Nasi jinggo di sebuah resto di Airport Ngurah Rai (Foto Darma Putra).

Nasi jinggo dijual di cafe di airport Ngurah Rai Bali. Harganya sebungkus Rp 35 ribu dan laris, cepat habis. “Sehari laku 80-100 bungkus,” kata waiter  sebuah restoran di airport Ngurah Rai.

Nasi kelas rakyat yang awalnya dijual di pinggir jalan di Denpasar tahun 1980-an kini benar-benar naik daun.  Dia tak hanya jadi makanan kelas bawah tapi juga menu kalangan menengah ke atas yang bepergiaan naik pesawat. 

Di resorant di airport, nasi jinggo bersanding dengan menu global lainnya seperti nasi goreng, sausages, scramble egg, chicken nuggets, fish and chips, dan burger.

Popularitas nasi jinggo belakangam memang mencuat. Para politisi atau pejabat menawarkannya sebagai hidangan untuk pendukungnya.

Gubernur Bali Made Mangku Pastika biasanya menghindangkan nasi jinggo kepada warga yang hadir dalam dialog simakrama bulanan di Gedung DPRD Bali atau tempat lain.  Dialog simakrama dilaksanakan sejak dianterpilih menjadi Gubernur Bali 2008, sejak itu juga nasi jinggo dipopulerkan saat dialog simakrama.

Nasi jinggo lambang kerakyatan, kesederhanaan, dan keakraban. Harganya murah dan itu artinya hemat.

Jauh sebelum airport Ngurah Rai direnovasi tahun 2013, nasi jinggo sudah hadir di lounge Garuda Indonesia. Pengguna lounge adalah kelas menengah ke atas berarti sajiannya di lounge adalah tanda nasi jinggo naik daun.

Nasi jinggo memang enak, lauknya tempe, daging ayam atau sapi. Yang khas adalah sambelnya pedas manis.  Harga sebungkus nasi jinggo di tepi-tepi jalan di Denpasar adalah antara Rp 3500 sampai Rp 5000.

Dulu ketika baru muncul dan populer tahun 1980an harga sebungkus Rp 150. Karena enaknya dan porsinya kecil, pembeli biasanya menyantap berbungkus-bungkus. Istilahnya murah meriah.

Meski status nasi jinggo sudah naik, dijual di airport, kehadirannya di warung tepi jalan yang dijual malam hari masih berlanjut. Hidup nasi jinggo!!!