Pertokoan Suci Sari Jaya dijepret dari arah Jalan Sumatra, 12 Maret 2016 (Darma Putra)
Pertokoan Suci Sari Jaya dijepret dari arah Jalan Sumatra, 12 Maret 2016 (Darma Putra)

Pertokoan Suci Plaza dulunya adalah stanplat (terminal), pompa bensin, dan pasar senggol. Sebagai pasar senggol, terminal Suci merupakan pusat kehidupan malam kota Denpasar. Di senggol Suci-lah pertama kali dijual nasi jenggo, nasi bungkus yang populer sampai sekarang.

Letak senggol Suci sangat strategis, yakni di sudut perempatan Jalan Diponegoro, Jalan Sumatra, Jalan Hasanudin (ke Timur dan ke Barat). Dari sudut mana pun, Suci gampang dijangkau. Senggol dan stanplat Suci diberi nama sesuai dengan nama banjar/daerah tempatnya berlokasi. Banyak kenangan terekam tentang senggol dan stanplat Suci termasuk yang ditulis penyair Suhartawan, dimuat di Bali Post, 20 Januari 1978, berjudul ‘stanplat suci’ (lihat di bawah).

Selepas pertengahan tahun 1980-an, senggol Suci diubah menjadi bangunan bertingkat. Sepertinya perombakan dan pembangunan ini merupakan bagian dari usaha mempermodern wajah kota.

Perombakan senggol suci dan pembangunan Suci Plaza dilaksanakan tak lama setelah pembangunan Pertokoan Kertha Wijaya, di Jalan Diponegoro. Sejak itu, makin banyak bangunan baru muncul, mengubah wajah kota Denpasar menjadi kian mentereng.

Setelah dibangun menjadi gedung bertingkat, senggol Suci berubah nama menjadi Suci Plaza. Di gedung itu tertulis ‘Pertokoan Suci Sari Jaya’, namun yang lebih dikenal adalah Suci Plaza, nama yang lebih modern, terasa lebih keren.

Suci Plaza menyimpan banyak cerita, bagian dari Denpasar tempo doeloe. Pada siang hari, Suci merupakan terminal untuk angkutan dalam kota dan antar-kota. Untuk angkutan antar-kota, Suci menghubungkan jalur Suci-Sanglah; Sanglah-Suci-Gajah Mada; dan akhirnya juga Suci-Ubung. Tahun 1970-an dan awal 1980-an, angkutan kota dilayani bemo roda tiga.

Suci merupakan terminal penting kota Denpasar, sebelum terminal Ubung beroperasi. Di sini mangkal bus yang melayani angkutan ke arah Barat, seperti Tabanan dan Negara. Areal terminal Suci tidak begitu luas, namun cukup untuk menampung beberapa bus dan minibus angkutan antar-kota.

Di terminal Suci yang relatif sempit itu juga terdapat pompa bensin. Pompa bensin Suci merupakan salah satu tempat pembelian BBM yang stragegis letaknya bagi kendaraan angkutan umum dan pribadi. Bus, motor, dan bemo roda tiga jika ‘haus’ dapat beli bensin di sana.

Selain kesibukan lalu-lintas keluar masuk terminal dan pompa bensin, Suci juga memancarkan kesibukan pasar kecil. Di arena yang sempit numplek pedagang kecil yang menjual sayur, buah, janur, kopi, dan pindang. Ikan asin dipasok dari Serangan atau Jimbaran/Kedonganan.

Malam hari, senggol Suci merupakan salah satu pasar malam yang ramai. Inilah senggol yang komplit untuk mencari hidangan malam. Ada dagang sate kambing, nasi campur (antara lain Bu Sri), cap-cay puyung hai, soto ayam (antara lain Cak Di), dan kacang ijo. Dagang kacang ijo mojok di tenggara, jalan keluar/masuk terminal ke Jln Diponegoro. Pelintas jalan bisa beli kacang ijo bungkus tanpa perlu masuk senggol.

Di sana juga dagang pisang goreng dan martabak. Tak gampang mencari martabak dulu, tapi Suci sudah menyediakan. Yang tak ketinggalan adalah pedagang jamu. Makin malam makin lakulah jamu diuntungkan oleh untaian promosi: kalau begadang minumlah jamu; kalau minum jamu begadanglah!

Suci menorehkan kisah lahir dan populernya nasi jenggo. Di sinilah pertama kali muncul pedagang nasi bungkus ukuran kecil, populer dengan nama nasi jenggo. Entah dari mana asal nama itu. Yang jelas, istilah ‘jenggo’ dapat menimbulkan asosiasi dengan film ‘Django’ yang dibintangi oleh Franco Nero, muncul tahun 1960-an dan populer lagi 1980-an. Kemungkinan besar nama nasi ini diambil dari nama tokoh film Django, karena mungkin warga kota yang usai menonton film waktu itu lalu mampir ke senggol Suci beli nasi kecil-kecil yang dibungkus daun pisang segar.

Pedagang nasi bungkus ini nongkrong di sisi utara senggol, pinggir jalan. Di sisi tenggara juga ada, tetapi tak senak yang jinggo ini. Harganya murah, rasanya sedap, dan kian lezat karena pedagang menyediakan sambel lalah-manis yang pas dengan nasi dan menu ayam atau sapi. Harga sebungkus nasi waktu itu sekitar Rp 150, kemudian naik menjadi Rp 200. Pedagangnya seorang wanita, dibantu adik-adik dan familinya. Bukanya pun agak malam, jam 20.00 karena targetnya memang pembeli malam.

Pengunjung malam bisa makan di sana, duduk di atas dampar, berhimpitan, atau di atas batu leneng, namun banyak juga yang membeli nasi jinggo berbungkus-bungkus untuk dimakan di tempat lain. Pedagang biasanya memberikan sambel ekstra secara gratis. Ketika menjadi panitia lomba drama modern se-Bali yang pementasannya dilaksanakan tiap malam di Taman Budaya, Art Centre, tahun 1983, saya menjadikan nasi jenggo Suci sebagai hidangan buat panitia yang semuanya adalah mahasiswa Fakultas Sastra Unud. Malam-malam usai pementasan, panitia bersuka hati menikmati nasi jenggo sebelum pulang.

Dibandingkan senggol Lila Bhuwana yang tutup pk. 12.00 malam, opening hour senggol Suci jauh lebih larut, seolah lebih kuat menjaga denyut nadi kehidupan malam kota Denpasar waktu itu.

Sejumlah seniman suka nongkrong di tempat ini. Sastrawan Gerson Poyk, dari NTT, ketika tinggal di Bali sering makan sate dan minum bir di Suci tengah malam, begadang bersama penyair Umbu Landu Paranggi dan dramawan dan bintang film AAN Jagatkarana (alm). Kebetulan, kediaman Jagatkarana hanya di seberang jalan, jadi gampang bagi beliau nongkrong. Sering beliau hanya muncul dengan pakaian tidur seperti kaos dan sarung. Seniman topeng Carangsari, I Gusti Ngurah Windia, kalau pulang dari pementasan sesekali juga mampir ke Suci untuk makan.

Seorang penyair bernama Suhartawan menuliskan kesannya tentang kehidupan malam di Suci dalam bentuk sajak berjudul ‘Stanplat Suci’, dimuat di Bali Post (20 Januari 1978). ‘Stanplat’ artinya ‘terminal’. Kehidupan malam Suci dilukiskan antara lain dengan menggambarkan kehadiran ‘pasang-pasang merpati’, yang mungkin maksudnya adalah wanita penghibur, yang biasanya dilukiskan dengan ‘kupu-kupu malam’. Syukur saya bisa menemukan kliping sajak itu seperti ini (lihat foto).

Kliping sajak 'Stanplat Suci' dari Bali Post, 20 Januari 1978, hlm.3 (File: Darma Putra)
Kliping sajak ‘Stanplat Suci’ dari Bali Post, 20 Januari 1978, hlm.3 (File: Darma Putra)

Sejalan dengan usaha mempercantik dan mempermodern kota Denpasar, sosok Suci sebagai senggol, pompa bensin, dan terminal lalu digusur. Ini terjadi menjelang akhir tahun 1980-an.

Pedagang senggol Suci dipindahkan ke Lapangan Pekambingan, lokasinya di Jl Diponegoro di depan Bali Mall Ramayana  (yang waktu itu belum berdiri). Pasar mana pun, kalau sudah dipindahkan, pasti keramaiannya merosot. Walaupun letaknya strategis, di pinggir Jalan Diponegoro, suasana senggol Suci atau senggol Pekambingan relatif sepi. Pedagang tetap jualan sampai larut malam, tetapi pengunjung tak seramai Suci.

Tak lama kemudian, lokasi senggol Pekambingan pun digusur lagi karena tempat itu disulap menjadi pertokoan. Para pedagang ada yang pindah ke senggol Kereneng, ada pula yang dipindah ke tepi selatan kuburan Badung, dekat terminal Tegal. Setelah pindah berkali-kali, tamatlah riwayat senggol Suci.

Nasi jenggo hilang dari Suci sejalan dengan pembangunan pertokoan Suci Plaza. Namun, jenggo muncul di mana-mana, seperti di Jln Diponegoro (di depan pertokoan Kertha Wijaya), Jln. Thamrin, Jln Wahidin, dan Jln. Setiabudi. Kalau sekarang nasi jenggo menjadi salah satu identitas kota Denpasar, adanya di mana-mana, dijual malam hari, maka cikal-bakalnya adalah senggol Suci.

Ciri nasi jenggo tetap sama: nasi bungkus daun pisang, harga merakyat, makan sebungkus pasti tidak cukup. Berkeranjang-keranjang bungkus nasi laku dijual saban malam. Nasinya cepat habis jauh sebelum senggol tutup. Saking populernya jenggo, hidangan yang biasanya hadir malam hari pun bisa diperoleh siang hari, dijadikan hidangan dalam acara-acara ‘kerakyatan’.

Bagi yang pernah menikmati nasi jenggo senggol Suci dan gandrung nostalgia atau pemuja masa lalu, pasti banyak yang setuju bahwa jenggo senggol Suci jauh lebih enak daripada jenggo sekarang ini.

Lokasi senggol Suci diubah menjadi pertokoan bertingkat dan di bawahnya untuk parkir. Seperti pertokoan lain, Suci Plaza pun tak berhasil membuat Denpasar mentereng. Di sana ada toko emas, pernah juga ada wartel, money changer, dan toko lainnya. Kini banyak yang tutup. Pengunjung seperti malas ke sana, malas naik tangga. Kualitas bangunannya kurang begitu baik, kebocoran atau kemampatan dari air hujan dan kamar mandi tampak di sana-sini. Arena parkir bawah tanah semula tampak ideal, tapi perkembangan jumlah mobil yang begitu cepat, membuat kehadirannya tidak banyak memberikan solusi.

Belakangan di emper depan Suci Plaza muncul dagang makanan dan jamu. Kehadiran dagang makanan ini seolah merupakan reinkarnasi mini atau panggilan tanah Suci untuk menghidupkan pasar malam yang pernah jaya di sini. Dagang makanan ini menunjukkan bahwa kemampuan dan gaya hidup sebagian warga kota Denpasar masih dominan pada model senggol, tampak belum bisa digantikan sepenuhnya oleh style plaza atau mall.

Di Suci Plaza terekam banyak kenangan tentang denyut kota Denpasar tempo doeloe. ***

Darma Putra

-Versi awal tulisan ini dimuat di Balebengon