Foto repro Majalah Djatajoe, No. 7, 25 Februari 1938.
Foto repro Majalah Djatajoe, No. 7, 25 Februari 1938.

Di Bali ada banyak komunitas, ikatan, atau organisasi tradisional.  Antropolog Clifford Geertz terpesona melihat orang Bali terpaut dalam begitu banyak kelompok atau ikatan atau organisasi tradisional seperti ikatan dadia (warga), banjar, dan seka. Ikatan atau seka ini kadang solid kadang juga renggang dengan struktur longgar.

Seka dibentuk sesuai dengan kepentingan anggotanya, diberikan nama sesuai aktivitasnya. Contohnya banyak seperti sekaa manyi (kelompok orang yang anggotanya menerima pekerjaan panen), subak (oranisasi petani berbasis irigasi), seka tuak (komunitas hobi minum tuak), seka semal (penangkap tupai), seka gong (kelompok gamelan), dan banyak lagi.

Sementara seka tradisional berkembang terus, organisasi modern yang belakangan juga disebut dengan organisasi massa (ormas) mulai muncul. Sejak kapankah Bali mulai mengenal ormas? Mengapa dibentuk? Apakah kegiatannya?

Ormas pertama yang muncul di Bali adalah Setiti Bali (Hidup Bali), tahun 1917. Michel Picard (1999) menyebutkan Setiti Bali sebagai ‘organisasi modern’, bolehlah disingkat ormon. Istilah ormon dipakai untuk membedakan dengan organisasi tradisional seperti sekaa-sekaa yang tentu sudah ada sebelum 1917.

Setiti Bali dibentuk dan dipimpin oleh I Gusti Cakra Tenaya, punggawa (Camat) Sukasada, Buleleng. Menurut Picard, Setiti Bali dibentuk untuk mengkonter Sarekat Islam yang mendirikan cabang di Singaraja.

Setiti Bali bubar tahun 1920, dilanjutkan ormon baru Suita Gama Tirta, dipimpin I Gusti Putu Jlantik, keturunan Raja Buleleng dan anggota Raad van Kerta Singaraja.  Lalu, tahun 1923 muncul organisasi Santi (Santy), didirikan bersama oleh Gusti Putu Jlantik, Cakra Tenaya, dan Ktut Nasa. Nama terakhir adalah seorang guru dari Bubunan, Buleleng.

Kehebatan Santi

Prestasi Santi cukup hebat, terbukti ormon ini berhasil mendirikan sekolah perempuan. Saat itu, jumlah perempuan bersekolah amat sedikit. Kehadiran sekolah perempuan Santi, mendorong remaja putri bersekolah.

Selain sekolah, Santi juga memberikan kursus gamelan dan latihan baca lontar dalam rangka memperdalam ajaran Hindu.

Prestasi luar biasa Santi adalah keberhasilannya menerbitkan kalawarta Santi Adnyana, koran pertama di Bali. Dari koran ini muncul penulis/jurnalis yang kelak berkiprah di media massa berikutnya.

Organisasi Santi pecah karena tokoh-tokohnya berbeda pendapat dalam berbagai hal termasuk status kasta (jaba vs triwangsa).  Ktut Nasa, seorang jaba, keluar lalu menerbitkan koran Surya Kanta di bawah organisasi bernama sama Surya Kanta, dominan anggotanya kaum jaba. Sementara itu, I Gusti Cakra Tenaya menerbitkan koran Bali Adnyana, seolah sorong triwangsa. Polemik soal agama dan kasta berlangsung di kedua koran tersebut. Seru!!

Kedua koran ini hidup antara tahun 1924-1929. Yang menonjol dalam era lima tahun itu, bukanlah organisasinya, tetapi korannya. Pemerintah kolonial Belanda tidak khawatir dengan perselisihan pendapat yang sangat tajam di antara kedua kubu karena dapat menganggu stabilitas.

Bulan Mei 1926, pemerintah kolonial mensponsori berdirinya ormon yaitu Catur Wangsa Derya Gama Hindu Bali, sesuai namanya untuk semua wangsa dan menyatukan kelompok bertikai. Ketuanya adalah I Gusti Bagus Djelantik, Raja Karangasem, wakilnya adalah Cokorda Gde Raka Sukawati, punggawa Ubud, sedangkan IG Cakra Tenaya menjadi representatif Buleleng.

Organisasi Pelajar

Tahun 1920-an, murid Bali yang bersekolah di rantau Jawa juga membentuk organisasi pelajar yang disebut HUDVO (entah apa singkatannya, ‘O’-nya ‘onderwijs’). Saat liburan, anggota HUDVO pulang ke Bali menggelar pentas drama/tonil/ stambul di Singaraja dan Denpasar untuk menggali dana beasiswa agar lebih banyak lagi anak Bali bisa bersekolah ke Jawa. Tonil mereka pentas dalam bahasa Belanda atau Melayu atau Bali, tergantung penontonnya.

Tahun 1930-an, pelajar Bali membentuk organisasi Bali Dharma Laksana (BDL), yang kemudian menerbitkan majalah Djatajoe. Cabang BDL juga terbentuk di Yogya, anggotanya antara lain adalah I Gusti Made Djelantik (kemudian menjadi dokter dan kritikus seni) dan I Gusti Ngurah Rai (kemudian pahwalan revolusi). Selain menerbitkan majalah, ormon ini juga mendorong remaja untuk sekolah dan melakukan gerakan pemberantasan buta huruf (PBH).

Tahun 1938, anggota BDL mencapai 505 orang (di Bali dan Jawa), wajib berlangganan Djatajoe. Majalah kebudayaan berbahasa Indonesia ini menjadi wadah komunikasi bagi kaum intelektual waktu itu, para anggota BDL yang suka menulis.

Kalangan remaja putri Bali tak mau ketinggalan. Mereka juga membentuk ormon yang diberi nama Puteri Bali Sadar (PBS). Para pengurus PBS juga banyak yang menjadi anggota BDL, seperti suami/pacar mereka. Dengan mendirikan PBS, mereka bisa lebih fokus membantu nasib kaumnya lewat gerakan PBH.

Ketua PBS I Gusti Ayu Rapeg (istri IGP Merta anggota BDL), lewat tulisannya di Djatajoe mendesak pemerintah Belanda untuk mengeluarkan undang-undang perkawinan agar lelaki Bali tidak sekehendak hati berpoligami.

Ada banyak lagi organisasi modern yang dibentuk dan diikuti oleh kaum terdidik Bali. Tujuannya sebagian besar untuk memajukan pendidikan. Untuk mencapai tujuan itu, mereka aktif menggali dana, lewat jual majalah atau pentas seni.

Ormon Seni

Selain organisasi modern, di Bali juag banyak organisasi seni, seperti Pitamaha yang dibentuk oleh Cokorda Gde Agung Sukawati bersama Walter Spies (Jerman) dan Rudolf Bonnet (Belanda) tahun 1936. Pitamaha antara lain bertujuan memajukan seni rupa Bali. Sesudah kemerdekaan, Cok Sukawati mendirikan Museum Puri Lukisan untuk mewujudkan cita-cita Pitamaha.

Spirit nasionalisme di kalangan pemuda Bali waktu itu masih bersifat kedaerahan atau etnonasionalisme. Spirit nasionalisme yang sesungguhnya baru tampak pada perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Tahun 1950 merupakan tonggak penting kehidupan organisasi modern di Bali. Tanggal 14-17 April 1950, organisasi-organisasi pemuda di Bali menggelar Kongres Pemuda se-Bali di Denpasar. Seperti dilaporkan majalah Merdeka (No. 70, 20 Mei 1950, hlm. 7), delegasi kongres sepakat membentuk Kesatuan Pemuda Nasional Indonesia, yang memperjuangkan persatuan Indonesia sesuai dengan cita-cita UUD 1945 (Lihat ‘Kongres Pertama Pemuda Bali 1950, Seruan Kembali ke NKRI’, Bali Post, Minggu, 20 Maret 2016, p. 4).

Kehadiran organisasi pemuda atau ormas memang ditentukan oleh situasi kondisi saat dibentuk. Dewasa ini, banyak intelektual yang membentuk ormas untuk menjalankan cita-cita mereka, namun kadang citranya terlanjur tampak pragmatis, sampai rela berkelahi bahkan membunuh sesama warga Bali.

Meski ormas-ormas yang ada juga melakukan kegiatan sosial, citra yang lebih menonjol pada mereka adalah kekerasan daripada kegiatan sosialnya. Dalam situasi demikian, rasanya perlu kita bercermin dari ormon di Bali yang ada pada zaman kolonial yang berjuang memajukan pendidikan dengan tulus (I Nyoman Darma Putra).

Versi awal tulisan ini dimuat di Bali Post, Minggu, 20 Maret 2016, p. 4, pendamping tulisan Dr. Suryadi berjudul “Kongres Pertama Pemuda Bali 1950: Seruan Kembali ke NKRI”.