Sepiring nasi ayam dan segelas air jeruk di Warung Bu Mangku Kedewatan (foto-foto Darma Putra).

Tak pernah tak ramai. Itulah suasana warung nasi ayam Kedewatan Ibu Mangku, di Jalan Raya Kedewatan, Ubud.

Jam berapa pun Anda ke sana pengunjung selalu padat tetapi mengalir. Mencari tempat duduk harus sabar sedikit.

Berapa orang Bu, Pak? Tanya waiter.

“Empat orang.”

“Lima orang.”

“Kami bertiga. Hee…berempat. Maaf, lupa aku ngitung kamu.”

Itu dialog antara petugas warung dengan pengunjung yang datang.

Di depan kasir pembeli yang usai makan juga antre untuk bayar. Tapi, semua mengalir. INi bukan restaurant tempat orang makan dan ngobrol lama, lebih lama kalau sampai minum kopi dan dessert.

Suasana warung, ramai, ramah mengalir.

Di warung, orang datang makan dan segera pergi. Apalagi melihat banyak pembeli lain datang. Seolah yang sudah makan sepakat untuk pergi dan memberikan tempat untuk yang lain makan.

Beberapa kali saya ke warung ini, selalu padat. Biasanya jam 10.00 pagi sudah ramai. Itu berlangsung sampai sore. Walau waktu makan siang sudah lewat, pengunjung tetap berdatangan

Mungkin ada yang dengan senang hati datang di luar jam makan siang sehingga bisa menghindari ramai. Ini menunjukkan bahwa waktu tak perlu jadi penghalang untuk tidak menikmati nasi ayam kedewatan. Kalau tak sekarang, kapan lagi lewat kemari.

Kami datang sehari sebelum Natal, yaitu 24 Desember 2021, pukul 12.00, pas jadwalnya makan siang. Suasana di warung ini ramai sekali.

Tak mengherankan karena selain lunch time juga karena suasana Libur Natal dan Tahun Baru sudah mulai berdenyut. Tapi, hari-hari biasa pun setali tiga uang alias sama ramainya.

Bale Bali memberikan suasana dan pengalaman makan khas lokal.

Saat itu, kami datang berdua. Dengan cepat dapat meja. Kebetulan ada meja dengan dua kursi barusan kosong. Sigap waiter membersihkan, menyemprot dan mengelap.

Beberapa pengunjung yang datang berempat, berlima, atau berenam masih harus menunggu meja dengan jumlah kursi yang pas.

Sejak 1960-an

Bu Mangku, seperti dituturkan oleh anaknya Sang Putu Putra, sudah mulai rintisan jualan nasi ayam sejak 1960-an. Seperti tertulis dalam buku Wisata Kuliner Atribut Baru Destinasi Ubud (Pitanatri dan Putra, 2016), awalnya sebagai pedagang keliling, dari keramaian satu ke keramaian lain, seperti odalan atau tajen sabung ayam.

Tahun 1970-an, mulai membuka warung atas kemurahan hati temannya. Setelah berkembang, barulah tahun 1986 dia mulai membuka warung di rumah sendiri di Kedewatan.

Keberhasilannya menciptakan nasi ayam khas kedewatan adalah perjuangan panjang. Para peneliti ‘menobatkannya’ sebagai salah satu srikandi kuliner Bali.

Kehebatan kuliner dan manajemen rasa nasi ayam Bu Mangku dilukiskan dalam bagan berikut ini.

Sumber, buku Wisata Kuliner, Atribut Baru Destinasi Ubud (Putu Diah Sastri Pitanatri dan I Nyoman Darma Putra, 2016:46)

Berkembang

Warung makan Ibu Mangku semakin berkembang. Tempat duduk makan tidak saja di warung bagian depan. Mereka juga menggunakan bangunan rumah bergaya Bali sebagai tempat makan.

Di beranda bale Bali yang berukir itu disediakan meja dan tikar. Pelanggan yang mau di tempat itu mesti bukan sepatu atau atas kaki karena akan lesehan atau bersila. Di sana mereka bisa menikmati masakan Bali dalam suasana lokal Bali yang kental.

Kalau makan di bale-bale, mungkin pelanggan bisa santai lebih lama kalau mau.

Suasana menambah lezatnya hidangan nasi ayam Bu Mangku. Lauk yang disajikan alah spesial ayam: ayam goreng, ayam kuah, atau nyatnyat. Yang kuah nyatnyat lembut, yang goreng renyah, crunchy.

Sate lilit pun berbahan ayam, enak sekali. Lauk bercampur sayur kacang berisi kelapa sisir. Ada juga pelengkap kacang goreng dan sambel bawang cabe. Semuanya terpadu menjadi rasa yang lezat khas Bu Mangku.

Tempat yang bersih, hygiene, sajian yang cepat/tepat, porsi yang sesuai, kualitas makanna, aroma, rasa, dan pelayanan yang akurat membuat, dan camilan yang tersedia seperti kripik dan kue juga memikat. Semua ini membuat warung Bu Mangku jadi idola pelanggan.

Sudah jadi Brand

Berkat manajemen rasa yang khas, nasi ayam Bu Mangku seolah sudah jadi brand tersendiri. Banyak warung nasi di Bali dengan lauk ayam, tetapi kekhasan nasi ayam Bu Mangku Kedewatan tiada banding, tiada tanding, sebagai branding.

Rahasia memasak dan manajemen rasa tidak terungkap ke luar. Hanya kabarnya dia memasak dengan kayu bakar dan sangat memperhatikan kualitas dan kesegaran bahan (fresh).

Saya mulai mengenal warung nasi ayam ini sudah awal 1990-an dan memang sudah cukup laris, walau tidak seramai sekarang. Waktu itu saya bekerja part time di sebuah perusahaan rafting. Setiap saat melewati warung Bu Mangku. Sering makan di sana. Juga membungkus untuk teman yang berkantor di Sanur.

Bangunan warung dan bale-balenya masih sederhana. Sekarang sudah indah, estetik, berkembang. Halaman berbunga. Rumput menghijau di antara bale-bale.

Warung Cabang

Awal 2000-an, tepatnya 2003, warung Bu Mangku membuka cabang di Jalan Tukad Badung di Renon. Lezatnya sama dengan yang di Kedewatan.

Pada tahun 2003, di gedung Nari Graha di Renon, berlangsugn sidang-sidang terdakwa bom Bali. Sidang berlangsung sepanjang hari. Banyak wartawan bekerja di sana. Untuk kebutuhan makan siang kadang diproleh dari tempat sekitar. Saya dan beberapa kawan jurnalis lainnya senang bisa membeli nasi ayam kedewatan yang sudah buka cabang di Jalan Tukad Badung, Renon.

Kami tahu Bu Mangku bukan cabang karena sopir kami berasal dari Kedewatan. Dia yang memberitahukan bahwa ada warung nasi ayam enak.

Tahun 2006, Bu Mangku juga membuka cabang di sekitar Petitenget, Seminyak. Banyak pelanggan yang mengatakan beda rasanya, tetapi silakan Anda mencobanya. Yang jelas, pelanggan nasi ayam ini adalah banyak yang datang berulang.

Meski ada cabang di satu dua tempat, warung asal di Kedewatan tetap menjadi magnet. Kehadiran nasi ayam Bu Mangku telah menjadi daya tarik utama (primary attraction) orang datang ke Ubud.

Wisatawan domestik datang ke Ubud untuk cari ayam Kedewatan, sambil jalan-jalan. Jadi, jalan-jalannya yang sambilan, makannya yang utama. Ini masuk akal terutama bagi mereka yang sudah sering ke Ubud.

Jalan-jalan ke Ubud nomor dua alias secondary attaction. Tujuan utama cari nasi ayam kedewatan. Namanya wisata kuliner.

Harga Porsi

Harga sepiring nasi ayam tergantung pilihan. Untuk makan di sana, bisa pilih nasi campur biasa dengan harga Rp26,000, sedangkan kalau bungkus dengan kertas Rp25,000. Selisih seribu rupiah (lihat nota).

Ada juga porsi bungkus pakai kotak, yang kiranya lebih mahal. Untuk makan di sana, bisa juga pilih porsi pisah, artinya nasi dan lauk dalam piring berbeda.

Kehebatan nasi ayam kedewatan, sebagian besar warga lokal yang ke sana, pulangnya pasti membawa bungkusan. Oleh-oleh buat yang tidak ikut atau menunggu di rumah.

Hayo, kapan Anda terakhir ke sana? Silakan datang lagi, jangan khawatir ramai, pelanggan mengalir. Menanti sebentar, Anda pasti bisa menikmati nikmat nasi ayam kedewatan.

Jangan lupa bungkus juga untuk yang di rumah (Darma Putra).