bali post minggu 2 maret 2014 p. 19 (1)Bali Post Minggu, 2 Maret 2014, p.19.

Dalam suasana perayaan HUT ke-226 Kota Denpasar, 27 Februari ini, menarik menelusuri citra Denpasar dalam puisi penyair asing.

 Dalam kunjungannya ke Jakarta tahun 1981 untuk mengajar sastra Australia di Faksas Universitas Indonesia, penyair Australia Dr. R.F. Brissenden tampaknya sempat mampir di Denpasar. Kota ini memberikannya inspirasi untuk menulis sajak berjudul “Walking Down Jalan Thamrin” (Menyusuri Jalan Thamrin).

 Bukan sisi turistik yang indah dari Jalan Thamrin yang diungkap, tetapi sisi kusam dan hiruk pikuknya, seperti terungkap dalam tiga baris pertama sajaknya begini: “Jalan Thamrin in Denpasar/ Was made by feet—/ The feet of men, horses, dogs, pigs, cattle”.  Dalam baris pembuka ini dilukiskan suasana Jalan Thamrin Denpasar yang tercipta dari jejak-jejak kaki manusia, kuda, anjing, babi, dan ternak-ternak.

 Sajak ini diterjemahkan dan dimuat dalam antologi puisi Mendorong Jack KuntiKunti; Sepilihan Sajak dari Australia (1991) disunting oleh Brissenden dan Sapardi Djoko Damono.  Brissenden yang biasa dipanggil Bob meninggal sebelum buku yang direcanakan ini terbit.

 Sepeninggalnya, Bob tak hanya mewariskan antologi ini, tetapi juga meninggalkan ciptaannya tentang sudut kota Denpasar pada suatu ketika. Sajaknya tentang Jalan Thamrin memberikan kesan bagaimana suasana sudut Kota Denpasar di mata seorang penyair Australia.

 Persepsi Bob sebagai orang Australia tentang Denpasar tampaknya berbeda dengan sudut pandang turis Australia pada umumnya. Kalau turis melihat kultur yang eksotik, Bob melihat kelebat kehidupan kota yang bising dengan deru mobil, jalanan yang berdebu, bahu bensin, dan babi berseliwer yang mengais sampah.

 Tahun 1981, ketika sajak ini ditulis, Jalan Thamrin rasanya sudah cukup ‘cosmopolit’. Jalanannya beraspal, di sana sudah berdiri Pertokoan Lokitasari dengan bioskop Wisata Theatre. Di pertokoan itu, banyak toko yang menjual baju bagus, celana jeans, kaset lagu pop Indonesia atau Barat. Makanya, cukup mengherankan lorong mana dari Jalan Thamrin yang dipotret oleh Bob dalam sajaknya, untuk pembacanya di Australia?

 Meski melukiskan suasana Jalan Thamrin yang pikuk dengan lalu-lalang kendaraan dan ternak, Bob terinspirasi juga mengekspresikan kelebat romantika Kota Denpasar di Jalan Thamrin. Di bait terakhir, yaitu bait ketiga, setelah melukiskan babai mengais sampah, Bob mengontraskan lukisan kusam itu dengan menggambarkan seorang lelaki (a boy) berbaju putih-rapi, naik sepeda mulus , di stang sepedanya ada setangkai bunga.

Sajak ini berakhir sampai di sana, tapi sebagai pembaca kita bisa menduga bahwa si boy sedang mengayuh sepeda untuk menemui kekasihnya. Di sini, tersirat aspek romantik dilukiskan tumpang-tindih dengan hiruk pikuk Denpasar.

Kita tidak tahu, apakah si boy itu akan menemukan cintanya, atau bertepuk sebelah tangan, seperti kisah romantik pencari cinta dalam lagu “Denpasar Moon”, dipopulerkan penyanyi asal Filipina, Maribeth, awal 1990-an.  Tema lagu ini tragic-romantik. Si pencari cinta yang kasmaran ingin menjumpai kekasihnya di sudut jalan yang sama tempat mereka pertama bertemu saat bulan Purnama, tapi hanya menemui kesia-siaan.

 Lirik pembuka lagu ini adalah: Denpasar moon, shining on an empty street/I returned to the place we used to meet/Denpasar moon, shine your light and let me see/ That my love is still waiting there for me/ yang artinya: “Purnama Denpasar, bersinar di jalan sunyi/ Aku kembali ke tempat kita bertemu/ Purnama Denpasar, pancarkan cahyamu sehingga aku bisa melihat/ bahwa kekasihku masih di sana menantiku”.

 Di akhir kisah lagu ini, dilukiskan sang kekasih sudah pergi, lenyap bersama mimpi.

 Seperti halnya kota-kota lain di dunia, Denpasar pun memiliki sisinya yang hiruk-pikuk sekaligus sunyi romantik. Dalam lirik lagu ‘Denpasar Moon’, romantika Denpasar itu adalah kehampaan, sedangkan di mata seorang penyair Australia, Denpasar yang romantik adalah harapan.

 Apa pun itu, yang jelas Denpasar terbukti inspiratif bagi pencipta lagu dan puisi.

  I Nyoman Darma Putra, dosen Fakultas Sastra dan Budaya Unud.