Bali Post, Minggu, 26 April 2015, h. 4.
Bali Post, Minggu, 26 April 2015, h. 4.

Di sela-sela kemeriahan peringatan 60 Tahun Asia Afrika di Jakarta dan Bandung April 2015, ada baiknya juga kita menengok ke belakang untuk melihat peran Bali dalam kerja sama politik internasional Asia Afrika. Sejarah menunjukkan bahwa Bali pernah menjadi tuan rumah Sidang Komite Eksekutif Konferensi Pengarang Asia-Afrika (SKE-KPAA) tahun 1963 lalu. Dua sastrawan muda Indonesia waktu itu, Pramudya Ananta Tur dan Sitor Situmorang menjadi panitia pelaksana.

Konferensi Asia Afrika di tahun 1955 dan pertemuan-pertemuan reguler berikutnya tidak saja sepakat bekerja sama di bidang politik internasional, tetapi juga bertekad memperkuat negara anggotanya melalui kerja sama di bidang seni budaya termasuk sastra. Di sela-sela pertemuan politik, Asia Afrika selalu menggelar pertemuan penulis secara bergantian di berbagai negara anggota seperti Mesir dan Indonesia.

Dalam pertemuan tersebut, penulis-penulis dari anggota Asia Afrika hadir bertukar fikiran. Pengarang Indonesia juga aktif menghadiri pertemuan-pertemuan internasional itu. Ketika Indonesia mendapat giliran menjadi tuan rumah penyelenggara, pemerintah menunjuk Bali sebagai sebagai tempatnya.

Tuan Rumah

Bali tercatat menjadi tuan rumah Sidang Komite Eksekutif Konferensi Pengarang Asia-Afrika (SKE-KPAA) 52 tahun silam. Pertemuan para penulis dari anggota Asia Afrika itu berlangsung 16-21 Juli 1963 di Hotel Segara Village, Sanur. Laporan surat kabar yang meliput acara tersebut menunjukkan bahwa acara di Bali meriah, semarak, dan sukses.

Dipilihnya Bali sebagai tuan rumah antara lain karena dua alasan berikut. Pertama, Bali memiliki komunitas dan organisasi sastra budaya yang kuat, seperti Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Kedua, Lekra Bali sukses menjadi tuan rumah Konferensi Nasional (Konfernas) Lekra tahun 1962. Sukses Konfernas itu menunjukkan eratnya jaringan dan kerja sama antara Lekra Bali dengan Lekra Pusat serta Lekra daerah lain di Indonesia.

Dalam agendanya, sidang SKE-KPAA yang diikuti delegasi seniman dan budayawan negara-negara Asia Afrika akan dibuka Presiden Sukarno dan ditutup oleh Menlu Subandrio di Hotel Bali, Denpasar—di tempat berlangsungnya Konfernas Lekra setahun sebelumnya.

Tidak jelas apakah Sukarno hadir langsung atau diwakili dalam pembukaan SKEKPAA itu. Yang jelas Sukarno menyampaikan pidatonya yang ringkasannya dimuat di Harian Rakjat (21/7/1963, hlm 1). Dalam amanatnya itu, Presiden Sukarno mendesak pengarang AA berani menjadi manusia yang mampu mengabdikan pikirannya bagi semua Rakyat Asia Afrika, harus melihat sekeliling dirinya, harus menyelidiki, harus menyelam dalam kedalaman dasar jiwa revolusi yang besar ini.

Forum SKE-KPAA di Bali juga menjadi ajang bagi Lekra untuk menyerang-balik kaum reaksioner, yaitu Manikebu, kelompok pendukung Manifes Kebudayaan yang berseberangan dengan Lekra. Awalnya adalah tercetusnya kritik terhadap delegasi Indonesia yang hadir dalam KPAA ke II di Kairo, Mesir.

Delegasi Indonesia yang hadir dalam pertemuan di Mesir waktu itu adalah Sitor Situmorang, HR Bandaharo, Rivai Avin, Karna Radjasa, Anantaguna, Zulkifli Suleiman, Ibrahim Issa, dan Joebaar Ajoeb (Harian Rakjat, 7/4/1961:3). Kehadiran mereka dikecam sebagai ‘ongkang-ongkang saja’ oleh seniman yang mereka sebut reaksioner. Joebaar Ajoeb menolak kritik itu dan mengatakan bahwa kritik itu adalah fitnah.

Menurut Joebaar Ajoeb, delegasi Indonesia justru mendapat dukungan dari negara lain dalam usaha merebut Irian Barat. Dalam Konferensi Kairo itulah Indonesia mendapat kehormatan dipilih menjadi tuan rumah KPAA tahun 1963. Indonesia menunjuk Bali sebagai lokasi pelaksanaan karena Bali sudah sukses melaksanakan Konfernas setahun sebelumnya, 1962.

Pram dan Sitor Panitia

Dua tokoh sastra terkemuka yang menjadi panitia Pusat SKE-KPAA adalah Sitor Situmorang dan Pramudya Ananta Tur. Dalam pidatonya di depan SKE-KPAA, Pramudya Ananta Tur memuji Bali sebagai pulau kesenian dan pulau kepahlawanan yang dalam sejarahnya sudah ikut melawan imperialisme dan kolonialisme (Harian Rakjat, 21/7/1963:1).

Seperti juga Konfernas, program SEKPAA di Bali juga sukses dan menghasilkan banyak resolusi. Kesepakatan ini diharapkan bisa berguna untuk kemajuan rakyat Asia Afrika. Sebagai tanda seniman KPAA peduli terhadap Rakyat Bali, terutama yang tertimpa bencana melestusnya Gunung Agung 1963, para peserta menyumbang uang sebesar Rp 205.500 (Harian Rakjat, 23/7/1963:1).

Ketua Panitia Pelaksana SKE-KPAA Bali, Gde Puger, salah satu tokoh penting Bali waktu itu, dalam sambutannya menyampaikan kegembiraan Rakyat Bali sebagai tuan rumah SKE-KPAA. Kegembiraan rakyat Bali ditunjukkan dalam pemasangan poster-poster ‘selamat datang’ kepada ‘teman seperjuangan’ bagi peserta sidang yang terdiri dari para sastrawan dan pekerja-pekerja kebudayaan serta wartawan.

Dalam sambutannya yang dikutip Harian Rakjat (21/7/1963:1) dengan judul “Menyambut Teman Seperjuangan”, Gde Puger juga menekankan bahwa persatuan dan setia kawan merupakan senjata ampuh untuk mencapai kemenangan untuk melawan imperialisme dan neo-kolonialisme—musuh bersama umat manusia.

Dalam sambutan itu, Gde Puger juga menyinggung suksesnya BK [Bung Karno] memimpin Rakyat merebut Irian Barat; BK menetapkan meletusnya Gunung Agung sebagai bencana nasional—pernyataan yang membuat hati peserta konferensi terketuk untuk menyumbang. Terang terasa bahwa pidato kebudayaan ini penuh dengan koneksi ke dunia politik dan puja-puji terhadap pemimpin, dalam hal ini Presiden Sukarno.

Kontribusi Bali

Sukses sidang KE-KPAA di Bali selain menandakan keberhasilan Lekra dan PKI Bali memobilisasi massa dan simpatisannya, juga mengindikasikan kontribusi Bali dalam kehidupan dan aktivitas sastra budaya secara nasional dan internasional.

Bisa dikatakan sidang pengarang Asia Afrika merupakan pertemuan sastrawan budayawan internasional pertama di Bali. Dalam semarak perayaan 60 Tahun Asia Afrika tahun 2015 kali ini, sidang pengarang Asia Afrika itu perlu ditengok untuk menambah pengetahuan kita tentang sejarah (kegiatan) sastra di Indonesia yang berlangsung di Bali. ***

 I Nyoman Darma Putra. Penulis adalah dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana.