Penari joged sedang mengundang seorang wisatawan asing untuk 'ngibing' (menemani menari) dalam acara Pesta Kesenian Bali, Minggu (20/6/2010) di Art Centre, Denpasar, Bali. Foto Darma Putra

USAI  pementasan joged/leko Banjar Parekan, Sibang Gede, Badung,  Minggu (20/6), di watilan Taman Budaya, pembawa acara menutup acara dengan mengatakan “demikianlah tadi pementasan leko/joged, dengan para penari yang dinamis mengiringi pengibing dari dalam dan luar negeri…”.

Siang itu, memang ada dua bule tampil mengibing. Satu perempuan, satu laki-laki. Pengibing laki-laki, entah dari negeri mana asalnya, tampil meyakinkan. Gayanya menari menunjukkan bahwa dia sudah pernah mengibing sebelumnya. 

Penampilannya cukup lama, sekitar delapan menit, jadi bukan sekadar naik panggung lalu turun. Dalam ibingannya, dia pun sempat mengajak, membujuk penari untuk bergoyang, lalu karena ditolak dia pura-pura marah, persis seperti pengibing ‘profesional’ Bali. Penampilan dia memukau, penonton tertawa.

Usai penampilannya, penonton bertepuk tangan. Si bule turun panggung, dengan santun, mengenakan sepatunya yang tadi dibuka saat naik. Lelaki bule itu menonton PKB bersama anak (dari istri orang Bali), keluarga dan temannya.  
Penampilan pengibing bule itulah yang kiranya membuat pembawa acara untuk mengatakan ‘pengibing dalam dan luar negeri’.
 
Bule Dalam PKB
Media massa senantiasa memberikan perhatian khusus jika ada orang asing yang tampil di PKB, baik sebagai penoton pawai, penonton seni pertunjukan maupun aktif naik panggung seperti pengibing. Kamera TV menyorot mereka, wartawan foto  menjepret berulang kali, lalu keesokan harinya muncul di koran. Penggemar fotografer lainnya yang jeprat-jepret memuatnya di face-book.

Tak jarang wartawan TV mewawancari bule, menanyakan mengapa mereka tertarik datang ke PKB, bagaimana kesan-kesannya. Usaha media massa menampilkan bule atau turis asing dalam laporan mereka membuat kesan bahwa jangankan orang Bali, wisatawan asing pun senang menonton PKB. Berita demikian seperti berupa ajakan agar masyarakat Bali juga ramai-ramai datang ke Art Centre.
Memang dalam tiap acara PKB, mulai dari pawai sampai dengan pertunjukan, ada saja bule menonton. Tetapi, jangan salah sangka, jumlah mereka banyak. Nyatanya tidak. 

Jumlah bule yang menonton PKB sangat sedikit, paling 5-6 orang dalam pementasan, itu pun kebanyakan bule yang membawa alat potret atau handycam karena ingin mengabadikan atau mungkin mereka peneliti. Orang asing yang benar-benar datang menonton tampaknya bukanlah wisatawan penuh, buktinya mereka  yang datang orang asing  istrinya orang lokal, atau mungkin ekspatriat.
 
Turis Ngigel
Kehadiran wisatawan dalam PKB bukan hanya sebagai penonton, tetapi juga sebagai seniman yang mengisi acara. Belum lama ini ada seniman tari dari Swedia. Dulu, tahun 1980-an, kelompok penabuh gamelam Bali dari Amerika Serikat, Sekar Jaya, tampil di PKB. Mereka menabuh dan menari. “Bèh, ada turis ngigel….,” begitu penonton nyeletuk waktu itu.

Anggota Sekar Jaya memang piawai menabuh dan menari. Mereka adalah dosen atau mahasiswa yang belajar kesenian Bali, jadi tidak tepat disebut turis. Usai tampil di PKB, Sekar Jaya ngayah ke beberapa pura dan tampil di beberapa daerah.   
Mereka juga tampil di televisi (waktu itu hanya ada TVRI Denpasar) sehingga kian banyak yang bisa menonton kepiawaian orang asing menabuh gamelan Bali.

Setelah Sekar Jaya, tampil juga seka Sekar Jepun dari Jepang. Mereka menabuh dan menari. Sama-sama  memukau penampilan mereka. Belakangan juga muncul kelompok seni Bali dari Inggris.
Semuanya mengesankan bahwa kesenian bali sudah go-global, artinya tumbuh di negeri luar, negeri besar seperti Jepang , Inggris, dan Amerika.  
Belakangan ini Sekar Jaya dan kelompok gamelan Bali lainnya di Amerika atau Jepang tidak pernah lagi tampil, meski demikian ada kelompok seni lain dari luar negeri yang tampil, menampilkan kesenian mereka sendiri. Penampilan itu memperkaya ragam seni yang tampil di PKB.
 
PKB untuk Siapa?
Tentu bagus kalau PKB bisa menjadi arena bagi kelompok kesenian Bali di mancanegara untuk tampil, dan tampilnya kesenian negara lain di arena PKB.  Yang kurang berhasil dicapai PKB selama ini, menampilkan kesenian yang memikat wisatawan yang sudah di Bali untuk datang ke Art Centre. Ribuan turis berlibur ke Bali, namun tak ada 10 orang mampir tiap hari ke PKB.

Gagalnya PKB menarik turis datang ke Art Centres bisa dijelaskan dengan dua hal. Pertama, PKB memang dari oleh dan untuk Bali, bukan untuk wisatawan, sehingga tak perlu risau jika tak ada turis datang.  Tetapi, ini sebetulnya pandangan sempit karena dengan Bali mengembangkan pariwisata budaya, PKB mestinya juga dibuat sedemikian rupa buat memikat wisatawan, dan membuktikan kepada wisatawan bahwa Bali kaya dan taat melestarikan keseniannya.

Kedua, kegagalan menarik wisatawan karena kurang promosi dan kondisi serta suasana di Art Centre tidak kondusif untuk itu. Banyak pedagang acung, kotor, semrawut, panas, jauh dari kenyamanan yang biasanya didambakan turis (dan juga sebetulnya masyarakat kita). 

Dulu, biro perjalanan bisa menjual paket tur untuk menonton pawai PKB, dengan memblokir sejumlah kursi di arena pawai buat wisatawan untuk menonton. Kini hal itu tidak tampak terjadi. Pihak pengusaha industri pariwisata sepertinya tidak tertarik mengajak turis ke Art Centre, sementara pihak panitia tidak tertarik mengundang mereka datang. Nah, kloplah sudah kegagalan itu. 

Dalam perjalanan waktu, PKB memang berubah perangainya. Dulu PKB bisa disingkat dengan pesta kesenian yang ‘penari/penabuh kadang bule’, kini PKB artinya, pengibingnya kadang bule’.  
Kasihan memang kalau pesta akbar kesenian Bali itu tidak disuguhkan pula kepada wisatawan yang jumlah mereka yang berlibur di Bali ratusan ribu dalam rentang waktu tertentu.  – dap

sumber TOKOH, 27 Juni 2010. http://www.cybertokoh.com/index.php?option=com_content&task=view&id=997&Itemid=61