Gedung olah raga mewah di sudut barat-laut Stadion Ngurah Rai Denpasar dulunya merupakan pasar senggol yang ramai dan gedung bioskop yang merakyat. Pasar senggol tersebut terkenal dengan nama Lila Bhuwana, sedangkan gedung bioskopnya disebut Lila Bhuwana Theatre.
Lila Bhuwana [kadang ditulis Buana] adalah nama yang indah ucapan dan maknanya. Dalam bahasa Bali, ‘lila’ artinya ‘senang’, ‘bhuwana’ artinya ‘dunia atau tempat’. Sesuai dengan namanya, Lila Bhuwana merupakan tempat untuk bersenang-senang atau menghibur diri.
Ke pasar senggol Lila Bhuwana tempat inilah warga urban kota Denpasar tempo doeloe sering datang untuk bersenang-senang. Selain Lila Bhuwana, kehidupan malam atau night life yang banyak dikunjungi warga kota waktu itu adalah pasa senggol Suci (pojok utara Jln. Diponegoro, Pasar Senggol Suci).
Karena lokasinya yang strategis, di tepi jalan utama dan dalam jalur kendaraan umum, Lila Bhuwana menjadi ramai setiap malam. Lila Bhuwana menjadi salah satu denyut nadi kehidupan malam Denpasar tahun 1980 ke belakang, sebelum kota ini dihadiri mall-mall. Lila Bhuwana lebih ramai, lebih luas, dan lebih riuh daripada Suci.
Setiap malam, mulai jam 5 sore, Lila Bhuwana mulai ramai. Di sana ada dagang nasi campur, stand jamu, nasi goreng dan cap cay, sate dan gulai kambing, dan soto ayam. Nasi bungkus juga ada bagi orang yang tidak cukup waktu untuk santai di Lila Bhuwana. Pisang goreng, martabak, kopi kebus dan kacang ijo juga juga tersedia. Asap arang sate, atau desah kompor gas pisang goreng bercampur menciptakan irama keriuhan sejak jam 5 sore hingga jam 12.00 malam, sejalan irama ramainya pengunjung.
Yang tidak ketinggalan adalah dagang serombotan klungkung yang sangat populer. Hanya dalam hitungan satu-dua jam, serombotan sering amblas. Larisnya serombotan ini bukan saja menandai sedapnya masakan khas dari Klungkung tetapi juga mulainya masakan daerah masuk dan diminati warga urban Denpasar.
Awal tahun 1980-an, saat saya bekerja sebagai wartawan di Bali Post, kami sering makan malam di Lila Bhuwana. Dari kantor surat kabar terbesar di Bali itu, jarak Lila Bhuwana hanya 300 meter. Saat lapar menjelang kerja, atau lapar lagi setelah begadang di kantor biasanya kami selesaikan dengan makan di Lila Bhuwana. Pilihan menu banyak sekali.
Selain tenda makanan, di sana juga hadir stand yang menjual bermacam baju, mulai dari baju kaos, kemeja, celana dalam, kaos kaki, tas dan sepatu. Juga ada dagang kaset. Saat itu, kaset sangat populer, jauh sebelum CD atau VCD menggantikannya di era pertengahan 1990-an. Kaset lagu Indonesia (pop dan dangdut), pop Bali, dan lagu Barat tersedia dengan harga murah, harga pasar senggol. Saat itu, kaset masih merupakan lambang modernitas masyarakat.
Sebagaimana layaknya pasar senggol di mana-mana, Lila Bhuwana pun dimeriahkan pedagang obat yang lihai propagada dengan loud-speaker yang suaranya di sepi malam bisa kedengaran sampai Taensiat di barat atau Tonja di timur. Atraksi yang dijanjikan menarik, walau tidak pernah sampai dilakukan dengan optimal. Hanya sulap-sulap kecil yang dimainkan, misalnya menilep dan menunjukkan uang lewat lengan atau sapu tangan, juga atraksi naik sepeda satu roda. Jumlah pedagang obat bisa lebih dari dua atau tiga sehingga Lila Bhuwana benar-benar menjadi pasar senggol yang komplit. Agar tampak saling membantu, sesama dagang obat sering tampil bergantian sehingga sama-sama bisa menangguk rezeki.
Kupu-kupu Malam
Tidak ada pasar senggol kalau tidak dilengkapi kupu-kupu malam. Di sisi selatan, di tempat yang remang; atau di tempat terang yang gabung dengan warung makanan, senantiasa ada wanita yang bisa dibawa pergi untuk menikmati malam dengan bayaran. Sebagian dari kupu-kupu malam itu ada yang berrumah di Lumintang, terkenal dengan sebutan Carik (sawah), tempat orang mencangkul: bukan mencangkul tanah, tapi wanita!
Walau ada kupu-kupu malam, nama Lila Bhuwana tetaplah harum untuk mencari makanan dan hiburan. Gedung bioskopnya hebat dan sering ramai, terutama saat memutar film Indonesia atau saat hari raya. Film ‘Ratapan Anak Tiri’ yang sedih dan film ‘Balas Dendam’ yang syuting di Bali pernah menjadi saksi magnet Lila Bhuwana menarik penonton. Perpaduan bioskop dan pasar senggol memang menjadi perpaduan yang unik buat Lila Bhuwana sebagai tempat hiburan rakyat menengah ke bawah.
Lila Bhuwana akan semakin ramai kalau di sisi selatan, depan stadion, dilaksanakan pameran pembangunan 17 Agustusan. Dalam pameran yang biasanya buka sampai malam hari, dipentaskan kesenian Bali atau pemutaran film pembangunan, dokumenter. Warga kota dan pelajar berduyun ke sana siang dan malam. Denyut Lila Bhuwana menjadi lebih seru, pedagang bisa lebih laris. Jalan Melati biasa sesak oleh sepeda dan sepeda motor. Mobil belum banyak saat itu.
Keramaian dan keunikan pasar senggol Lila Bhuwana berlanjut sampai pertengahan 1980-an, walaupun bioskopnya lebih dulu pudar karena hadirnya dan persaingan dengan bioskop ber-AC dan mewah seperti Nirwana, Indra Theatre, dan Wisata Theatre di Jl Thamrin. Walaupun masyarakat secara ekonomi sebetulnya lebih pas dengan tarif bisokop Lila Bhuwana, mereka terbius untuk menikmati hal-hal yang mutakhir: gedung berpendingin, kursi empuk, sambil makan empuk-jagung atau kwaci.
Entah karena diangap tidak pas dengan wajah kota Denpasar yang kian bersolek modern, atau tanah itu memang bukan diperuntukkan buat pasar senggol, akhirnya menjelang akhir 1980-an, Lila Bhuwana dikosongkan. Sebagian pedagangnya pindah ke pasar Kereneng, pasar senggol yang sudah hadir sebelumnya tetapi tak begitu ramai.
Keluhan dari pedagang cukup keras tetapi tidak ada protes atau demonstrasi. Tidak ada LSM, LBH, atau mahasiswa yang membela kepentingan pedagang atau kepentingan publik atas Lila Bhuwana. Media massa yang lemah dalam kontrol atas pemerintah juga mempercepat lenyapnya Lila Bhuwana. Di zaman kuatnya pemerintah, rakyat dengan mudah dikalahkan. Lila Bhuwana kini adalah nama banjar di Jl Tri Jata, balakang gedung Bank Indonesia (lama), sedangkan keriangan pasar senggolnya tinggal kenangan!
Lila Bhuwana yang merupakan masa lalu night life kota Denpasar sudah hampir dua dekade hilang, sudah hampir dua dekade sudut utara Jl Melati yang dulu terang dan ramai menjadi sunyi senyap; sementara gedung olah raga modern yang sudah dibangun di atasnya tidak kunjung rampung!
Yayasan Lilabhuwana harus menyerahkan gedung itu kepada Gubernur Bali dan Gubernur Bali kepada Yayasan Prasarana dan Sarana Olah rga daerah Bali. Penyerahan dilaksanakan Maret 1977, dead line-nya Desember 1977. Maunya Bupati Badung Dewa Gede Oka waktu itu gedung itu dibiarkan, hanya ditertibakn terutama pedagang yang melebar ke timur dan selatan, tetapi Ketua Yayasan Prasarana dan Sarana Olah Raga daerah Bali I Gst Gde Subamia tidak setuju karena bisa membahayakan, ada tusuk sate. Saat itu dicatat ada sekitar 150 pedagang. Meski sudah diberi batas waktu sampai akhir 1977, nyatanya pedagang tidak angkat kaki sampai pertengahan 1980-an.
Pembangunan GOR ini sempat berlarut-larut, memakan waktu lama karena keterbatasan anggaran dari pemerintah daerah. Biaya pembangunan gedung mewah itu sekitar Rp 16 milyar. Tahun 2007 pemerintah menganggarkan lagi Rp 2,4 milyar untuk parkir, pagar keliling GOR, lampu serta instalasi listrik lainnya.
Dengan hadirnya GOR itu, lenyaplah riwayat Lila Bhuwana sebagai pasar senggol dan hiburan malam amsyarakat urban Denpasar. Semuaya tinggal kenangan, kenangan di Lila Bhuwana.
Darma Putra
versi awal dimuat di Balebengong: http://thebalebengong.blogspot.co.id/2007/06/lila-bhuwana.html