Apresiasi dari President of Yayasan Kul Kul (Green School), Dr. Ni Putu Tirka Widanti usai diskusi (Foto-foto Green School).

Undangan yang saya terima untuk memberikan ceramah tentang pedoman ejaan bahasa Indonesia ke Green School, Bali, sangat menyenangkan. Bukan karena topiknya, tetapi lebih karena idaman lama saya untuk mengenal Green School yang akan menjadi kenyataan.

Undangan disampaikan oleh President of Yayasan Kul Kul (Green School), Dr. Ni Putu Tirka Widanti, yang sehari-hari adalah Rektor Universitas Ngurah Rai, Bali. Green School yang berdiri 2008 lalu terletak di Desa Sibang Kaja, Kecamatan Abiansemal, Badung.

Acara berlangsung Sabtu, 6 Maret 2021. Kegiatan sengaja dilaksanakan pada akhir pekan, ketika anak-anak tidak bersekolah, sehingga guru dan staf bisa fokus untuk menambah atau menyegarkan pengetahuan.

Ruangan aula estetik yang luas, beratap alang-alang, bertiang bambu, adalah tempat acara berlangsung. Hiasan bunga di sana-sini membuatnya semakin indwah mewangi. Sekitar 50 peserta yang ikut diskusi. Acara dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan.

Saat presentasi.

Green School Nan Alami

Green School dibangun dia areal ruang hijau, banyak bambu, rindang, sejuk, segar, dan sangat alami. Sekolah dibangun dari bahan dominan bambu, ruang kelas terbuka, dan udara bersih karena alam menghijau, rindang, dan fresh.

Di sini terdapat pendidikan dari anak usia dini sampai tingkat SMA. Sekolah ini berpengantar bahasa Inggris, dan memenuhi pengajaran mata pelajaran wajib yaitu bahasa Indonesia, Pancasila, dan agama.

Aula tempat acara.

Muridnya kebanyakan anak-anak ekspat. Guru-gurunya orang lokal yang memiliki kemampuan dan kompetensi mengajar dalam bahasa Inggris.

Ketika diundang untuk memberikan ceramah tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), saya langsung menyambut dengan suka-cita. Ini kesempatan baik bagi saya untuk mengenal sekolah yang terkenal itu. Ingin rasanya dua minggu penantian sejak undangan disampaikan sampai acara berlangsung, berjalan cepat.

Tentang materi ceramah, saya sebetulnya agak ragu, karena saya berfikir hal baru apakah yang bisa saya berikan kepada guru-guru sekolah berreputasi sekelas Green School. Pastilah mereka sudah paham, atau bisa belajar mandiri tentang PUEBI melalui buku yang mudah diunduh dari internet.

Ruang aula yang luas dengan sistem suara yang jelas.

Persiapan materi presentasi menjadi agak lambat, kontras keinginan untuk ke Green School berdegup kencang. Untung beberapa bulan lalu, kami di Prodi Sastra Indonesia menyusun buku ajar Bahasa Indonesia. Buku ini berisi beberapa soal latihan. Saya ambil materi latihan 20 soal untuk pre-test, dan dari sana materi diskusi PUEBI bergulir. It worked, bisa dipakai dengan baik.

Sempat Nyasar

Perjalanan dari Denpasar ke Sibang tak begitu jauh. Saya sering lewat jalan utama, lewat Jalan Achmad Yani lurus ke utara, tetapi tidak pernah ke Green School. Saya sudah siap-siap memasang peta perjalana Google, tetapi karena ada telepon berdering, saya tidak sempat melakukan. Akhirnya saya nyasar, padahal mestinya belok kiri.

Materi presentasi.

Jalan menuju Green School indah mulus, pemandangan perdesaan asri. Akhirnya sampai saya di tengah ‘belantara’, lokasi Green School yang menakjubkan. Kalau bukan seorang visioner, founder sekolah ini tidak mungkin bisa menemukan dan memilih tempat terpencil ini.

Lokasi terpencil, menurut paham lama memang identik dengan jauh dan sulit dijangkau. Tapi, pendiri sekolah internasional ini, telah mengubah makna ‘terpencil’, menjadi sunyi, asri, alami, kondusif untuk anak-anak belajar dekat dengan alam.

Dalam perkembangan kota yang hiruk pikuk, padat, sesak, belajar di tempat terpencil adalah idaman.

Apresiasi usai acara.

Ruang guru, ruang admin, aula, ruang kelas tertata alami, ramah lingkungan, di areal seluas sekitar 8 hektar. “Batas areal, sampai ke tepi Sungai Ayung,” tutur Dr. Tirka yang sempat menunjukkan sebagian kecil dari areal dan bangunan sekolah.

“Mau sampai ke bawah Pak?” tanya Budhi Sagita Wiratama (Kepala SMP) dan Rian (HRD) yang ikut mengantar saya menghayati keindahan lokasi Green School.

Saya bayangkan, betapa riang-gembiranya anak-anak bersekolah di Green School. Orang tua mereka pasti senang, anak-anak mereka berseklah di tempat yang alami, asri, dan sejuk. “Tak ada AC di ruangan kelas, Pak,” tutur Budhi, alumni S-2 pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Payung hijau Green School dari Dr. Tirka.

Dalam waktu dekat, Green School akan membuka sekolah di berbagai negara, seperti di New Zealand, India, Afrika, dan Jepang. “Mohon doa, semoga lancar semua,” tutur Dr. Tirka penuh santun.

Dia menambahkan, bahwa jika sekolah itu berjalan, maka pusatnya adalah Bali. Sesuatu yang membanggakan, karena Bali dapat menjadi pusat aktivitas pendidikan lintas negara. Bali bisa memberikan imbas.

Menyerahkan buku Segara Giri: Kontribusi Perempuan dalam Pariwisata Bali (2020)

Bahas Bahasa dengan Suka-Cita

Di hadapan guru-guru yang muda, baik, energik, cerdas, humble (rendah hati dan santun), ceramah atau dialog kami tentang PUEBI berjalan lancar, hangat, dan penuh suka-cita.

Acara dipandu oleh guru muda, Made Candra Parwati, alumnus Prodi Sastra Inggris dan S-2 Prodi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Unud. Belajar ejaan pun bisa dengan jenaka, menghibur, dan tak terasa waktu 2,5 jam berlalu begitu cepat.

Peserta yang penuh rasa suka-cita.

Semua itu terjadi karena para peserta demikian aktif bertanya, berdialog, sesuatu yang mereka lakukan sehari-hari ketika mendidik anak-anak ekspat. Ciri anak-anak itu antara lain memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan berani serta cepat bertanya ‘why, why’?

Walaupun staf pendidik Green School begitu aktif berdialog, mereka tetap menyampaikan segalanya dengan santun dan riang-hati, hanyut dalam sense of humor. Suasana itu memungkinkan diskusi berlangsung hangat dan kiranya peserta dapat menyerap substansi lebih banyak dan dalam.

Pembangunan gedung sekolah yang mengingatkan bentuk ‘Opera House’ Sydney, Australia.

Usai ceramah dan melihat-lihat sebagian kecil bagian areal sekolah, saya akhirnya pulang, dengan dua kesan.

Pertama, suka-cita bisa melihat langsung dan merasakan suasana Green School dalam areal yang indah alami.

Kedua, merasakan kehangatan dan produktivitas dialog materi ceramah dengan suasana serius santai yang dimungkinkan oleh suasana sekolah yang ramah lingkungan. Kebiasaan atau perangai santun kiranya ikut dipengaruhi oleh suasana lingkungan yang segar alami.

Ingin rasanya kembali ke sana, dan kalau ya, pasti tidak nyasar lagi (Darma Putra).