagi hari, diolah menjadi sate siang-sore hari.

Pekerjaan utama adalah memotong daging kecil-kecil untuk bunga sate dan membuat bumbu. Sesudah jadi, sate ditaruh di kulkas untuk siap dijual esok pagi. Dia juga membuat ketupat, menyiapkan sambal. Untung memanggang, dia menyiapkan arang batok kelapa.

Jam jualan sate pagi hari, jam, 07.00-09.00 di Pasar Penamparan. Tergantung pembeli, kadang cepat habis, kadang sampai siang.

Kalau musim hujan, Ketut tetap berjualan. Dia sedia payung besar. Kalau hujan, laku sate jadi slow. Orang enggan belanja karena basah. Jika sate sisa, dibawa pulang untuk dibumbu lagi dan ditaruh di kulkas untuk keesokan hari.

Sejak Muda
Ketut berjualan sate sebelum menikah. Kisahnya dimulai dari tahun 2001, setamat SMP di Karangasem. Ketut merantau ke Denpasar, bekerja di pedagang sate di kawasan Desa Tegal, sekitar Jln Imambonjol, Denpasar.

Waktu itu, menurut Ketut, pedagang sate tempat Ketut bekerja itu menjual sate penyu. Belakangan menjual sate babi. Namun, bumbunya sama. Bedanya hanya bumbu untuk sate penyu lebih padat bumbu base genep untuk menghilangkan amis bau daging penyu.

Di sanalah Ketut belajar, kemudian menjadi pedagang sate mandiri, sejak sebelum menikah. Ketut menikah dengan lelaki dari Karangasem, terhitung satu desa. Mereka akur menjadi pedagang sate berdua.

“Anak sulung saya sudah usia 16 tahun,” ujar Ketut, memiliki dua anak. Dia tertawa ketika disebutkan bahwa anak-anaknya tumbuh dari hasil jualan sate.”Ya, Pak benar,” tuturnya tersenyum di balik masker.

Banyak sekali saya lihat perempuan Bali menjual sate di pinggir jalan. Ada yang jualan permanen di tempat yang tetap, ada juga yang insidental.

Kalau yang insidental, misalnya, yang berjualan di dekat pura saat upacara. Saat itu banyak warga yang hadir, upacara berlangsung sehari sampai tiga hari. Banyak warga yang hadir berarti banyak calon pembeli, maka pedagang sate pun ke sana berjualan hanya saat upacara saja. Lain waktu, mungkin dia tidak berjualan, atau berjualan di tempat lain.

Kalau pedagang permanen, biasanya bisa dijumpai di trotoar atau dekat pasar, dekat bale banjar, atau dekat lapangan. Lokasinya strategis, gampang dijangkau, sering di trotoar sehingga peminat bisa beli sate sistem drive through atau ride through.

Penjual sate biasanya bekerja sendiri. Dia datang ke lokasi, set up dagangan sendiri, membakar arang, mengipas, melayani pembeli, semua sendiri. Sering saya merasa lagum atas kerja keras, sambil membayangkan bahwa setelah berjualan mereka harus bekerja menyiapkan dagangan untuk esok hari.

Menurut Ketut, arang batok kelapa sangat baik, dibandingkan dengan arang kayu, berdebu. Arang kadang menjadi barang langkah sehingga mau tak mau harus nyetok, atau kalau habis sama sekali, terpaksa memakai arang kayu.

Suaminya di Mana?

Setiap saya melihat perempuan Bali jualan sate, saya bertanya menyindir dalam hati: laki-laki atau suaminya sedang (bermalas) di mana?

Dari percakapan dengan Ketut, saya mendapat satu fakta, kalau melihat pedagang sate perempuan boleh kagum karena dia bekerja keras; tapi jangan berfikir suami mereka tidak bekerja, karena seperti suami Ketut, dia sedang jualan sate yang sama di jam sama di lokasi lain. Terkesan, Ketut dan suaminya adalah pasangan ideal.

Bisa jadi, anak-anaknya juga akan melanjutkan pekerjaan orang tua mereka, atau sukses dalam pendidikan untuk memilih pekerjaan yang lebih baju dan berpenghasilan.

Siapa tahu, apakah hidup mereka akan seperti ungkapan “sekali sate tetap sate”; atau “dengan sate kemajuan lain pun tercapai”! (darma putra).