DALAM dialog budaya tentang sendratari, drama gong, dan gong kebyar di sela-sela Pesta Kesenian Bali (PKB XXXI di Taman Budaya Denpasar, Senin (22/6/2009) lalu, disinggung sepintas mengenai awal munculnya drama gong. Disebutkan bahwa drama gong lahir pada 1966 (pasca-G30S), tokohnya adalah Anak Agung Raka Payadnya. Sejak tahun itu drama gong dianggap berkembang dan berbiak ke seluruh Bali.

Pendapat itu terus didaur-ulang sejak dulu, baik oleh sarjana Bali maupun luar negeri. Padahal, ada bukti lain yang menunjukkan bahwa cikal bakal drama gong sudah ada setidaknya sejak akhir 1959, ditandai dengan munculnya drama “Mayadenawa” yang diiringi gamelan dan pemainnya berbusana Bali. Namanya drama atau drama klasik, tetapi bentuknya tidak ubahnya bentuk awal drama gong.

Sudah sejak lama masa awal drama gong dianggap bermula pasca-pemberontakan G30S. Putu Setia, misalnya, dalam buku “Menggugat Bali” (1986) mengatakan bahwa drama gong muncul setelah seni pertunjukan janger menguap pasca-pemberontakan G30S/PKI 1965. Dia tak hanya menyebutkan Raka Payadnya sebagai “tokoh” drama gong, tetapi juga menganggap Abianbase, Gianyar, desanya Raka Payadnya, sebagai tempat lahirnya drama gong.

Sepuluh tahun kemudian, 1996, sarjana Amerika Fredrik de Boer dalam makalahnya “Two Modern Balinese Theatre Genres: Sendratari and Drama Gong” menyebutkan bahwa Raka Payadnya menciptakan drama gong pertama tahun 1966, mengangkat kisah “I Swasta Setahun di Bedahulu”, novel Panji Tisna. Dialognya disebutkan menggunakan bahasa Bali.

Keterangan Payadnya sendiri dalam wawancara tahun 1999 (Bali Post, 4 September 1999), merevisi beberapa informasi tersebut. Menurut Payadnya, drama yang digarap pertama adalah “Jayaprana”, dipentaskan pada 24 Februari 1966 di halaman sebuah pura di desanya, sedangkan “I Swasta Setahun di Bedahulu” dimainkan lima atau enam tahun kemudiannya. Bahasa yang digunakan bukan sepenuhnya bahasa Bali, tetapi bahasa Indonesia (80%) dan bahasa Bali (20%). Dengan demikian, apa yang diciptakan Payadnya ini tidak bisa sepenuhnya disebutkan drama gong karena bahasanya dominan bahasa nasional.

Sejak “Mayadenawa”

Cikal bakal drama gong sebetulnya sudah ada sejak akhir 1950-an, berupa bentuk campuran (hibriditas) dari teater Barat, sandiwara, stambul, dan janger. Pentas diiringi gamelan Bali, dialog dalam bahasa campuran bahasa Indonesia dan Bali, dan pemain menggunakan pakaian Bali.

Salah satu contoh adalah drama “Mayadenawa” yang menurut laporan surat kabar pernah dipentaskan tahun 1959. Mayadenawa adalah kisah raksasa yang melarang rakyatnya untuk menyembah Tuhan, mengajak rakyat atheis, menyuruh agar pura-pura dihancurkan. Tuhan marah dan mengutus dewa ke bumi untuk membunuh Mayadenawa, dalam perang itu menanglah dharma melawan adharma. Lakon ini sering dikaitkan dengan mitos tentang Galungan.

“Mayadenawa” merupakan cerita klasik, dan Nengah Kayun adalah orang yang menggubahnya menjadi naskah drama untuk dipentaskan sebagai drama. Oleh karena seni pertunjukan ini merupakan campuran antara tradisional dan modern, maka dia disebut dengan istilah “drama klasik” atau “drama” saja. Nama drama gong belum muncul walau dalam pementasan drama “Mayadenawa” diiringi gamelan gong.

Dalam rentang waktu tujuh tahun, 1959-1966, “Mayadenawa” berpentas sampai sepuluh kali di Bali dan Lombok. Kelompok drama yang dibentuk oleh Parisada Hindu Dharma ini mengadakan pementasan drama “Mayadenawa” ke Lombok dua kali. Pertama pada 1962 untuk memeriahkan hari raya Galungan dan kedua pada 1963 dalam rangka mengumpulkan dana atas undangan Palang Merah Indonesia (PMI).

Setelah 1966, drama “Mayadenawa” terus dipentaskan dan menurut laporan koran pementasan mereka selalu “sukses besar”. Drama lain yang juga populer sebelum 1965 adalah “Bertemu di Ujung Keris” karya Tjokorda Rai Sudharta, waktu itu menjadi Kepala Jawatan Agama. Drama ini mengisahkan pertemuan kembali dua remaja bercinta setelah sempat terpisah saat gunung meletus. Inspirasinya, menurut Tjok Sudharta, adalah letusan Gunung Agung 1963.

Tahun 1964, selama perayaan Galungan dan Kuningan, “Mayadenawa” dan “Bertemu di Ujung Keris” dipentaskan oleh kelompok seniman Genderang Budaya Swastika di beberapa desa di Klungkung (Suara Indonesia, 11 Mei 1964), untuk menghibur masyarakat dari rasa duka akibat bencana alam. Pemain dan penabuh diperkuat oleh mahasiswa IHD dan Kokar.

Penggunaan Istilah

Raka Payadnya sendiri pernah menjadi penabuh dalam sebuah pementasan drama “Mayadenawa”. Kalau kemudian dia membuat drama “Jayaprana”, jelaslah inspirasinya dari drama “Mayadenawa” yang waktu itu disebut sebagai drama klasik. Dalam wawancaranya di Bali Post tahun 1999 yang berjudul “AA Raka Payadnya: Bikin Drama Klasik, Populer Drama Gong”, Payadnya jelas menggunakan istilah “drama klasik”, istilah yang semula digunakan untuk menyebutkan drama “Mayadenawa”.

Ciri-ciri drama digarap Payadnya dan istilah “drama klasik” yang hendak dibuatnya bisa dijadikan alasan bahwa apa yang dibuat itu adalah tiruan atau kelanjutan dari drama “Mayadenawa” dan “Bertemu di Ujung Keris”.

Dengan demikian, tepatlah untuk mengatakan bahwa drama yang kemudian dikenal sebagai drama gong tidak bermula tahun 1966, pasca-G30S, tetapi sudah muncul paling tidak akhir 1959, pelopornya bukan Raka Payadnya, tetapi Tjok Rai Sudharta, Nengah Kayun dan kawan-kawan. Raka Payadnya memang kemudian menjadi pemain drama gong terkenal, tetapi peran pelopor lebih tepat diberikan untuk para seniornya yang menggarap “Mayadenawa” dan “Bertemu di Ujung Keris””.

* i nyoman darma putra,
dosen Faksas Unud

http://balipost.co.id/mediadetail.php?module=kategoriminggu&kid=15&id=Budaya