Teks Darma Putra, Foto Ary Bestari
Musim liburan pertengahan tahun 2009 ini, objek wisata Monkey Forest, Padangtegal, Ubud, ramai dikunjungi wisatawan. Ada turis domestik, banyak juga wisatawan mancanegara seperti dari Rusia , India , Jerman, Belanda , Australia , dan Amerika.
Minggu siang 21 Juni, misalnya, ada sekitar 200 pengunjung masuk ke hutan kera itu. Jumlah itu mungkin lebih besar kalau digabungkan dengan kunjungan Minggu pagi dan sore.
Harga tiket masuk adalah Rp 15.000 untuk dewasa dan Rp 7.500 untuk anak-anak.
Karena anak-anak agak takut pada kera, tentu saja jumlah pengunjung Monkey Forest lebih dominan orang dewasa. Anak-anak yang ikut biasanya berdebar-debar atau berani-berani takut.
“Bapak.., Bapak….wait for me, wait for me….,” ujar gadis kecil, memanggil ayahnya yang mendahului berjalan di depan. Panggilan gadis usia sekitar 8 tahun itu cukup terang terdengar di tengah hutan yang tidak begitu riuh.
Si gadis kecil tak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Bahasa campuran yang digunakan menunjukkan gadis kecil itu adalah warga asing yang tinggal di Indonesia .
Di dalam hutan kera itu, wisatawan bisa menyaksikan perilaku monyet yang liar, lucu atau bergelantungan di pepohonan yang tinggi. Wisatawan yang membawa pisang bisa menyodorkannya kepada monyet-monyet yang lincah menyabet untuk gesit menjauh.
Setiap hari, sepanjang hari, tentulah hanya pisang yang disantap monyet-monyet itu. Bukan monyet namanya kalau sampai bosan pada pisang.
“Memberikan pisang boleh, tetapi bercanda dan mengelus monyet tidak dibenarkan,” ujar seorang pemandu wisata resmi Monkey Forest .
Umumnya monyet di sini jinak, tetapi kalau salah elus atau keliru bercanda bisa saja berubah perangainya.
“Tugas kami mengingatkan tamu-tamu agar tidak mencoba bercanda [dengan monyet],” ujar pemandu tadi.
Kalau monyet marah, dan menggaruk atau menggigit, repot akibatnya.
“Pernah ada turis Rusia yang mencoba menggoda monyet, akhirnya dia digaruk sampai luka, lalu dijahit di di depan,” kata pemandu itu lagi, menunjukkan bahwa di depan Monkey Forest ada klinik pengobatan.
Data yang ada menunjukkan populasi Monkey Forest meningkat terus dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 1986 terdapat 69 ekor, lalu tahun 2006 bertambah menjadi 200 ekor, tahun 2007 ada 304 ekor, dan tahun 2009 ini diperkirakan 350 ekor.
Peningkatan populasi ini terjadi antara lain karena adanya pemeliharaan dan riset-riset untuk mengkondisikan agar kera-kera di sana bisa hidup dan berbiak dalam kondisi yang baik.
Wilayah Monkey Forest tidak begitu luas tetapi arena itu konon terbagi empat yang dihuni oleh oleh koloni dari empat kelompok. Tiap kelompok, konon, akan tetap kumpul di wilayahnya sendiri alias tidak melintas batas.
Selain menikmati koloni monyet jinak, sedikit jenaka, dan sesekali liar, pengunjung Monkey Forest bisa juga merasakan kesejukan alam dan pesona spiritual beberapa pura termasuk Pura Beji yang ada di sekitar hutan di lembah tepi sungai yang dalam tapi sedikit air.
Di era digital sekarang ini, hampir setiap pengunjung Monkey Forest membawa kamera, dari kamera yang melekat di hand phone sampai digital besar profesional, dan handy came sampai camera TV profesional. Pengunjung itu tak bosan-bosannya memotret sesama dan para kera-kera yang bercanda.
Di era internet ini, bisa dibayangkan banyak foto-foto itu jelas meluncur ke dunia maya, baik lewat flicker dan blog dan ruang-ruang internet lainnya. Dari sini, Monkey Forest Ubud kian mendapat promosi, mengundang calon pengunjung untuk datang.
Kunjungan wisatawan ke tempat ini menjadi sumber pendapatan bagi yayasan pengelola objek wisata itu. Selain untuk membayar pegawai, dana itu juga untuk melestarikan hutan dan kera-kera baik lewat penjagaan dan riset-riset. Dana juga digunakan untuk membiayai ritual-ritual.
Monkey Forest Ubud bisa dipuji sebagai model pengelolaan objek wisata yang berkelanjutan dan pro-rakyat. Pengunjung terus datang menambah in come buat yayasan desa yang mengelolanya, koloni kera kian bertambah. Lestarilah Monkey Forest !
Foto-foto: Ary Bestari
great..
Pernah ksana dan itu menyenangkan