Catatan Widminarko
Di balik gairah budayawan, sastrawan, dan penyair di Bali sekarang ini, kita mengenal dan mengenang nama I Made Sukada. Pada eranya Sukada bukan hanya penyair, sastrawan dan budayawan. Ia sekaligus sosok di balik layar yang turut berperan dalam proses membuka jalan dan memberinya kesempatan kepada para penulis pemula untuk mengekspresikan potensi dirinya.
Di Bali, sosok yang bertangan dingin seperti itu tentu tidak hanya Made Sukada. Akan tetapi tidak semua orang yang memiliki kewenangan dan menguasai sarana fasilitasnya, peduli dan mampu memanfaatkannya untuk kebutuhan dan kepentingan orang lain, sesuai bakat dan minatnya. Kewenangan dan fasilitas Sukada terkait jabatannya sebagai dosen, pengurus organisasi, dan redaktur seni budaya di media massa.
Sukada dosen di fakultasnya, Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Udayana. Tahun 1960-an, di luar kampus ia menjabat ketua Himpi (Himpunan Pengarang Indonesia) – Bali, kemudian ketua Lesiba (Lembaga Seniman Indonesia – Bali) sampai akhir masa hidupnya. Dalam kurun waktu sama ia pun redaktur rubrik Seni Budaya di Suluh Marhaen Edisi Bali.
Ia memanfaatkan kewenangan-kewenangan yang ada di genggaman tangannya itu dalam proses pembibitan, pengembangan dan pembinaan penyair, sastrawan dan budayawan pemula.
Bersama mahasiswanya ia mendatangi acara-acara apresiasi sastra. Mereka datang juga bersama anggota Himpi dan kemudian anggota Lesiba serta peminat lainnya. Ia memberi jalan terpublikasikannya pernak-pernik kegiatan itu dan sebagian hasil karya para pemula, di media massa cetak dan radio.
Sarjana Utama Pertama
Saya pernah diundang Fakultas Sastra Universitas Udayana untuk mengungkap sebagian kiprah Drs. I Made Sukada, S.U. (dan Prof. Dr. I Wayan Bawa) sebagai akademisi dan praktisi, dalam seminar di fakultas tersebut, 25 September 2009.
Sukada (1938 – 2003) kelahiran Denpasar (23 April 1938). Ia mahasiswa pindahan di Fakultas Sastra Universitas Udayana dari Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada jurusan Sastra Indonesia (Sastra Timur), tahun 1964. Ia menamatkan jenjang studi S-1 di Fakultas Sastra Universitas Udayana dan jenjang S-2 di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada. Tesisnya membahas karya Panji Tisna. Ia adalah sarjana sastra pertama di Bali yang menamatkan jenjang pendidikan S-2 (sarjana utama).
Sejak menjadi mahasiswa kemudian dosen di Fakultas Sastra Universitas Udayana, ia aktif menulis di Bali Post, khususnya artikel kebudayaan, saat nama koran itu masih Suara Indonesia yang terbit perdana 16 Agustus 1948. Ketika nama Suara Indonesia berganti menjadi Suluh Indonesia Edisi Bali kemudian Suluh Marhaen Edisi Bali, ia bekerja separuh waktu sebagai redaktur rubrik Seni Budaya. Sukada ditemani Nyoman Rasta Sindhu yang khusus menangani cerita pendek, mulai tahun 1967.
Saya dan mereka berdua sewaktu-waktu bertemu di kantor di Jalan Bisma 1 Banjar Tampakgangsul. Di perusahaan pers itu kami sama-sama berstatus karyawan honorer. Rubrik yang diasuh Sukada menarik minat penulis untuk meramaikannya, dengan karya artikel, cerita pendek, dan puisi. Tampil penulis-penulis baru, penulis-penulis muda. Juga, penulis-penulis senior yang sudah sering menulis sejak era Suara Indonesia, seperti Made Taro, Wayan Sayun, Wayan Rugeg Nataran, Nyoman Bawa, dan banyak lagi.
Pekerjaan redaktur Seni Budaya tetap dijalani Sukada setelah koran tersebut bernama Bali Post sejak tahun 197I.
Saat itu peran media massa, khususnya koran dan radio, cukup efektif dalam ikut menyalurkan bakat dan minat remaja di bidang tulis-menulis dan membaca puisi. Dua koran harian di Bali saat itu memiliki rubrik seni budaya yang memadai. Stasiun radio, menyajikan mata siaran khusus sastra dan musik.
Sebagai wadah terhimpunnya komunitas seniman, di Denpasar ada Himpi Bali yang berdiri 18 Februari 1967 diketuai Abu Bakar. Kemudian ada Lesiba yang diketuai Sukada setelah ia sempat menjabat Ketua Himpi menggantikan Abu Bakar. Lesiba berdiri, Himpi bubar. Ada Sanggar Budaya Nandi Gumarang yang berdiri 10 Oktober 1965 diketuai Yudha Paniek (I Gusti Ngurah Yudha). Anggotanya tersebar menulis di dua koran itu.
Harian Angkatan Bersenjata Edisi Nusa Tenggara yang terbit perdana tahun 1966 memiliki rubrik budaya yang diasuh sastrawan Yudha Paniek, dramawan Sunartoprayitno, perupa Toyo Subroto, dan lain-lain, di bawah koordinasi Pemimpin Redaksi Abdul Hamid. Selain Seni Budaya, Suluh Marhaen Edisi Bali juga memiliki rubrik anak-anak dan remaja, Banteng Muda. Pengasuhnya Komang Soka, D.P. Bhadra, dan B.P. Sudiara. Rubrik ini terhenti tahun 1971.
Setelah terhentinya Banteng Muda, rubrik baru lahir di halaman Bali Post, bernama Taman Muda Remaja. Nama ini diambil dari nama rubrik yang pernah ada pada era Suara Indonesia. Tahun 1976, namanya diganti menjadi Pos Remaja, bersamaan lahirnya Pos Anak-anak dan Pos Budaya. Pengasuhnya antara lain Made Taro, Putu Setia, Tjok. Raka Pemayun, Ida Bagus Anom Ranuara, Wayan Sayun, Made Nariana.
Tugasnya sehari-hari dalam koordinasi Redaktur Pelaksana Widminarko, hingga tahun 1983. Tahun 1979 bergabung ke Bali Post Umbu Landu Paranggi. Selain mengasuh rubrik puisi, Umbu juga menghadiri kegiatan apresiasi sastra dari rumah ke rumah dan dari kota ke kota, sebagaimana yang dilakukan dan dirintis Made Sukada.
Revolusi Kebudayaan
Sukada dikenal responsif terhadap isu kebudayaan yang dianggapnya perlu diluruskan. Pada era warga masyarakat dengan gagah menggunakan slogan “revolusi” dan “revolusioner” di mana-mana, Sukada menyindirnya dengan menulis artikel di Suluh Indonesia Edisi Bali dalam tiga seri, 20 – 25 Maret 1966. Judulnya, “Revolusi Kebudayaan di Bali?”.
Sukada menyatakan pandangannya, kebudayaan Bali tidak perlu direvolusikan karena sudah berevolusi. Kehidupan dan kebudayaan adalah satu adanya. Kebudayaan Bali, tidak hanya keseniannya, tidak lepas dari pendukungnya. Manusia adalah sekaligus pendukung kebudayaan. Ilmu pengetahuan, kesenian, agama, adalah tiga zat dari mana kebudayaan menampakkan dirinya.
Berdasarkan otaknya manusia menciptakan ilmu pengetahuan, karena perasaannya terwujudlah kesenian, dan desakan- desakan dari bermacam-ragam kehendak manusia membangun agama. Bali memiliki keunikan yang tanpa banyak mendapat tandingan dari daerah mana pun.
Di bagian lain Sukada menulis bahwa kebudayaan Bali umumnya dan kesenian khususnya memiliki sesuatu yang tetap unik bahkan seakan memiliki suatu rahasia bagi kekuatan gaib dari mana manusianya tak mungkin melepaskan diri, di samping menarik manusia lain untuk menjadi pendukung pula.
Mereka, manusia lain itu, akan mengakui kebudayaan Bali yang luhur tinggi dan menyadari kekurangan nilai kesenian dan kebudayaannya sendiri. Melihat kenyataan ini masih haruskah seseorang berteriak harusnya kebudayaan Bali direvolusikan?
Agama Hindu Bali pun tidak pernah memproklamirkan dirinya mengadakan revolusi. Tetapi, bukan berarti agama Hindu Bali tidak berevolusi. Jika tidak, berarti agama Hindu Bali telah mati sejak hinduisme di lain-lain tempat di Indonesia lenyap.
Apa yang tidak dinamis dalam kesenian Bali; yang tidak berevolusi dalam kebudayaan Bali? Dari kesenian feodal beralih menjadi kesenian untuk rakyat. Hanya keasingan diri di balik meja, hanya keangkuhan yang kadang-kadang ada di antara orang-orang Bali sendiri, yang sampai tidak melihat semua itu.
Kesenian di Bali bukanlah kegiatan yang tidak terorganisir. Bahkan seka kesenian (di) Bali tak terkalahkan organisasi apa pun, nasional maupun di tingkat internasional. Dengan peraturan tertulis atau tidak, seka itu berjalan dengan disiplin bahkan lebih disiplin daripada organisasi kebudayaan mana pun. Mereka yang bagai katak di bawah tempurung tidak melihat kemampuan seka untuk berbuat yang lebih besar.
Sekiranya pemerintah memberi kesempatan, tiap seka bisa dan sanggup memunculkan dirinya di gelanggang internasional, suatu organisasi yang sukar ditandingi organisasi-organisasi kebudayaan yang berpredikat ‘nasional’.
Teori agar kebudayaan di Bali perlu direvolusikan adalah teori yang sudah terlambat. Sejak lama kebudayaan di Bali sudah direvolusikan. Yang belum berevolusi ialah perhatian pemerintah terhadapnya.
Polemik Drama Gong
Ketika di Bali terjadi silang pendapat tentang kehadiran drama gong, Sukada ikut urun rembuk. Pandangannya disampaikan di depan rapat Listibiya (Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan) di Gianyar 17 Januari 1968. Juga, lewat tulisan di Suluh Marhaen Edisi Bali 17 Februari 1968 berjudul “Penilaian yang Keliru dan Soal Hidup Matinya Drama Gong”.
Lahirnya drama gong di Bali, menurut Sukada, tak lepas dari tradisi dan kebudayaan setempat. Tak dapat diingkari sudah terdapat pengaruh drama modern, hanya di sana-sini masih terlalu mentah, belum dihayati sepenuhnya. Belajar dari kesenian daerahnya yang sudah mentradisi dan dari berbagai campuran bentuk-bentuk kesenian yang telah ada, mereka ciptakan drama gong. Keliru besar kalau mau memaksakan hukum-hukum drama (modern) untuk jenis drama gong. Hal itu malah bisa merusak nilai etis dan estetis drama gong.
Tidak perlu ada ramalan-ramalan tentang hidup-matinya suatu hasil kesenian. Kehidupan kesenian senantiasa berubah dan berkembang. Perlu dipelajari sejarahnya, nilai-nilai yang mendukungnya, bahkan aspek masyarakatnya ikut menentukan. Kesenian nengalami perubahan sesuai zamannya, tak seorang pun kuasa membendungnya. Hak hidupnya tak dapat diramalkan begitu mudah.
Sejak abad ke-19 kematian dan keruntuhan drama diramalkan Sarcey, pengarang Prancis, tetapi toh seperti dikatakan David Koning, drama masih segar-bugar dan umumnya masih sehat.
Sukada dikenal terbuka dan kuat dalam mempertahankan pendiriannya. Karakternya itulah yang menjadikan Sukada, selain memiliki banyak teman, ada pula sesama seniman yang bersikap apriori terhadapnya bahkan menjauhi berdiskusi dengan dia. Perihal pandangannya tentang drama gong, misalnya, ada budayawan asal Jembrana yang berseberangan pendapatnya. Namanya Heman Nagara.
Sebagai reaksi terhadap pandangan Sukada tentang drama gong di berbagai forum, Heman membuat tulisan. Tulisannya dibagikan dari tangan ke tangan, orang-orang tertentu. Saya, termasuk yang mendapatkannya.
Begitu emosinya, dalam tulisannya itu Heman Nagara menulis kata-kata yang terkesan tidak etis : “Jika kerbauku punya anak akan saya beri nama Sukada”.
Tahun 1960-an terbuka kemungkinan sesama seniman bisa berpolemik dan saling mengkritik. Hal itu dalam upaya mereka mencari kebenaran, atau paling tidak untuk menemukan solusi yang bisa diterima paling rasional oleh publik.
Apresiasi Sastra
Di mata temannya Made Sukada dikenal sebagai sosok yang berpenampilan sederhana, disiplin, dan secara tekun mencintai ilmu sastra. Sastrawan berkaca mata tebal itu menulis banyak artikel terutama menyangkut bidang kritik dan apresiasi sastra.
Sukada juga menulis puisi. Ia mengajak teman-teman penyair dan mahasiswanya membaca puisi di radio, seperti RRI dan Radio Menara (saat Menara masih beralamat di Jalan Sulawesi), serta stasiun radio lain seiring kian gairahnya hidup media elektronik itu di Bali. Juga, di Art Centre Denpasar bahkan di tempat-tempat rekreasi seperti Taman Indrakila dan Taman Oongan, serta di rumah-rumah kerabatnya.
Apresiasi sastra sering juga disatukan dengan aktivitas religiusitas, misalnya ‘makemit’ di Pura Luhur Uluwatu dan Pura Peed Nusa Lembongan atau saat bulan purnana di Pantai Sanur. Kalau ada yang memetik gitar, Sukada sesekali melantunkan puisi.
Saya hadir saat Sukada dengan suara lantang membaca puisi-puisi karyanya yang terhimpun dalam buku “Denpasar Dalam Sajak” di Taman Indrakila Denpasar. Kegiatan apresiasi sastra ini tetap aktif berlangsung hingga tahun 1980-an.
Sukada tampak akrab dengan Nh Dini. Beberapa kali Nh Dini ngobrol dalam apresiasi sastra di rumah Sukada.
Sukada juga kenal dekat dengan Sutan Takdir Alisjahbana. Ia bersama teman-temannya pernah menyelenggarakan apresiasi sastra di Toya Bungkah, Kintamani, difasilitasi Sutan Takdir Alisjahbana. Pengarang roman “Layar Terkembang” itu memiliki restoran di kawasan tepi Danau Batur.
Saat memberi kuliah, di depan mahasiswanya ia sering mengungkapkan pikiran Rene Wellek dan Austin Warren dalam bukunya “Theory of Literature”. Ia menganjurkan para mahasiswa menjadikan buku itu sebagai acuan dan menganjurkan banyak membaca.
Kriteria Terpola
Pola pikir Sukada dikenal sistematis. Sebagai juri suatu lomba karya sastra ia telah memiliki kriteria penilaian yang terpola. Kriteria dan hasil penilaian itu pernah dipublikasikan secara terbuka di media massa sebagai pertanggungjawabannya sebagai juri.
Di Bali Post 16 Mei 1976, misalnya, Sukada menulis “Pokok-pokok Pikiran Pertanggungjawaban Juri Lomba Mengarang Puisi”. Sebagai anggota dan ketua tim juri ia mengutarakan kriteria yang dipakai juri sejalan tiga aspek yang membangun puisi, yakni aspek ide (imajinasi), aspek bentuk dan aspek diksi (pemilihan/pemakaian kata secara harmonis/tepat). Ketiga aspek ini harus dibangun secara harmonis sehingga jelas mendukung dan membangun suatu bentuk puisi tertentu.
Skala ide yang membangun berbagai tema dalam baris-baris kalimat dan dalam tiap kata haruslah seluruhnya dipusatkan pada ide pokok sebagaimana sering tertuang dalam judul puisi.
Tiap bentuk ide tertentu dalam puisi memerlukan penyaluran dalam suatu bentuk kalimat yang harus ritmis (berirama) sehingga unsur musikalitas puisi muncul dengan baik. Unsur inilah yang paling dominan karena membedakannya dari jenis bentuk cipta sastra yang lain.
Untuk membangun musikalitas, frase (kelompok kata) harus demikian rupa, sehingga dalam satu tarikan napas bisa tercapai jeda (koma atau titik). Dalam puisi-puisi pendek, musikalitas selain ditentukan unsur frase yang teratur, juga bisa dibantu unsur persajakan (persamaan bunyi) asalkan tidak dipaksakan.
Unsur musikalitas erat berhubungan dengan unsur diksi. Kata-kata dipilih atau diaturpadukan secara tepat. Hal ini sering berhasil berkat dukungan faktor intuisi penyair. Dalam konteks inilah tiap penyair tidak pernah melepaskan dirinya untuk selalu kontak dan menghayati kehidupan dan alam secara terbuka.
Dengan kalimat lain, penyair harus memelihara emosinya sejalan dengan kodrat alam yang hakiki sehingga mencapai tingkat yang peka terhadap tiap rangsangan yang menyentuh nuraninya.
Dalam tulisan itu Sukada juga memaparkan kelebihan dan kekurangan satu per satu puisi yang menjadi pemenang lomba.
Kumpulan Puisi
Pada awal berdirinya Lesiba menerbitkan banyak kumpulan puisi. Saya hanya menyimpan sebagian buku-buku itu. Yang terbit tahun 1973, “Denpasar Dalam Sajak” (kumpulan puisi-puisi pendek karya Made Sukada); “Dengarlah Jiwa Kami Meratap” (kumpulan puisi Made Jara Atmaja); “Setelah Angin Senja Berhembus” (kumpulan puisi Ngurah Parsua).
Dapat ditambahkan, kumpulan puisi karya Ngurah Parsua kurun waktu 1969 s.d. 1998 juga terbit tahun 2002, setahun sebelum Sukada tutup usia. Judulnya “Ketika Penyair Bernyanyi”. Penerbitnya, Balai Bahasa Denpasar bekerja sama dengan Lembaga Seniman Indonesia-Bali.
Tahun 1974, “Beginilah Rumahku Sekarang” (kumpulan puisi Tommy Wiguna tahun 1961 – 1968). Tahun 1975, “Tuhan Telah Datang Padaku” (kumpulan puisi Made Sukada dan Ignatius Rachmat Supandi).
Tahun 1969, ketika Lesiba belum berdiri dan Sukada menjabat Ketua Himpi Bali, Himpi menerbitkan buku “Penjair Bali” – Sebuah Antologi Puisi Penjair Muda Bali. Penerbitannya disebutkan sebagai menyambut Hari Kesusastraan 28 April 1970 dan kenangan peringatan ulang tahun ke-3 Himpi Bali 18 Februari 1970. Buku ini memuat puisi-puisi karya 24 penyair.
Buku serupa itu dapat menjadi petunjuk siapa-siapa penyair Bali yang eksis dalam dasa warsa tertentu. Walaupun dimungkinkan masih ada penyair eksis yang tercecer, yang karyanya belum termuat dalam buku itu.
Ke-24 penyair beserta jumlah puisinya yang termuat dalam buku “Penjair Bali” sebagai berikut :
Artha Negara (4 puisi), Putu Arya Tirthawirya (2), Njoman Bawa (2), Gde Dharna (2), Faisal Baraas (2), Judha Paniek (2), Konia Warditha (4), Njoman Nada Sariadha (1), Ninik Berata (2), Oka Soenandhy (4), I Gusti Ngurah Parsua (3), Paulus Jos Adi Rijadi (2), Rahmat Supandhi (2), Made Raka Santeri (2), Njoman Rasta Sindhu (2), I Wajan Rugeg Nataran (3), Made Sukada (3), Sunartoprajitno (3), Njoman Sutjipta (3), I Ketut Suwidja (2), Made Taro (2), Tommy Wiguna (2), Putu Widjaja (3), I Wajan Windia (3).
Tersimpan di Australia
Semasa hidupnya Made Sukada juga dikenal sosok yang mimiliki dokumentasi kesusastraan yang relatif lengkap di rumahnya. Jika kritikus HB Jassin dijuluki “Paus Sastra Indonesia”, sebagian pengamat dan temannya memberi gelar tidak resmi kepada Sukada “HB Jassin-nya Bali”.
Saya mendapat informasi dari Nyoman Darma Putra yang pernah menempuh studi di Australia (sekarang guru besar di Fakultas lImu Budaya Universitas Udayana) bahwa beberapa tulisan Sukada juga tersimpan di National Library of Australia, Canberra. Antara lain, Masalah-masalah Pokok ke Arah Membina Ilmu Sastra Bali, 1973; Analisa Cerita Pendek Nyoman Rasta Sindhu “Ketika Kentongan Dipukul di Balai Banjar”, 1975; Masalah Sistimasi Analisa Cipta Sastra, 1976; Pembinaan Kritik Sastra Indonesia : Masalah Sistematika, Analisis Struktur Puisi, 1987; Beberapa Aspek tentang Sastra, 1987.
Made Sukada termasuk sosok yang dalam kiprahnya sebagai penyair, sastrawan, dan budayawan, tampak berupaya menyinergikan aktivitas akademisi dan aktivitas praktisi.
Ia berupaya mengekspresikan dan mengimplementasikan ilmu pengetahuan yang didapat dari lembaga pendidikan formal ke dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya.
Sebaliknya ia menyerap pengalaman dan aktivitas kehidupan di tengah masyarakat sebagai sumber inspirasi dan informasinya dalam mempertajam wawasan keilmuannya.
Bali, 9 Februari 2023.