Kongres Pemuda Bali di Denpasar. Foto Repro Majalah Merdeka, diambil dari tulisan Suryadi di Bali Post Minggu, 20 Maret 2016.
Kongres Pemuda seluruh Bali di Denpasar, 14-17 April 1950. Foto Repro Majalah Merdeka, diambil dari tulisan Suryadi di Bali Post Minggu, 20 Maret 2016.

Denpasar layak mendapat julukan Kota Konferensi. Alasannya, sejak masa kolonial tepatnya tahun 1930-an, Denpasar sudah sering dan terus menerus dipilih sebagai tempat seminar, rapat, sidang, munas, kongres, dan sejenisnya, baik untuk tingkat nasional maupun internasional, baik yang diselenggarakan oleh partai politik maupun organisasi profesi.

Menjadikan Kota Denpasar (termasuk Sanur) sebagai tempat konferengsi, kongres, seminar terus berlanjut sampai sekarang. Pejabat tinggi seperti Presiden kerap hadir membuka konferensi atau musyawarah, seperti yang terakhir adalah Musyawarah Nasional XIII Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) pada 19-22 Januari 2014, yang dibuka Presiden SBY.

Dalam industri pariwisata, kegiatan konferensi (conference), pertemuan (meeting), pameran (exhibition) dan wisata insentif (incetive) biasa disingkat dengan MICE (meeting, incentive, conference, exhibition) merupakan pasar-ceruk (niche market) yang memberikan keuntungan yang potensial.

Peserta konferensi biasanya berjumlah banyak, mereka memerlukan banyak akomodasi, makanan, berwisata, souvenir, dan jasa-jasa lainnya. Makanya, mengembangkan Denpasar sebagai Kota Konferensi, bukan saja penting untuk perkembangan ekonomi-pariwisata tetapi juga mengukuhkan pengalaman Denpasar sejak zaman kolonial.

Konferensi Era Kolonial

Bila ditengok ke masa silam, dapat diketahui sejumlah konferensi yang berlangsung di Denpasar yang bisa dijadikan alasan untuk menjadikan Denpasar Kota Konferensi.

Acara konferensi besar pertama yang berlangsung di Denpasar pada zaman kolonial adalah Kongres Kebudayaan Bali, 18-23 Oktober 1937, dilaksanakan oleh Java Institut, diikuti 200 orang. Java Institut sering melaksanakan kongres kebudayaan dan biasanya pertemuan mereka itu di kota-kota di Jawa, dan membahas kebudayaan-kebudayaan Jawa atau Sunda. Ketika giliran membahas kebudayaan Bali, lembaga milik kolonial Belanda itu memilih melaksanakannya di Bali, termasuk dan terutama di Denpasar.

Kongres Kebudayaan diikuti sejumlah sarjana Belanda, yang diangkut ke Bali dengan kapal layar melalui Pelabuhan Singaraja atau Padangbai. Dari kedua pelabuhan itu, peserta diangkut dengan kendaraan ke Puri Denpasar, tempat kongres berlangsung. Peserta kongres menikmati makan siang di Bali Hotel, akomodasi mewah pertama di Bali yang dibangun oleh Belanda tahun 1928.

Kegiatan kongres diselingi dengan acara wisata-budaya ke berbagai objek seperti Tampaksiring, Goa Gajah, dan Kertagosa. Dalam beberapa tempat, rombongan disuguhkan seni pertunjukan Bali. Topik kebudayaan yang dibahas dalam Kongres disaksikan langsung para peserta dalam realitas.

 Acara penutupan Kongres berlangsung di Denpasar, diisi dengan ceramah tentang Museum Bali oleh pengelolanya Ir. H. Resink. Acara pamungkas diisi dengan pentas pertunjukan wayang dengan lakon Ramayana.

Konferensi Denpasar

Sesudah kemerdekaan, konferensi penting yang berlangsung di Denpasar adalah Konferensi Denpasar. Konferensi yang diprakarsai oleh Belanda ini dilaksanakan pada tanggal 18-24 Desember 1946. Bali Hotel di Jalan Veteran merupakan tempat konferensi ini dilaksanakan. Itulah satu-satunya fasilitas memadai dan bertaraf internasional untuk itu.

Konferensi Denpasar merupakan rangkaian dari Konferensi Malino yang berlangsung, 17-20 Juli 1946. Keduanya dilaksanakan Belanda untuk mengotak-atik strategi politik pecah-belah agar mereka bisa kembali menjajah Indonesia yang sudah merdeka tahun 1945. Pemerintah kolonial Belanda secara de facto hanya mau mengakui otoritas kaum Republik atas Sumatra, Jawa, dan Madura. Daerah-daerah lainnya, termasuk Bali, tidak diakui kemerdekaannya alias berada di bawah kekuasaan Belanda.

Konferensi Denpasar melahirkan Negara Indonesia Timur (NIT), yang berada di bawah kontrol Belanda. Delegasi Bali yang hadir dalam Konferensi Denpasar, seperti dicatat Geoffrey Robinson dalam bukunya The Dark Side of Paradise (1995:151), adalah Cokorda Gde Raka Sukawati, Anak Agung Gde Agung, Gde Paneca, I Gusti Bagus Oka, Anak Agung Nyoman Panji Tisna, dan Made Mendra.

Setelah NIT terbentuk, Belanda memilih Cokorda Gde Raka Sukawati sebagai President dan Anak Agung Gde Agung sebagai perdana menteri NIT. Wilayah NIT mencapai Bali dan seluruh dari Indonesia Timur kecuali Irian Barat. Belakangan NIT dipelesetkan sebagai “Negara Ikut Tuan”.

Terlepas dari riwayat NIT yang akhirnya ambruk karena kekuatan kaum Republik untuk mempersatukan Indonesia, kota Denpasar telah menjadi saksi sejarah ambisi Belanda hendak menguasai Nusantara kembali. Riwayat Denpasar sebagai kota konferensi bermula dari sini karena namanya disebut dengan ‘Konferensi Denpasar’. Jika dilihat ke belakang, Denpasar sudah menjadi tempat kongres tahun 1937.

Kongres Pemuda Bali

Tak hanya orang luar memilih Denasar sebagai tempat berkongres, tetapi juga pemuda Bali sendiri. Organisasi-organisasi pemuda di seluruh Bali mengadakan kongres di Denpasar  selama tiga hari, 14 – 17 April 1950. Majalah Merdeka No. 70, Thn III, 20 Mei 1950:7 melaporkan bahwa kongres itu dilaksanakan untuk menyatukan tekad meluruskan semangat perjuangan yang mulai melenceng. Para pemimpin ada yang “mempergunakan kepercayaan yang ditumpahkan kepadanya untuk menjadikan rakyat sebagai batu loncatan guna mencari kedudukan diri dan golongannya” (Suryadi, Bali Post, 20 Maret 2016).

Kongres itu dihadiri oleh wakil-wakil organisasi pemuda seluruh pelosok pulau Bali, peserta perseorangan dan peninjau dari berbagai lapisan rakyat. Kehadiran peserta dari berbagai lapisan masyarakat dan organisasi itu menunjukkan kongres itu penting.

Majalah Merdeka menulis bahwa Kongres Pemuda Bali di Denpasar berhasil membentuk  Kesatuan Pemuda Nasional Indonesia-Bali. Salah satu tuntutan mereka yaitu melakukan “mosi pembubaran NIT dan bergabung dengan Republik Indonesia.”

Tuntutan yang sama sudah diajukan pula oleh “Front Kesatuan Nasional yang telah lahir beberapa waktu berselang di Pulau Dewata […] dengan memperkuat mosi-mosi terdahulu pada tanggal 28 April [1950] […] telah mendesak penggabungan kepulauan Sunda Kecil, selaku propinsi dari Republik Indonesia, sesuai dengan proklamasi 17 Agustus 1945.” Sekitar empat bulan kemudian, pada 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan.

Kongres ini penting dari segi sejarah nasionalisme, juga penting dicatat sebagai sejarah Denpasar populer sebagai tempat berkongres.

Konferensi Kebudayaan Nasional

Tahun 1958, Denpasar menjadi tuan rumah pertemuan kebudayaan tingkat nasional. Tempatnya juga di Bali Hotel, seperti mengulang kembali peristiwa Kongres Kebudayaan Bali dua dekade sebelumnya. Konferensi ini dilaksanakan oleh Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Magnet Bali sebagai kota wisata yang sudah populer sejak zaman kolonial membuat banyak budayawan Indonesia mengalir ke Bali untuk mengikuti pertemuan BMKN.

Menurut laporan yang ada, acara pembukaan pertemuan kebudayaan ini ramai dan meriah, aula Bali Hotel penuh. Namun, saat sidang-sidang komisi atau pembahasan makalah, ruangan pada sepi karena banyak peserta pertemuan yang ngelencer ke luar menjadi turis. Andaikan pertemuan ini dilaksanakan di kota lain di Indonesia, mungkin pesertanya tak seramai kalau diadakan di Denpasar.

Sastrawan Ajip Rosidi, asal Bandung, yang ketika itu tentu masih muda usia, adalah salah satu peserta pertemuan kebudayaan BMKN. Dia pun tampaknya sempat keliling Bali, menjadi wisatawan. Kesan manisnya ditulis dalam sebuah puisi tentang Bali yang mengiaskan bahwa dia tidak ingin pulang ke Bandung, ingin tetap tinggal di Bali karena keindahan alam dan budaya pulau ini.

Tentu saja bukan Ajip Rosidi saja yang jatuh cinta, tetapi juga sastrawan dan budayawan lain. Buktinya, tak lama kemudian, Denpasar kembali dipilih menjadi tempat konferensi.

Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI), memilih Denpasar sebagai lokasi Konferensi Nasional (Konfernas) pada 25-27 Februari 1962, empat tahun setelah pertemuan kebudayaan BMKN. Lokasi Konfernas Lekra lagi-lagi di Bali Hotel, Denpasar.

Konfernas Denpasar merupakan salah satu pertemuan nasional Lekra yang sangat penting setelah Kongres Solo 22-28 Januari 1959 karena untuk pertama kalinya sejak Lekra dibentuk 1950, melaksanakan pertemuan bertaraf nasional di luar Jawa.

Peserta Konfernas Lekra pun terpincut pada keindahan Bali. Banyak yang tidak mau pulang, makanya konfernas ini juga dikenal dengan ‘konfernas tak seorang berniat pulang’. Kesan-kesan seniman lekra banyak dituangkan dalam puisi, tentu sajak puisi propaganda ideologi komunis dengan menjadi Bali sebagai alat tembak estetikanya. Nyoto, salah seorang tokoh Lekra misalnya, mendapat inspirasi dari tari kecak Bali, menulis puisi yang antara lain berbunyi: cak-cak-cak-cak/ imperialisme/ kanan baru/ feodalisme/ si kepala batu/ kita tinju/ satu per satu.

Sukses Konfernas Lekra kembali membuat Denpasar terpilih sebagai lokasi pelaksanaan Sidang Komite Eksekutif Konferensi Pengarang Asia-Afrika (SKE-KPAA). Pertemuan internasional ini berlangsung 16-21 Juli 1963 di Hotel Segara Village, Sanur, satu dari sedikit hotel yang mulai tumbuh di Sanur, mendahului kehadiran Bali Beach Hotel.

Sidang Konferensi Eksekutif KPAA ini diikuti delegasi seniman dan budayawan negara-negara Asia Afrika. Sidang ini dibuka Presiden Sukarno dan ditutup oleh Menlu Subandrio di Hotel Bali, Denpasar—di tempat berlangsungnya Konfernas Lekra setahun sebelumnya.

Tidak jelas apakah Sukarno hadir langsung atau diwakili dalam pembukaan SKEKPAA, yang jelas Sukarno menyampaikan pidatonya yang ringkasannya dimuat di Harian Rakjat (21/7/1963, hlm 1). Dalam amanatnya itu, Presiden Sukarno mendesak pengarang Asia Afrika berani menjadi manusia yang mampu mengabdikan pikirannya bagi semua Rakyat Asia Afrika, harus melihat sekeliling dirinya, harus menyelidiki, harus menyelam dalam kedalaman dasar jiwa revolusi yang besar ini.

Bali Beach

Hadirnya Hotel Bali Beach mulai tahun 1966, membuat Denpasar kian ramai dipilih sebagai tempat konferensi. Salah satu pertemuan dunia yang besar yang berlangsung awal 1980-an, adalah kongres internasional taman nasional, berlangsung di Bali Beach Hotel. Dari sanalah kiranya Bali mendapat inspirasi untuk mempopulerkan ambisinya menjadi ‘Bali sebagai Pulau Taman’, walaupun belum sepenuhnya terwujud sampai sekarang.

Ada banyak lagi pertemuan nasional dan internasional di Denpasar atau Bali termasuk yang kemudian diadakan di kawasan Kuta dan Nusa Dua setelah hotel-hotel di sana rampung. Pertemuan itu biasanya menghasilkan deklarasi, namanya pun kerap disebut dengan Deklarasi Bali. Pertemuan OPEC dan ASEAN yang diliput wartawan dunia membuat Bali mendapat promosi pariwisata cuma-cuma. Ini jelas merupakan keuntungan yang tak ternilai harganya.

Tahun 1990-an dan 2000-an, Denpasar juga menjadi tuan rumah berbagai pertemuan partai politik, seperti yang dilaksanakan PDIP dan Golkar. Dalam pertemuan Bali-lah, Ketua DPP PDIP Megawati Soekarnoputri ditetapkan sebagai calon presiden untuk pemilu 1999.

Perayaan HUT partai-partai besar juga dilaksanakan di Denpasar atau di kota lainnya di Bali.  Contohnya, Partai Demokrat juga melaksanakan Kongres Luar Biasa awal 2013 di Bali Beach, Sanur.

 Banyak Keuntungan

Banyak keuntungan bisa diambil sebagai kota konferensi, termasuk keuntungan politik dan ekonomi. Secara politik, Denpasar atau Bali akan senantiasa diperhitungkan dalam konstelasi kekuatan politik nasional. Paling tidak, hubungan politisi lokal dengan pusat menjadi lebih akrab, yang bisa membukakan jalan untuk ke level nasional. Misalnya, politik pemenang pemilu atau yang tokohnya menjadi pemimpin, akan memperhitungkan untuk memasukkan wakil Bali dalam jajaran kekuasaan atau pemerintahan.

Secara ekonomi, keuntungan akan dirasakan sektor pariwisata dan transportasi. Dalam sekali kongres, bisa dibayangkan, berapa ratus juta atau milyar uang dikucurkan ke lokasi konferensi. Para pengelola hotel, restoran, dan bahkan sopir taksi pun akan ikut menikmati. Penyedia souvenir juga akan laris, bukan saja untuk disediakan bagi peserta kongres (berupa tas atau kipas) tetapi juga bagi mereka yang membelinya untuk oleh-oleh buat keluarga atau kolega sebagai tanda mata dari Bali.

Mumpung berbagai fasilitas akomodasi, transportasi (khususnya udara), dan magnet Bali yang begitu komplet sebagai daerah tujuan wisata, Denpasar mestinya mengibarkan diri dengan tegas dan mantap sebagai kota konferensi, kota kongres, atau kota munas.

Darma Putra

 Versi awal pernah dimuat di koran Bali Tribune dan sebelumnya lagi di BaleBengong http://balebengong.net/sosial-budaya/budaya/2007/08/21/kota-konferensi.html