Desa wisata Penglipuran Kabupaten Bangli Bali memiliki daya tarik luar biasa. Dalam masa liburan seperti Lebaran dan Tahun Baru, jumlah wisatawan yang berkunjung ke ‘desa tua’ itu bisa mencapai 5.500 orang per hari seperti data tangggal 22 April 2023. Dalam hari-hari biasa, kunjungan sekitar tiga ribu per hari.
Wisatawan yang datang adalah asing dan domestik. Tamu domestik, ada yang lokal Bali, banyak juga grup-grup dari luar Bali. Ada grup instansi, ada grup pelajar mahasiswa yang melakukan darma wisata atau study tour. Ada juga peneliti.
Kiranya banyak wisatawan yang berkunjung lebih dari sekali. Belum ada penelitian tentang repeater visitor (pengunjung berulang) ke Penglipuran. Harga tiket relatif murah, seperti tertera di loket.
Namun, berikut adalah enam alasan mengapa wisatawan merasa tidak cukup sekali untuk berkunjung ke Penglipuran. Mengapa mesti datang dan datang lagi?
Pertama, selalu ada daya tarik wisata baru di Penglipuran. Sejak mulai dikembangkan desa wisata, Penglipuran selalu berusaha meningkatkan jumlah dan kualitas daya tarik. Yang paling gress adalah daya tarik wisata hutan bambu, seluas 45 hektar.
Pengelola desa wisata setempat berusaha menata hutan bambu di belakang desanya untuk dijadikan daya tarik wisata baru, dilengkapi dengan track jalan kaki, hiasan kerangka bambu, cafe, dan panggung pertunjukan. Hutan bambu yang luas dan sejuk hijau memberikan pengalaman wisata yang menyenangkan dan udara segar.
Hutan bambu sudah ada sejak lama, terjaga lestari sampai Penglipuran mendapat trofi Kalpataru tahun 1995 untuk pelestarian hutan bambu. Potensi alam ini baru sejak beberapa tahun terakhir dikembangkan menjadi daya tarik wisata alam yang memperkuat wisata budaya yang terpancar dari pesona Desa Penglipuran.
Di wisata hutan bambu, terdapat 18 jenis atau varietas bambu. Hutan bambu ini tidak saja menjadi sumber ekonomi, bahan atap rumah adat, tetapi juga bagian dari legenda leluhur Penglipuran.
Kedua, daya tarik pentas seni “Macan Gading” di hutan bambu. Pengelola desa wisata Penglipuran mulai menggelar pentas seni di panggung di sela hutan bambu. Inisiatif ini mulai dilaksanakan pertama kali dalam musim liburan Lebaran tahun 2023. Di sana dipentaskan kesenian “Macan Gading”, kisah dari tantri (Seribu Satu Malam) diisi dengan unsur tari, tabuh, humor, konflik, dan adegan mencekam namun menghibur.
“Pendukung pentas seni ini adalah muda-muda di desa kami,” ujar Sandi Artha Putra, Ketua Muda-mudi Penglipuran, sehari-hari sebagai dosen pariwisata di Universitas Triatma Mulya (Untrim) Badung, Bali.
Saat liburan Idul Fitri, menurut Sandi, uji coba pentas dilaksanakan dua kali sehari, pk. 11.00, dan pk. 15.00 untuk sekitar satu jam. Pentas seni ini sepenuhnya didukung oleh warga pemuda-pemudi Penglipuran.
Selain untuk menghibur wisatawan, pentas seni di hutan bambu ini juga untuk memecah atau menyebar kerumunan wisatawan. Pada saat puncak kunjungan tinggi, wisatawan diharapkan tidak numplek di jalan halaman desa, tetapi tertarik bergeser ke hutan bambu menikmati pertunjukan, sehingga semua merasa nyaman.
Bagi yang sudah pernah ke Penglipuran namun belum pernah menonton pentas seni di hutan bambu, ini adalah alasan untuk datang kembali.
Ketiga, menonton Penglipuran Village Festival (PVF) setiap akhir tahun. Pengelola Desa Wisata Penglipuran kreatif menggelar festival setiap akhir tahun untuk meningkatkan daya tarik dan menggali potensi seni budaya setempat untuk disajikan kepada wisatawan. Tahun 2022 lalu, PVF sudah berjalan untuk ke-9 kalinya. Tari Pendet masal di jalan desa merupakan pentas menarik yang ikonik festival 2022.
Dalam acara PVF itu, digelar berbagai pentas seni, pameran UMKM, dan sajian-sajian menarik untuk membuat wisatawan merasa senang ke Penglipuran. Akhir tahun memang angka kunjungan ke Penglipuran sangat tinggi. Wajar bagi pengelola untuk menunjukkan kepada wisatawan berbagai potensi daya tarik dan komitmen sungguh memberikan hospitality kepada wisatawan. Secara internal, pelaksanaan PVF itu jelas berarti meningkatkan sadar wisata masyarakat.
Berkunjung setahun sekali untuk menonton Penglipuran Village Festival dengan berbagai pentas dan daya tarik adalah alasan kuat untuk menjadi repeater guest ke Penglipuran.
Keempat, menikmati homestay atau guest house dan menikmati sarapan pagi unik ala Penglipuran. Sejak lama Penglipuran menawarkan jasa akomodasi bagi wisatawan yang ingin bermalam di desa. Ada 18 unit homestay, harga Rp 375 ribu/ malam. Kaau homestay, berarti ada tuan rumah di sana, sedangkan guest house tidak ada tuan rumah.
Kualitas dan fasilitas akomodasi ditingkatkan terus dengan hal-hal yang nyaman dan unik. Wisatawan yang bermalam bisa menikmati makan pagi (break fast) dengan unik di jalan desa. Meja dan kursi dibuat dari anyaman bambu. Aktivitas unik ini kiranya hanya ada di Penglipuran.
Selama bermalam, wisatawan juga bisa mengenali lebih dalam adat budaya atau kebiasaan masyarakat setempat, misalnya bagaimana mereka menjaga kebersihan desa atau apa yang dilakukan warga sebelum desa mereka ‘diserbu’ wisatawan mulai pagi sampai petang.
Kelima, mendalami adat budaya masyarakat yang tiada habisnya. Sebagai salah satu ‘desa tua’ atau ‘desa kuno’ atau dikenal juga sebagai ‘Bali Aga’, Penglipuran memiliki banyak hal menarik yang pasti tidak cukup didalami wisatawan hanya datang sekali apalagi durasi pendek untuk satu-dua jam.
Diperlukan datang berkali untuk memahami keunikan budaya Penglipuran, mulai dari mengenal arsitektur pintu gerbang yang seragam terbuat dari batu-tanah, pola menetap, struktur bangunan, pura keluarga, mata pencaharian, sejarah desa, tradisi dalam modernisasi, adat dan tradisi mereka sebagai orang pegunungan (Bali Aga) yang sama dan yang berbeda dengan tradisi Hindu Bali pada umumnya (yang tinggal di dataran).
Penglipuran juga memiliki apa yang disebut dengan ‘karang memadu’, lahan kosong tempat pengungsian warga yang berani melakukan poligami atau kawin lagi. Lokasinya di ujung selatan desa. Jika ada warga yang sudah kawin dan berani kawin lagi, mereka diungsikan ke karang memadu. Warga membuatkan mereka rumah.
Enak? Rasanya tidak, karena itu adalah bentuk hukum pengucilan bagi warga yang berani kawin lagi. Karena konsekuensi hukuman sosial begitu berat, tidak pernah ada warga berani mempraktikkan poligami. Artinya, lokasi ‘karang memadu’ itu tidak pernah terisi karena tidak ada pelanggar. Mendalami kearifan lokal seperti ‘karang memadu’ dan kearifan lokal lainnya adalah alasan kuat untuk berwisata ke Penglipuran berkali-kali.
Keenam, menyaksikan bagaimana pariwisata terintegrasi harmonis dengan kehidupan masyarakat dan kehidupan masyarakat terintegrasi harmonis dengan pariwisata.
Siapa pun yang sudah berkunjung beberapa kali ke Penglipuran dalam beberapa tahun terakhir, akan melihat banyak perkembangan baru di sana, khususnya bagaimana rumah-rumah penduduk di tepi jalur jalan desa menjadi warung rumahan atau rumah warung (rurung).
Masyarakat menjadikan rumah mereka sebagai gerai menjual suvenir, minuman, dan buah-buahan seperti durian, salak, pisang. Ada juga kacang goreng dan aneka camilan. Yang paling khas adalah loloh (jamu) cem cem dikemas dalam botol plastik air mineral. Wisatawan juga bisa menikmati tipat cantok (gado-gado Bali) dan jajanan Bali seperti lak-lak (surabi). Ngopi di rumah penduduk memberikan pengalaman unik.
Dengan hadirnya rurung (rumah warung), Penglipuran jadi kian khas karena memiliki dua rurung (bahasa Bali artinya ‘lorong’). Rurung pertama adalah jalan sempit atau lorong yang membelah desa. Rurung satu lagi adalah rumah warung.
Ketika ribuan wisatawan berkunjung ke Penglipuran, mereka tampak lalu-lalang di jalan desa atau rurung sambil berfoto dengan latar rumah yang unik, latar Pura Desa yang klasik. Sebagian lainnya masuk ke rumah-rumah mengenali budaya masyarakat dan mengamati gerai suvenir. Sebagian lainnya menikmati pertunjukan di hutan bambu.
Penglipuran kian populer dan salah satu sebabnya mengalirnya wisatawan ke desa ini adalah karena selalu ada hal menarik di desa unik ini.
Anda mungkin memiliki alasan lain untuk selalu dan selalu ingin ke Penglipuran, silakan ke Penglipuran tempat di mana hati dan rasa selalu terhibur dan ingin berbagi tutur penuh syukur. (Darma Putra).