dasarbali

Dalam buku klasiknya Island of Bali (1938), antropolog asal Meksiko Miguel Covarrubias menulis bahwa setiap orang Bali adalah seniman. Dia menyebutkan contoh seniman dari kalangan petani sampai pendeta, buruh sampai bangsawan, laki dan perempuan.

Kalau saja Covarrubias masih hidup dan sempat menonton pagelaran di Pesta Kesenian Bali (PKB) Juni-Juli 2009 ini, dia mungkin bangga dan terharu. Bangga, karena dia bisa membuktikan bahwa dalilnya yang diucapkan hampir 80 tahun lalu kian menemukan kebenarannya.

Terharu, karena dia akan melihat bahwa yang bisa diberikan predikat sebagai seniman tidak saja orang normal dan orang dewasa, tetapi juga anak-anak dan remaja, serta orang-orang cacat, tuna netra, patah kaki, polio, tuna rungu, tuna-netra, dan seterusnya.

Penampilan mereka di panggung PKB mengharukan hati. Kian menyentuh karena mereka menari menggunakan tongkat atau kursi roda.

Bukan Hambatan

Dalam acara pembukaan PKB yang dihadiri oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, tampil lima penari tuna rungu di antara sejumlah penari pendet. Tanpa mendengar gamelan mereka bisa menari. Menyentuh sekali. Cacat tubuh bukan hambatan buat mereka berkesenian.

Pagelaran drama gong yang dibawakan oleh Yayasan Senang Hati yang pentas Senin (22/6) pagi di Kalangan Angsoka adalah salah satu contoh menarik pementasan orang cacat tubuh.

Lakon drama yang ditampilkan berjudul ‘Diah Larasati’. Para penabuhnya orang normal, tetapi pemain drama semuanya cacat: ada yang berkaki palsu (amputasi karena kecelakaan), ada yang kakinya cacat akibat polio (sejak kecil), ada yang buta, ada yang kerdil.

Mereka menari dengan tongkat atau kursi roda di panggung, sungguh menyentuh hati.

Lakon yang mereka mainkan adalah kisah anak-anak cacat yang hendak melanjutkan sekolah di pasraman (sekolah tradisi). Lakonnya sedih tetapi dikemas dengan penuh lelucon. Kejenakaan mereka menjadi paradoks, antara lelucon yang mantap dan tajam dengan kondisi fisik mereka yang tidak sempurna.

Wayan Sukarmen, usia 8 tahun, yang terkena polio bermain kocak sebagai punakawan memakai kursi roda. Wayan tampak cerdas, dan bertaksu sebagai punakawan. Suaranya bagus, lantang dan terjaga. Leluconnya hebat dan cerdik.

Wayan menjadi pengocok perut yang berbakat dalam drama yayasan Senang Hati. Suatu ketika rajanya Wira Paksa yang buta yang bertanya kepada Wayan, mata pelajaran apa saja yang diajarkan di pasraman. Wayan yang dalam lakon itu bernama Tanying mengatakan :”Banyak mata pelajaran yang diberikan, seperti Pancasila, PPKN, dan Matematekep…….”

Matematekep adalah bahasa Bali yang berarti ‘mata tertutup’, sindiran untuk orang buta. Jawaban itu menyindir rajanya sendiri yang tunanetra. Penonton tertawa dan kian tertawa setelah Tanying merevisi jawabannya dengan menyebutkan maksudnya adalah ‘matematika’.

Ini kali kedua seniman Yayasan Senang hati pentas di PKB, sebelumnya dua thaun lalu. Menurut pimpinannya, Ni Putu Suriati, tahun depan mereka akan mengajukan proposal pentas lagi.  

Mereka senang bisa tampil dan menghibur, tidak percuma mereka bekerja keras sejak latihan dan berangkat dari markasnya di Tampaksiring ke Arts Centre, Denpasar.

Untuk pentas jam 10.00 pagi, mereka sudah harus bangun jam 2 pagi. Jarak Tampaksiring Denpasar tidak begitu jauh, bisa ditempuh dalam waktu 45 menit sampai 1 jam, tapi karena para pemain adalah orang cacat mereka katanya memerlukan waktu untuk bersiap diri, sejak mandi, sarapan, sampai berhias.

Sekali pentas mereka menerima biaya Rp7,5 juta, dipotong pajak. Selain di PKB, mereka juga mendapat undangan pentas dari Museum ARMA di Ubud dan di beberapa hotel di sana.

Tuna Netra

Yang juga memukau adalah penampilan aneka pementasan dari Sanggar Rwa Bhineda Denpasar. Sanggar yang warganya anak-anak tuna netra itu mementaskan genjek, gita shanti. Dulu warga tuna netra senang main musik modern (band), kini tertarik bermain gamelan, ikut melestarikan kesenian Bali.

Seni menjadi arena ekspresi bagi mereka sekaligus media untuk menyampaikan pesan sosial antara lain agar publik sudi membantu mereka yang bernasib malang karena lahir tidak sempurna.

Ketika menggagas PKB 31 tahun lalu, Gubernur Prof Ida Bagus Mantra mungkin tidak membayangkan seniman cacat tubuh akan bisa ambil bagian dalam pentas PKB. Tapi, nyatanya kini peran dan jasa PKB semakin luas. PKB untuk semua orang.

PKB menjadi panggung yang humanis, memberikan kesempatan bagi warga tuna rungu, tuna netra, warga cacat tubuh, disable, untuk menemukan jati diri.

Penampilan seniman cacat itu tidak kalah daya pukaunya dari pementasan seniman normal.

Seniman Anak dan Remaja

Yang juga menarik dicatat dari PKB adalah kian banyaknya peserta dari kalangan anak-anak dan remaja. Kehadiran mereka bisa dilihat dalam lomba utsawa dharma gita (kategori anak-anak dan remaja) dan juga tersebar dalam pementasan umum.

Perhatian panitia terhadap anak-anak dan remaja kian tinggi. Seorang panitia dari Dinas Kebudayaan, I Made Santha mengatakan bahwa seniman yang ambil bagian dalam PKB adalah dengan proporsis anak-anak 40%, remaja 40% dan orang dewasa/tua 20%.

Mungkin angka ini tidak begitu akurat, tetapi secara umum bisa dianggap menggambarkan realitas dan kecendrungan partisipasi seniman dalam PKB 15 tahun terakhir. Kalau dulu 80% seniman deawasa/tua, dan anak-anak remaja hanya 20%, kini perbandingan itu sudah terbalik, 80% anak-anak dan remaja dan 20% seniman dewasa/tua.

Pergeseran ini menunjukkan bahwa PKB merupakan arena strategis untuk membina generasi muda untuk mendalami seni dan apresiasinya terhadap keseniannya. Pewarisan seni dari generasi tua ke generasi muda terjadi dalam proses seperti itu.

Kalau ini bisa berjalan terus, berarti kelangsungan hidup kesenian Bali bisa dipastikan tetap berkelanjutan sesuai dengan cita-cita masyarakat.

Teks dan foto: Darma Putra, dimuat di tabloid TOKOH, Minggu, 28 Juni-4 Juli 2009, hlm 9.