Pementasan Gong Kebyar dan Tari di panggung terbuka Ardha Chandra, Art Centre Denpasar, PKB 2010. 
 Dari Sarasehan PKB bertema ‘Diplomasi Budaya Menimbang Langkah Bijak’  

DI tengah kian menggunungnya berita kekecewaan tentang pelaksanaan PKB yang tak ubahnya hiruk-pikuk pasar-malam mencuat semangat untuk mengembangkan PKB menjadi PKD. Kalau PKB artinya Pesta Kesenian Bali, PKD artinya ‘Pusat Kebudayaan Dunia’.

Mantan menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gde Ardika yang menggugah semangat peserta sarasehan PKB Jumat (2/7) untuk optimistik menjadikan Bali sebagai PKD. Sarasehan yang berlangsung di auditorium ISI itu diikuti sekitar 150 peserta, dari kalangan budayawan, kaum akademik, dan wakil lembaga terkait.  

Sarasehan bertema “Diplomasi Budaya dan Menimbang Langkah Bijak”. Ada tiga pembicara, yaitu Prof. Wayan P Windia, Prof Ketut Ardhana, dan Dr Drs I Gusti Made Ngurah, M.Si. Gde Ardika dan Ketut Ardhana berbicara banyak tentang diplomasi kebudayaan dalam konteks regional dan global, Windia dan Gusti Made Ngurah dalam konteks lokal dan nasional.
 
Apa sih PKD?
Ardika tampil sebagai pembicara kunci (keynote speaker) dengan makalah berjudul “Kearifan Lokal sebagai Modal Budaya untuk Mewujudkan Bali sebagi Pusat Kebudayaan Dunia (World Cultural Center) melalui Diplomasi Kebudayaan’. Apa sih yang dimaksud dengan PKD?

Menurut Ardika, Bali sebagai PKD berarti Bali berfungsi sebagai etalase persandingan kebhinekaan kebudayaan dunia serta interaksi nyata dalam menerima, memberi antara kebudayaan yang satu dengan yang lainnya dengan semangat kesetaraan dalam memajukan kebudayaan dan peradaban umat manusia.

Ardika optimistis, “Kebudayaan Bali yang terbuka serta memiliki akar yang kuat akan mampu untuk menjadi wahana interaksi budaya dunia”. Tetapi, menurut Ardika, potensi Bali itu tidak akan terwujud secara otomatis tanpa usaha gigih.
Yang perlu dilakukan, menurut Ardika, mengevaluasi dan mereposisikan PKB sebagai wahana untuk mewujudkan Bali sebagai PKD. Langkah berikutnya, melakukan diplomasi kebudayaan di level ragional dan global agar PKB bisa menjadi wahana PKD. 

Selama ini, PKB sudah terbukti menjadi panggung bagi kesenian berbagai daerah di Indonesia dan berbagai negara seperti AS, Jepang, India, Inggris, Swedia, Korsel, dan Australia. 
Terlepas dari riuhnya seperti pasar malam karena banyak pedagang dan aneka promosi seperti bank dan proyek properti, PKB masih tetap mampu menarik minat seniman luar negeri untuk hadir dan menyuguhkan kesenian mereka.
 
Laboratorium Budaya
Agar PKD bisa diwujudkan, Bali harus juga menyiapkan diri menjadi laboratorium budaya. Menurut Gde Ardika yang pernah menjadi kakanwil Pariwisata Bali, laboratorium budaya harus menyediakan tempat bagi budaya dunia untuk berinteraksi melalui konperensi, lokakarya, eksibisi/tetap dan berkala, kolaborasi kreatif, dan seterusnya. “Melalui PKD ini, melalui laboratorium budaya, wahana budaya, Bali bisa menyumbangkan kearifan lokalnya untuk mewarnai kebudayaan dunia,” ujar Gde Ardika.
Salah seorang peserta PKB, Koti Santika, menanggapi, tema ‘Diplomasi Budaya’ sudah lama karena sudah pernah diangkat beberapa tahun lalu, dan Bali sudah memainkan peran penting dalam usaha itu. Hanya saja, Koti menyampaikan, perhatian pemerintah Pusat belum optimal di bidang pembinaan seni budaya Bali.

Begitu seringnya Presiden SBY datang ke Bali, kata Koti, mengapa tidak ada yang membisiki beliau agar memberikan perhatian lebih banyak lagi untuk menjadikan Bali sebagai pusat kebudayaan dunia.
Memang sejak menjadi presiden, SBY senantiasa bersemangat datang ke Bali membuka acara PKB, terkadang menonton pawai kesenian. Tidak pernah ada presiden serajin SBY datang ke Bali membuka PKB. “Artinya, perhatian beliau besar sekali pada Bali umumnya dan kesenian khususnya,” ujar Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik.
 
World Cultural Forum
Kalau sudah demikian intensnya perhatian SBY, apakah perlu ada pembisik lagi? Apalagi, dalam pidatonya ketika membuka PKB di Art Centre 12 Juni lalu, SBY dengan terang-terangan mengatakan, dia memperjuangkan agar Bali bisa menjadi tuan rumah World Cultural Forum (WCF). Kalau di Swiss selalu dilaksanakan World Economic Forum, mengapa Bali tidak bisa tampil menjadi World Cultural Forum?

Gde Ardika tidak menyinggung ihwal World Cultural Forum ini dalam presentasinya, tetapi jelas mengungkapkan dalam makalahnya. Tahun 2011, Pemprov Bali merencanakan menggelar World Cultural Forum dengan mengangkat tema ‘desa, kala, patra’. 
Dalam forum tersebut akan dibahas kearifan lokal ‘desa, kala, patra’, dan di belahan dunia mana saja nilai-nilai mirip itu ditemukan, atau kalau tidak, forum akan menjadi forum mengenalkan konsep ‘desa, kala, patra’. Ada kabar, peraih Nobel Perdamaian Nelson Mandela akan diundang untuk hadir sebagai salah seorang pembicara.

Sekarang ketahuan jelas bahwa semangat Gde Ardika melontarkan gagasan menjadikan Bali bisa menjadi Pusat Kebudayaan Dunia bukan gagasan kosong tetapi sudah sedang dirancang lewat World Cultural Forum yang dilontarkan SBY. Yang belum jelas, apakah Forum Kebudayaan Dunia itu akan dilaksanakan saat pelaksanaan PKB atau tidak? Kalau dilaksanakan terpisah, berarti forum kebudayaan dunia ini hanya akan dinikmati para elite, kalau dilaksanakan pada musim PKB, keuntungannya besar sekali. 

Pertama, peserta World Cultural Forum bisa menikmati pentas-pentas PKB. Kedua, delegasi negara-negara peserta World Cultural Forum bisa menampilkan kesenian mereka sehingga masyarakat Bali bisa menyaksikan dan menikmati kesenian kelas dunia secara langsung.
Hanya dengan demikian, seperti diharapkan Gde Ardika, dialog kebudayaan dalam ruang seminar akan terjadi juga dalam panggung pertunjukan.

•    Darma Putra

sumber: http://www.cybertokoh.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1027&Itemid=61