Resensi Buku
KEBERADAAN wanita Bali selama ini lebih banyak “dibaca” dalam penampakannya lewat media adat dan agama, atau sebagai pekerja kasar pembuat jalan pada sekitar 1970-an hingga 1980-an, ketika pembuatan jalan-jalan besar di Bali belum menggunakan teknologi hotmix seperti saat ini. Karena mereka bekerja di jalanan — tempat ribuan orang berlalu-lalang setiap waktu, maka potret wanita Bali seperti itulah yang paling terlihat, terutama di mata orang-orang bukan Bali, meskipun jumlah wanita Bali yang bekerja di sektor itu kecil sekali.
Dari sana lalu timbul pandangan yang agak sinis terhadap wanita maupun laki-laki Bali. Bahwa wanita Bali tidak dihargai, bersikap nrimo, dan laki-laki Bali hanya hidup bersenang-senang sambil mengelus-elus ayam jagonya, dan seterusnya. Citra seperti itu menjadi semacam stereotipe bagi orang Bali, yang sampai kini pun masih tetap dihembuskan, meski keadaan telah berubah.
Di balik penampakan wanita Bali sebagai pekerja kasar di jalanan, ternyata sebagian dari mereka adalah para pejuang emansipasi, yang dengan gigih mengasah pena menentang berbagai ketidakadilan terhadap kaum wanita, dan mendirikan organisasi sosial yang menyokong kemajuan masyarakat, seperti membuat perkumpulan Poetri Bali Sadar (PBS) tahun 1936, yang keanggotaannya tersebar di seluruh Bali.
Salah satu tujuan mulia PBS adalah menyokong biaya sekolah anak-anak murid perempuan bangsa Bali yang ditimpa kesusahan. Kiprah wanita Bali tempo doeloe sangat proaktif dalam merespons kebutuhan sosial kaumnya. Semua itu sudah mulai mereka perjuangkan jauh sebelum zaman kemerdekaan — akhir 1920-an sampai 1930-an. Organisasi perempuan seperti PBS ini, menurut Darma Putra, bahkan tidak ditemukan pada zaman Orba hingga zaman Reformasi saat ini.
Artikel-artikel yang mereka tulis di media massa saat itu banyak berisi dorongan buat kaum wanita agar mereka mau bersekolah, sudi membuka pikiran. Melalui tulisan di media mereka mengingatkan kaumnya bahwa zaman modern telah tiba, dan wanita Bali harus ambil bagian di dalamnya, supaya tak ketinggalan dari kaum laki-laki. Kalau sebagai wanita mereka ketinggalan zaman, dengan mudah mereka akan diolok-olok oleh kaum laki-laki, misalnya dijadikan istri kedua atau dicarikan madu. Rupa-rupanya kaum wanita saat itu menganggap laki-laki suka mengolok-olok.
Jika disimak dokumen-dokumen tertulis yang terbit kala itu, yang oleh Darma Putra digunakan sebagai dasar dalam penulisan buku ini, di situ akan tampak nama-nama pejuang emansipasi wanita Bali, yang sebagian besar di antaranya pasti tidak atau kurang dikenali namanya oleh generasi Bali saat ini. Mereka mungkin mengenal nama Jro Jempiring, istri pahlawan nasional I Gusti Ketut Jelantik, atau Cokorda Istri Kania dari Puri Klungkung yang berhasil membunuh Letnan Jenderal Michiels dalam perang Kusamba; tetapi pasti kurang mengenal nama-nama seperti I Goesti Ajoe Rapeg, Ni Made Tjatri, Nona Rai (Anak Agung Made Rai?), Dewi Poernamasasih, Jasmin Oka, Ratih Amarawati, Ni Wajan Sami, Ketoet Setiari, Ni Loeh Kenteng, dll.
Merekalah yang banyak berjuang bagi emansipasi wanita Bali, lewat aktivitas kemasyarakatan, dan mengasah pena intelektualnya di media massa yang terbit saat itu seperti Surya Kanta, Bali Adnjana, Bhawanagara, dan Djatajoe, agar tak tertinggal dari kemajuan zaman, dan tak tertinggal dari kaum laki-laki. Dalam deretan penulis wanita Bali, nama Jasmin Oka yang sudah mulai menulis sejak 1930-an, menurut Darma Putra pantas diberikan tempat istimewa karena pemikirannya maju, kritis dan wawasannya luas. Dalam artikel-artikelnya yang muncul tahun 1950-an di majalah Damai, Jasmin Oka sudah berkenalan dengan paham feminis (feminisme) yang relatif baru berkembang di dunia pada waktu itu. Dalam kaitannya dengan feminisme, Darma Putra menegaskan, jika bagi kebanyakan intelektual dewasa ini feminisme masih tampak sebagai ”barang baru”, bagi Jasmin Oka hal itu sudah ditanggapi secara kritis setengah abad yang lalu. Darma Putra tidak membantah anggapan bahwa wanita Bali masih terbelakang dibandingkan dengan laki-laki di bidang pendidikan, karier pekerjaan, atau dunia politik. Tapi keliru kalau menganggap bahwa wanita Bali bersifat pasif, nrimo, atau berpangku tangan saja tanpa memperjuangkan nasibnya atau nasib kaumnya dalam kehidupan sosial, sebab nyatanya mereka bicara.
Wanita Bali tempo doeloe, khususnya pada zaman penjajahan Belanda tahun 1920-an dan 1930-an, gigih sekali berjuang untuk memajukan kaumnya, terutama di bidang pendidikan. Cita-cita perjuangan RA Kartini sudah masuk dalam wacana tentang kesetaraan gender di kalangan intelektual Bali pada tahun 1930-an. Tidak hanya pemikirannya, nama Kartini juga sering disebut dalam artikel yang ditulis wanita Bali tahun 1930-an, dan hal itu berlanjut terus hingga 1950-an dengan lebih frekuentif dan intensif.
***
Dalam buku ini, orang disajikan pada suatu bacaan yang lain, khususnya tentang citra wanita Bali tempo doeloe. Kehadiran buku ini seolah-olah memberikan semacam “pembelaan”, atau setidak-tidaknya menepis anggapan-anggapan stereotipe tentang wanita Bali yang diketahui orang selama ini. Buku ini setidaknya telah menyajikan realitas lain, bukan realitas tunggal, tentang keberadaan wanita Bali.
Dilihat dari judulnya, buku ini sebetulnya tak hanya membicarakan wanita Bali pada waktu tempo doeloe, yaitu dari zaman prakemerdekaan 1920-an sampai zaman awal-awal kemerdekaan 1950-an. Dengan memberikan penekanan penilaian dari perspektif masa kini, buku ini juga membicarakan eksistensi wanita Bali sekitar tahun 1960-an, hingga masa kini, meski hanya sepintas. Justru dilihat dari perspektif masa kinilah eksistensi wanita Bali tempo doeloe tampak lebih jelas, demikian pula sebaliknya. Dengan memahami eksistensi wanita Bali tempoe doeloe, keberadaan wanita Bali saat ini bisa jadi makin jelas.
Buku ini memang tidak memiliki pretensi ilmiah, karenanya tidak terlalu dibebani teori-teori emansipasi wanita atau feminisme yang ruwet-ruwet, serta disajikan dalam gaya jurnalisme yang enak dibaca. Dengan melakukan content analyses, Darma Putra berhasil menyajikan tulisan yang komprehensif, yang memberikan gambaran dari berbagai aspek tentang eksistensi wanita Bali tempo doeloe, seperti dari mulai pertama kalinya wanita Bali memasuki dunia sekolah modern (Belanda), sampai pada kebangkitan wanita Bali dalam usahanya untuk membenahi dirinya dan lingkungannya di tahun 1930-an, serta perkenalannya dengan Gerakan Wanita Internasional dan Femenisme pada 1950-an.
Buku ini dibagi dalam lima bagian, dilengkapi dengan lampiran artikel-artikel wanita Bali tahun 1930-an dan 1950-an. Lampiran ini memiliki arti penting karena memberikan kesempatan kepada para pembaca masa kini untuk dapat memberikan penilaian sendiri tentang sejauh mana kemajuan pemikiran yang telah dicapai para wanita Bali tempo doeloe. Buku ini sangat layak dibaca dan dijadikan referensi oleh seluruh lapisan masyarakat.
* IDG Windhu Sancaya
sumber: http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2003/5/4/a4.html