Buku sastra Bali modern yang terbit 2020.

Kumpulan cerpen Nglekadang Meme (Melahirkan Ibu) karya Komang Berata tampil sebagai karya terbaik yang menerima mendapat Hadiah Sastera Rancage 2021 untuk sastra Bali modern. Apakah keunggulan karya ini dan bagaimana kualitas delapan karya pesaingnya yang sama-sama terbit 2020 lalu?

Untuk ke-23 kalinya, sastra Bali modern diikutkan dalam nominasi hadiah Sastera Rancage. Sejak pertama diikutkan tahun 1998, setiap tahun selalu ada karya sastra Bali modern yang terbit, sehingga selalu hadir sastrawan Bali sebagai penerima hadiah Sastera Rancage.

Berkat hadiah sastra ini, penulis muda Bali menunjukkan semangat positif dalam mencipta. Selain pengarang yang mapan dan berumur, seperti Nyoman Manda, Made Suarsa, dan IDK Raka Kusuma, lahir banyak penulis muda yang karyanya diikutkan dalam nominasi penilaian.

Berkat hadiah Sastera Rancage, kehidupan sastra Bali modern yang semula sunyi senyap nyari tanpa karya baru, akhirnya kian semarak. Tiap tahun rata-rata 10 judul buku terbit.

Untuk tahun 2020, buku berbahasa Bali yang terbit berjumlah 10 judul. Jumlah ini menurun dibandingkan 13 judul yang terbit tahun 2019. Dari ke-10 judul itu, terdapat 1 novelet, 3 kumpulan puisi, 5 kumpulan cerpen, dan 1 kumpulan esai. Buku kumpulan esai tidak ikut dinilai untuk nominasi hadiah sastra Rancage. Meski menurun dibandingkan 2013, angka 10 judul adalah angka rata-rata terbitan dalam 10 tahun terakhir.

Pustaka Ekspresi

Untuk tahun 2020, sembilan dari sepuluh buku itu diterbitkan oleh satu penerbit, yaitu Pustaka Ekspresi, dikelola oleh penulis sastra Bali modern, I Made Sugianto, yang sejak dua tahun ini menjadi kepala desa di kampungnya. Sugianto sudah pernah mendapat Hadiah Sastar Rancage dua kali, yaitu sebagai pembina tahun 2012 dan juga atas novelet karyanya berjudul Sentana (Anak) tahun 2013.

Dari segi latar belakang penulis, buku sastra yang terbit tahun 2020 ditulis oleh penulis lama (Nyoman Tusthi Eddy dan I Made Suarsa), penulis yang sudah mapan (IBW Keniten, IB Pawanasuta, Komang Berata), dan penulis baru (Agus Sutrarama, I Nyoman Agus Sudipta, dan Wikana Seraya).

Penulis Agus Sutrarama kelahiran 1984 dan Wikana Seraya kelahiran 1989, berusia relatif muda. Hal ini menandakan terjadinya alih generasi atau berlanjutnya pertumbuhan sastra Bali modern. Kenyataan ini mungkin bisa dijadikan bukti untuk bersifat optimisme menatap masa depan sastra Bali modern.

Judul-judul dan penulis buku yang terbit, adalah novelet Nyingkir (Nyingkir) karya I Made Suarsa; tiga kumpulan puisi yaitu Sepi karya Ida Bagus Pawanasuta, Gending Nyapnyap (Tembang Gelagapan) karya Nengah Patra, dan Osah (Gelisah) karya Nyoman Tusthi Eddy; lima kumpulan cerpen yaitu Wangchi Wuhan (nama kota di Tiongkok) karya IBW Widiasa Keniten, Mulih (Pulang) karya I Nyoman Agus Sudipta, Tilem Siduri (Tilem Terakhir) karya Wikana Seraya,  Ngelekadang Meme (Melahirkan Ibu) karya Komang Berata, dan Swastyastu Cinta (Swastyastu Cinta) karya Agus Sutrarama.

Untuk kumpulan esai, judulnya Puyung Misi (Kosong Berisi) karya duet I Nengah Konten dan I Nyoman Sutirta. Tulisan dalam buku ini berasal dari artikel yang dimuat di surat kabar Bali Post (sisipan bahasa Bali Bali Orti). Topik yang dibahas beragam, sesuai dengan tema aktual ketika dipublikasikan, misalnya tentang pahlawan, kearifan lokal, dan ihwal pembangunan dalam arti luas (fisik dan non-fisik).

Pertimbangan Nominasi

Novelet Nyingkir (Nyingkir) karya I Made Suarsa mengisahkan perjalanan hidup I Made Sanggra selaku pejuang, mulai dari ketika menyingkir dalam rangak bergerilya menghadapi NICA, sampai dengan ditetapkan sebagai veteran. Selain itu, juga dilukiskan kisah Made Sanggra sebagai pengarang sastra Bali modern, beberapa karyanya seperti cerpen Ketemu ring Tampaksiring sebagai juara lomba. Atas jasanya sebagai veteran dan sastarwan, keluarganya mendirikan Yayasan Made Sanggra, untuk menjaga spirit perjuangan Made Sanggra.

Novelet ini merupakan kisah biografis, tokohnya adalah sosok yang nyata, I Made Sanggra, pengarang yang tampil sebagai sasgtarwan bali pertama meraih hadiah sastra Rancage untuk kumpulan puisinya Kidung Republik (1998). Novelet ini menarik kisahnya, dan juga disampaikan dengan bahasa liris dan penuh irama. Novelet ini tidak ubahnya sebuah prosa liris. Lewat novelet ini, bahasa Bali terasa sangat indah.

Tiga kumpulan puisi adalah Sepi karya Ida Bagus Pawanasuta, Gending Nyapnyap (Tembang Gelagapan) karya Nengah Patra, dan Osah (Gelisah) karya Nyoman Tusthi Eddy. Ketiga kumpulan puisi ini diterbitkan oleh Pustaka Ekspresi.

Kumpulan puisi Sepi karya Ida Bagus Pawanasuta memuat 55 judul puisi adalah peraih anugerah Gerip Maurip (Pena Hidup) yang diberikan penerbit Pustaka Ekspresi. Dilihat dari segi tema, antologi puisi Sepi mengekspresikan tentang kesepian yang diungkapkan dalam berbagai konteks.

Tema sepi itu juga digunakan untuk berbicara tentang takdir, maknaguru, dan refleksi sosial. Dua sajak di awal “Sepi” dan “Jalan Sepi; Kintamani” Tema sepi yang direfleksikan lewat keindahan tampak pada puisi “Batur”, tentang danau di kawasan wisata Kintamani yang dilukiskan dengan ungkapan ombak danau menghanyutkan perasaan (ombaknyanè nyujur sisi, ngulangunin manganyudang manah). Sepi jauh dari riuh.

Tema refleksi sosial tampak pada puisi “Suryak Siu” (Sorak Seribu) yang mengekspresikan sindiran bahwa kebenaran bisa kalah dan salah jika kebanyakan orang membenarkan yang salah. Dari segi gaya (style), puisi-puisi dalam antologi ini lebih menonjolkan pola ungkapan seperti repetisi, sementara irama bunyi tampak tidak menjadi prioritas.

Kumpulan puisi Gending Nyapnyap (Tembang Gelagapan) karya Nengah Patra memuat 34 puisi-puisi pendek yang secara visual karakteristiknya jelas terlihat. Panjang puisi rata-rata 2-3 bait, dengan 8-10 baris. Menyajikan puisi pendek adalah sesuatu yang tampak disengaja, bisa dilihat dari cara penyair menulis puisi berseri, misalnya puisi ‘rawat’ (bayangan) ‘rawat 1’ sampai dengan ‘rawat 4’ dan puisi ‘peteng’ (malam) dari seri 1-7. Puisi ‘mangmung’ (sepi) merupakan puisi terpendek, ditulis dalam 3 baris, terdiri dari  hanya 10 kata, mengekspresikan tentang sepi.

Kekhasan lain dari gaya puisi dalam antologi ini adalah semuanya ditulis dengan huruf kecil, tidak ada huruf kapital mulai dari judul sampai dengan baris terakhir. Berbeda dengan puisi lain, antologi ini tidak mencatumkan nama penyair di sampul, kiranya bukan kelalaian tetapi sebuah pilihan estetik. Nama penulis dicantumkan di setiap akhir puisi, berarti untuk 34 puisi namanya ditulis 34 kali.

Di bawah nama penulis, dicantumkan tahun yang merupakan tahun Saka. Berhubung tahun Saka 78 tahun lebih lambat daripada tahun Masehi, maka tahun 1940 sebagai titimangsa sajak mesti diartikan sebagai 2018 (1940+78). Seperti tercermin dalam puisi ‘mangmung’ (sepi), puisi lain dalam antologi ini juga secara dominan bertema dan mengekspresikan tentang sepi, seperti tersimak dalam pilihan kata ‘embang’ dan ‘sunia’, keduanya berarti sepi dan kosong.

Puisi ‘nyapnyap’ yang menjadi judul antologi ini juga berbicara dalam suasana sunyi, di mana panyair mengekspresikan perasaan rendah hatinya, jauh dari teriak-riuh. Puisi ‘peteng’ seri 1-7 juga berbicara tentang malam yang sunyi.

Kumpulan puisi Osah (Gelisah) karya Nyoman Tusthi Eddy memuat 54 puisi, dan seperti disampaikan penyair di pengantarnya, puisi dalam antologi ini puisi berbagai jenis, termasuk puisi naratif, dramatik, dan puisi lugu. Puisi naratif terlihat indah dalam puisi “Raja Pala – Ken Sulasih” (kisah pemburu Rajapala menjebak bidadari Ken Sulasih). Temanya pun beragam, dari cerita rakyat Rajapala, perasaan diri (gelisah, rindu, bahagia), spiritualitas, kepedulian sosial, tempat wisata, dan tema lugu namun bermakna.

Tema kepedulian sosial, misalnya terekspresi dalam ‘Buruh I’, ‘Buruh II, dan ‘Marsinah’, keduanya berbicara tentang ketidakadilan bagi pekerja. Ada juga sajak tentang bom Bali, rumah sakit, daya tarik wisata, yang semuanya mengandung ekspresi kepedualian sosial.

Dalam hal gaya, puisi dalam antologi ini secara umum pendek-pendek, hanya satu puisi yang tertuis dalam satu halaman lebih yaitu ‘Raja Pala Ken Sulasih’, selebihnya pendke-pendek bahkan ada yang tiga baris. Puisi-puisi dalam antologi ini sangat menjaga irama bunyi, terutama bunyi akhir yang disusun bersajak, seperti pantun atau seperti syair, misalnya puisi ‘Peteng’(Malam) terdiri dari satu bait, empat baris yang berakhir dengan bunyi sama -eng: badeng, adeng, peteng, bindeng.

Satu puisi patut dicatat karena menggunakan gaya anadiplosis, yaitu gaya penulisan puisi atau prosa yang menjadikan kata terakhir baris sebelumnya sebagai kata pertama baris berikutnya, seperti pada puisi ‘Raga’ (Raga) yang terkutip begini: Raga tulia maraga angga/ Angga maraga jagat maya/ Maya wit suka duka/ Duka…. dst.  

Kumpulan cerpen Mulih (Pulang) karya I Nyoman Agus Sudipta memuat dua belas cerita, beberapa di antaranya mengangkat tema penyakit yaitu pandemi covid-19, HIV AIDS, dan kekerasan yang berlatar belakang konflik politik. Cerpen “Mulih” yang menjadi judul antologi ini mengisahkan seorang gadis berstatus ODP (orang dalam pengawasan) yang tinggal di kota namun tiba-tiba pulang (mulih) menengok ibunya di desa menjelang hari raya Nyepi. Kepada ibunya dia tidak menjelaskan bahwa di dalam pengawasan sampai akhirnya dia dijemput untuk dikarantina kembali di kota. Hasil tes swab menunjukkan dia negatif covid-19. Saat di karantina, lewat telepon dia mendengarkan bahwa ibunya meninggal, berpulang alias mulih.

Cerita tidak eksplisit mengungkapkan apakah si ibu meninggal karena covid atau bukan, tetapi bisa diduga karena covid yang ditularkan oleh si tokoh utama cerita (Arik). Pengarang pandai menyimpan misteri, membuat cerita terngiang meninggalkan penasaran pada pembaca.. Penggunaan kata mulih  di sini menarik karena berarti pulang bagi Arik yang tinggal di kota, berarti meninggal bagi ibunya. Cerpen lain yang mengisahkan derita akibat covid adalah PMI, yang maknanya dua: pekerja migran Indoensia dan singkatan dari nama tokoh cerita Putu Merta Intaran.

Seperti halnya cerpen “Mulih”, cerpen-cerpen lain dalam antologi ini juga banyak menjadikan kehidupan sosial di dunia urban sebagai tema cerita dengan latar belakang kemajuan sosial media yang menjadi sumber kemudahan dan keribetan hidup. Menariknya, cerpen-cerpen dalam antologi ini semuanya hadir dengan judul yang terdiri dari satu kata dengan makna ganda seperti cerpen “Nyoblos” (Nyoblos) yang berarti mencontreng di bilik suara dan berarti ‘menusuk’ musuh yang dianggap lawan politik.

Latar perdesaan dan perkotaan sama-sama hadir dalam cerita ini sehingga memberikan refleksi gambaran yang saling melengkapi tentang desa dan kota di era global di Bali.

Kumpulan cerita pendek Swastyastu Cinta (Swastyastu Cinta) karya Agus Sutrarama memuat 10 cerpen yang umumnya melukiskan hubungan persahabatan dan kisah cinta di kalangan remaja dan mahasiswa, seperti ketika mendaki gunung bersama. Lukisan latar cerpen, baik latar alam maupun budaya Bali, tersaji dengan baik dan orisinal.

Walaupun tema-tema cerita kebanyakan tentang cinta, pesan-pesan moral juga kental diselipkan, seperti tentang pentingnya remaja memiliki prestasi dalam belajar, menguasai keterampilan dalam berbahasa asing, dan keterampilan dalam bidang seni, seperti bisa dibaca dalam cerpen “Ujan Macanggah” (Hujan Bercabang).

Kecuali cerpen “Om Swastyastu Cinta” yang menjadi judul antologi yang terasa beralur lambat karena seolah ditulis dengan pendekatan penulisan novel, secara umum alur cerita dalam cerpen-cerpen dalam antologi ini mampu menyajikan cerita yang menarik. Sayangnya, ada persoalan teknis dalam tata-tulis, yaitu diabaikannya penggunaan tanda baca dalam dialog antar-tokoh. Ada dialog, tetapi tidak ada tanda bahwa itu dialog sehingga sering jalan cerita menjadi tersendat disimak.

Kumpulan cerpoen Wangchi Whuan (nama tokoh utama cerita untuk sebutan virus corona) karya IBW Widiasa Keniten memuat sebelas cerpen, semuanya dengan tema berkaitan dengan pandemi covid-19. Cerpen Wangchi Wuhan yang menjadi judul antologi ini mengisahkan ayah dan anaknya menuturkan keganasan Wanchi Wuhan (corona) melanda dunia.

Pengarang melukiskan pandemi covid-19 ini dalam konteks Bali, misalnya dengan menyampaikan pesan agar orang-orang menghindari sabung ayam karena kerumunan ini bisa membuat virus menyebar. Selain menasehati ayahnya agar berhenti ke arena sabung ayam, tokoh remaja dalam cerpen ini juga memberikan teladan pentingnya menjaga diri dengan tinggal di rumah, jika terpaksa ke luar (misalnya untuk kerja) begitu tiba di rumah wajib mandi dan ganti baju.

Cerpen lain, seperti Buduh (Gila) merupakan ekspresi ketidakpahaman mengapa orang gila memiliki imun yang kuat sehingga tidak terkena virus corona? Cerpen ini mengingatkan baca pendapat yang berseliweran di media massa bahwa orang gila, orang miskin pekerja keras di jalanan, memiliki kekebalan tubuh. Dalam cerita, hal itu dilukiskan sebagai keadilan Tuhan, dan dijadikan sindiran yang jawabannya pasti tidak “…nyak dadi anak buduh? [maukah menjadi orang gila]?’ (hlm. 57). Cerita ini dan cerita lain, menarik karena menyajikan tema aktual dan menyampaikan pesan yang berguna bagi masyarakat, hanya saja sebagai cerita memerlukan alur dan konflik sehingga lebih memikat dibaca.

Kumpulan cerpen Tilem Siduri (Bulan Mati Terakhir) karya Wikana Seraya memuat 12 cerita pendek dengan tema-tema tragedi. Tema persoalan hidup yang diungkapkan menjadikan cerpen-cerpen kisah yang menarik dengan konflik yang kuat. Konflik yang kuat didukung dengan ending yang ditandai dengan klimaks membuat cerita berakhir dengan mengejutkan (surprise). Cerpen dalam antologi ini cukup pendek, tetapi mampu menyajikan kisah yang utuh dan yang dapat mengeksplorasi rasa yang dalam. Yang menarik juga dari cerpen-cerpen dalam antologi ini adalah hadirnya kalimat pembuka cerita yang sudah mengandaikan sebuah kontradiksi atau menawarkan rasa ingin tahu. Pembukanya selalu powerful, bertenaga.

Cerpen Tilem Siduri yang menjadi judul antologi ini mengisahkan kisah seorang laki-laki yang dibunuh sebagai bentuk pembalasan atas kesekuaannya melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan. Kisah dituturkan dengan memikat dengan klimaks yang mencekam, ketika lelaki itu dipukul dengan potongan kayu dari belakang. Hari ini, pada bulan mati itu, adalah hari terkahir dia melampiaskan kenakalannya, sesudah itu mungkin perempuan tidak takut lagi karena penganggu itu sudah mampus.

Cerpen Tresnan Memene Apeteng (Kasih Ibu dalam Semalam) melukiskan cerita seorang ibu melahirkan dari sudut pandang si bayi. Lewat cerita ini, pembaca mendapat narasi dan perasaan dari sudut pandang si bayi yang lahir: tentang perasaannya, tentang sang ibu yang menahan sakit, sang ayah yang menanti anaknya lahir, dan sebagainya. Si bayi itu meninggal tak lama setelah lahir, namun cerita berlanjut karena dituturkan oleh atma si bayi. Alur dan sensasi yang terasa membuat cerita ini unik.

Cerita “Dadong Lipur” (Nenek Lipur) dan “Men Bekung” (Bu Bekung) menunjukkan kemampuan pengarang menyusun cerita dengan alur yang cukup mengejutkan. Kecurigaan yang ada sebagai dasar konflik,seperti seorang ibu yang curiga anaknya belajar kejahtan setelah diintip ternyata mereka belajar ihwal kebaikan; kecurigaan akan istri mandul, ternyata suami yang tidak mampu menghamili. Kecurigaan-kecurigaan menjadi dasar penyusunan konflik, dan pembuktian terbalik menjadi ending cerita yang menarik. Cerpen dalam antologi ini enak dibaca karena disajikan dengan bahasa populer.

Kumpulan cerpen Nglekadang Meme (Melahirkan Ibu) karya Komang Berata memuat sebelas cerita yang dilukiskan dalam suasana-suasana perdesaan (rural community). Kisahnya dilukiskan terjadi lingkungan keluarga dan juga masyarakat perdesaan, menampilkan konflik keluarga dan konflik sosial sesuai tema cerita. Cerpen “Mulih” (Pulang) dan “Nglekadang Meme” adalah dua contoh cerita yang dilukiskan terjadi di lilngkungan keluarga, sedangkan cerpen “Kulkul Bulus” (Kentongan Bertalu), melukiskan warga desa menyerang warga pendatang yang tidak mau menghormati masyarakat setempat. Cerpen ini merupakan sindiran atas kejadian pengucilan atas penduduk yang tidak patuh pada aturan sosial di perdesaan di Bali. Dalam cerpen ini, penyerangan publik atas seseorang dengan segera ditangani oleh polisi, sebuah kisah naratif yang berpesan untuk mencegah publik main hakim sendiri.

Cerpen-cerpen dalam kumpulan ini menyajikan tema yang menarik, tersusun dalam alur campuran antara linier dan flashback, dan uniknya lagi adalah ada satu tokoh cerita, Wayahan Supat namanya, yang muncul sebagai tokoh utama dalam semau cerpen, padahal tidak ada relasi naratif antara satu cerita dan yang lainnya.

Khusus untuk cerpen “Nglekadang Meme” yang menjadi judul antologi ini, memang terasa aneh. Biasanya Ibu yang melahirkan anak, kini ceritanya anak ‘melahirkan ibu’. Cerpen ini mengisahkan permintaan seorang ibu kepada anaknya (Wayahan Supat) yang biasa mengarang agar menulis cerita tentang sang ibu. Selama ini, Wayahan menulis cerita tentang orang lain, makanya ibunya meminta agar dia menulis cerita tentang ibunya? Permintaan ibu itu terasa gampang, tetapi sulit bagi Wayahan menuangkan cerita tentang ibunya. Sampai cerita berakhir, hal itu tidak terjadi juga.

Tema cerita itu dna yang lainnya tampil orisinal, gaya bahasanya kreatif, dengan kaya melukiskan latar alam dan budaya cerita. Deskripsi cerita banyak diselingi dengan perumpamaan atau pepatah dalam bahasa Bali yang sudah jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari (misalnya: cara nglalab batu bulitan; seperti merebus batu hitam) sehingga karya ini seperti menghidupkannya lagi. Diperlukan perhatian yang sangat fokus untuk memahami narasi dengan gaya bahasa yang simbolik, rada halus, kadang berat yang merupakan ciri khas gaya bahasa Bali Timur.

Secara umum, semua karya yang terbit memiliki kelebihan dan kekurangan. Meski demikian, semuanya memberikan semangat baru yang dapat menjaga api optimisme akan masa depan sastra Bali modern. Ke depan, astungkara, persaingan antar-karya juga akan meningkat dan lebih ketat.***

I Nyoman Darma Putra, juri Hadiah Sastra Rancage sejak 2000-sekarang