IMG_0189 - CopyIMG_0191KETIKA mencari-cari buku-buku pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah pada zaman kolonial Belanda di Bali, saya mendapatkan buku Balineesch Spelboekje (pelajaran aksara Bali) di Perpustakaan KITLV Leiden. Buku pelajaran sekolah ini dikarang oleh I Ranta, terbit di Batavia (Jakarta), tahun 1874. Naskahnya sendiri selesai ditulis dua tahun sebelumnya, yakni bulan Desember tahun 1872. Karena usianya di atas 100 tahun, Balineesch Spelboekje ini hanya bisa dibaca di ruang perpustakaan, tidak boleh dibawa ke luar. Peraturan ini berlaku untuk semua buku langka, yang usianya di atas 100 tahun. Buku itu dirawat dengan baik oleh KITLV, buktinya bukunya dijilid ulang, kulitnya diganti dengan karton.

Dalam perpustakaan pribadi Dr. Hedi Hinzler di Leiden, saya juga menemukan buku yang sama. Barulah saya tahu warna kulit aslinya: hijau gelap. Kulit di depan bertuliskan aksara Jawa, di kulit belakang ditulis dengan huruf Latin (lihat foto).Benarkah ini buku pertama? Menurut keterangan C. Lekkerkerker dalam bibliografi Bali-Lombok yang ditulisnya tahun 1920 (halaman 3), buku karya I Ranta ini memang merupakan buku bahasa Bali pertama.Hedi Hinzler dalam tulisannya Balinese palm-leaf manuscripts” (1993) juga menegaskan bahwa karya I Ranta adalah buku pelajaran aksara Bali yang terbit pertama. Sampai akhir abad ke-19, sebelum buku I Ranta muncul, belum ada buku ihwal uger-uger aksara Bali .

Sekolah modern pertama di Singaraja berdiri 1875 (Putra Agung 1969:2), bisa jadi buku ini memang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan materi pelajaran sekolah modern model Belanda itu. Kebijakan kolonial Belanda waktu itu mewajibkan penggunaan lokal–daerah sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah daerah provinsi. Bahasa Melayu sebagai alternatif jika bahasa daerah tidak ada atau tidak mungkin dipakai.Di Bali, jelas bahasa Bali dijadikan bahasa pengantar dan sebagai mata pelajaran yang diajarkan. Dalam kondisi seperti itu, buku I Ranta Balineesch Spelboekje tentulah merupakan buku utama.

Siapakah I Ranta? Ada sedikit sekali keterangan tentang I Ranta. Informasi dirinya bisa dipetik di kulit depan buku yang bertuliskan: pakardin tityang wong kari wimuda, I Ranta, samuruk ring panagara Bandung (karya saya yang masih muda, I Ranta, bersekeloh di Bandung ). Lekkerkerker juga menyebutkan bahwa I Ranta bersekolah sekolah guru di Bandung

Selain itu, tidak banyak ada informasi tentang I Ranta. Bagaimana dia sampai “terdampar” di sekolah guru di Bandung tidak jelas adanya.

Yang jelas tahun 1908, Ranta kembali menerbitkan buku, judulnya Balineesch leesboekje (pelajaran bahasa Bali) diterbitkan di Batavia oleh Landsdrukkerij, sama dengan penerbit bukunya yang pertama. Dalam buku ini ditulis bahwa Ranta masih sekolah di Bandung . Buku ini selesai ditulis 1905, dalam huruf Bali . Isinya bukan pelajaran aksara, tetapi bacaan cerita (satua) sebanyak 24 judul. Beberapa cerita seperti “Pan Balang Tamak” sudah dimuat dalam buku pertama.

Kalau buku pertama ditulis sendiri tanpa bantuan, untuk buku kedua I Ranta mendapat bantuan koreksi (diperbaiki oleh) dari Mas Niti Sastro, seorang kepala sekolah di Singaraja yang berasal dari Jawa, kemungkinan besar dari Malang.

Buku kedua sudah menggunakan huruf Bali , bukan huruf Jawa seperti buku pertama.

 

Mengapa Huruf Jawa?

 

Jawabannya kemungkinan besar pada tahun 1870-an belum ada alat percetakan huruf Bali . Rupanya perangkat cetak huruf Bali baru tersedia 23 tahun kemudiannya, seperti terlihat dari penggunaannya dalam kamus bahasa Kawi-Bali-Belanda mahakarya Van der Tuuk yang terbit tahun 1897.

Bukan buku Bali saja yang tertulis dalam huruf Jawa, buku Sunda juga demikian adanya. Buku-buku berbahasa Sunda yang terbit pertengahan abad ke-19, sekitar 1845/1850 juga ditulis dalam aksara Jawa pada mulanya (Mikihiro Moriyama 2003).

Alasannya tampaknya bukan semata karena absennya alat cetak huruf Sunda, tetapi adanya keinginan untuk menjangkau target pembaca yang lebih luas. Kalau ditulis dalam hurus Jawa diharapkan orang Jawa juga sudi membacanya.

Isi buku

Buku Balineesch Spelboekje hadir dengan 43 halaman. Isi buku ini terdiri dari empat bagian, yaitu anacaraka (aksara), sasanggon (peribahasa/ perumpamaan), patakon (pertanyaan), dan satua (cerita). Bagian aksara berisi pelajaran membaca huruf Bali (Jawa) mulai dari penambahan huruf hidup (a, i, u, e, o), angka, huruf gantungan, gempelan, lalu kruna/kalimat dua dan tiga kata.

Bagian peribahasa atau perumpamaan berisi ungkapan seperti “ada gula ada semut”, mlenyig-mlenyigan tain jaran (tahi kuda halus di luar, di dalam kasar), dan mrebutin balung tanpa isi (berebut tulang tanpa isi). Semua ditulis dalam huruf Jawa. Sebagian besar peribahasa yang ada masih populer sampai sekarang.

Bagian pertanyaan berisi soal seperti ini: cai nawang uli dija sangkane mas, slaka, kekuningan, tembagam prunggu, timah, waja, teken besi? (kamu tahu dari mana asal emas, kuningan, tembaga, prunggu, timah, waja, dan besi?); cai nawang kranan ada ujan? (kamu tahu apa penyebab hujan turun?); kudang dina dadi ataun?(setahun itu berapa hari?). Pertanyaannya agak kasar, dimulai dengan kata “cai” (kamu), mencerminkan besarnya “jarak wibawa” antara guru dan murid.

Bagian cerita, berisi sembilan cerita pendek seperti:I Sugih teken I Tiwas (Si Kaya dan Si Miskin), Pan Balang Tamak, dan Bapa teken Pianakne Muani-muani (Si Ayah dengan Empat Anak Laki-lakinya). Dua certia pertama sudah lumrah di Bali , yang ketiga perlu diringkaskan isinya.

Cerita Bapa teken Pianakne Muani-muani ini mengisahkan tentang perlunya persatuan demi kekuatan. Dikisahkan si Bapa memanggil keempat anak lelakinya, disuruh mematahkan sapu lidi, tak ada yang mampu. Bapanya menjelaskan sapu lidi ini mudah dipatahkan kalau lidinya dilepas satu per satu. Pesannya mirip dengan pepatah “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Ketika menjadi murid SD kelas VI di Padangsambian tahun 1972/73, guru saya rasanya menuturkan kisah tulisan I Ranta ini, suatu tanda karyanya tidak saja berlaku ketika ditulis lebih dari seratus tahun lalu.

Hampir setiap cerita dalam buku I Ranta ini di akhirnya diisi kesimpulan yang menegaskan arti–makna cerita bersangkutan. Maknanya selalu berupa pesan moral.

Buku-buku pelajaran dari era itu, dan juga era selanjtunya sampai sekarang, memang padat dengan pesan moral, nasehat mulia untuk anak, guna menanamkan budi pekerti. Ini sudah pasti, yang belum pasti atau masih misterius adalah siapakah I Ranta? Adakah yang punya informasi?

 * Darma Putra

Bali Post Minggu, 3 Oktober 2010. http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=1&id=42733