Beruntung bisa jumpa I Gusti Ngurah Windia, maestro topeng Tugek Carangsari, Badung Utara, Bali. Saya bertemu beliau di purinya di Carangsari, ketika Prodi S-2 dan S-3 Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana melaksanakan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat di Sanggar Seni Topeng Tugek Carangsari, Minggu, 15 Maret 2020 (https://www.youtube.com/watch?v=Mg73KwMVv5A&list=UUzWyCJ_dF_pXoNeSU1t761w)
Tulisan kenangan ini menggambarkan kehebatan Ngurah Windia sebagai penari topeng Tugek Carangsari, dan pengalamannya pentas di Bali hingga luar negeri (salah satu video Rekaman Pentas Tugek Carangsari).
Masih Sehat
Ketika jumpa Minggu itu, Ngurah Windia masih tampak sehat. Senyumnya berwibawa, mencerminkan beliau adalah penari yang ber-taksu, berkharisma seni tinggi.
Dalam usia 75 tahun, Ngurah Windia yang tampak jauh muda daripada angka usianya, ternyata masih tetap bisa masaloh (menari). Beliau mulai menarik topeng tahun 1966, mulai tahun 1969 terkenal ke seluruh Bali. Tahun 1970-an dan 1980an, beliau adalah seniman topeng paling laris di Bali. Makanya cocok disebut maestro seni pertunjukan topeng.
Kehebatan Ngurah Windia terletak pada kemampuannya menari, matembang, dan segala ucap-ucap dalam seni pertunjukan topeng. Yang juga membuat belilau hebat adalah kreativitas dan kejenakaannya. Kisah, nasehat, dan hiburan pementasan beliau sungguh sempurna, memuaskan penonton.
Sajian Topeng Tugek Carangsari sungguh inovatif, orisinal, dan segar. Generasi muda-mudi tahun 1970-an dan 1980-an, sebagian besar mengenal Topeng Carangsari. Kasetnya beredar luas, laris, dan tak pernah membosankan. Lelucon penuh ejekan, kedunguan, kecerdikan, dan juga nilai-nilai tinggi yang mengundang decak kagum.
Trend Setter
Dalam topeng prembon (memakai lakon) yang beliau pentaskan, penonton terpukau sejak awal sampai akhir. Beliau berhasil menciptakan alur dan adegan cerita yang kemudian ditiru banyak seniman. Beliau menjadi trend setter untuk tokoh dan plot pertunjukan prembon.
Tiga tokoh ciptaan beliau yang tampil memukau dari aspek hiburan adalah: Si Gigi Sumbing, Si Tuli, dan Cewek Tugek (makanya Topeng beliau disebut Topeng Tugek).
Ketiga tokoh itu selalu hadir mewakili warga biasa dalam struktur kerasajaan atau kekuasaan. Si Gigi Sumbing selalu tampil sombong seperti tahu segala. Karena kesombongannay itu, segala ucapannya terasa lucu. Si Tuli menjadi lucu karena dalam dialog, jawabannya nyaplir (salah) selalu, tanya A jawabannya B. Sedangkan tokoh Tugek menjadi memikat karena cewek tak cantik namun terlalu percaya diri. Tugek menjuluki dirinya sebagai Ibu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga), jabatan aneh karena dungunya bukan main.
Sampai sekarang, banyak seni pertunjukan penari topeng meniru karakter seperti itu, yang diciptakan Ngurah Windia sejak tahun akhir 1960-an, lebih lima dekade lalu. Sementara itu, Tugek Carangsari masih eksis. Hanya saja, penari partnernya untuk peran punta dan kartala (keduanya punakawan) dan penari lainnya sudah dipanggil Yang Maha Kuasa.
Ngurah Windia masih lanjut pentas, mencoba merekrut punakawan baru, walau tidak sehebat yang dulu. “Undangan pentas tetap saja ada. Entah untuk topengnya, pengiring upacara. Atau Prembon, lengkap dengan hiburannya,” ujar Ngurah Windia, saat bertemu Minggu itu.
Pada masa jayanya tahun 1970-an dan 1980-an, permintaan pentas beliau bertumpuk dan sulitnya luar bisa mengundang beliau pentas karena jadwal penuh. Untuk mengundangnya, harus booking jauh bulan sebelumnya.
Pentas Topeng Tugek Carangsari selalu ramai. Kaset rekaman beliau beredar luas, lucunya luar biasa, tetapi pementasan live beliau, selalu memukau. Taksunya luar biasa.
Penyuluh Pembangunan
Topeng Tugek Carangsari tampil dalam tiga ranah pentas. Pertama, untuk kegiatan upacara. Kedua, untuk hiburan. Ketiga, untuk sosialisasi program pembangunan pemerintah. Semua jenis pertunjukan itu sama-sama hebat, mengandung nasehat, ajaran moral, nilai, dan unsur hiburan yang paripurna.
Ngurah Windia banayk diorder instansi pemerintah untuk sosialisasi program pembangunan pemerintah. Kelompok topengnya pernah dikontrak oleh Kanwil Kehakiman untuk sosialisasi keluarga sadar hukum (kadarkum), juga untuk sosialisasi program KB.
Pernah katanya ada satu desa di Bali ayng menolak program KB. Ada salah paham antara penyuluh instansi dan masyarakat. Masyarakat menganggap program KB itu menimbulan persoalan, misalnya menyebabkan ibu-ibu perdarahan. Makanya masyarakat menolak.
Lalu, instansi dengan tupoksi sosialisasi KB, mengundang Tugek Carangsari untuk memberikan penyuluhan dengan pentas yang menghibur. Sebelum pentas, Ngurah Windia melakukan dua pendalaman. Pertama, berbicara dengan perawat yg menjadi ujung tombak program KB. Kedua, mendalami apa dan bagaimana KB itu serta alat-alat kontrasepsi.
Setelah mendapat bahan, Ngurah Windia tampil dengan percaya diri. Dalam pentas topeng, beliau menyisipkan progrma KB yang banar, bahwa KB bukan melarang keluarga punya anak, tapi agar ‘bapak-ibu’ sabar untuk berhubungan.
“Perdarahan cenderung terjadi karena spiral ayng baru dipasang belum mantap, sudah ditusuk-tusuk, kan pasti bermasalah,” ujar Ngurah Windia.
Setelah pentas itu, sambutan masyarakat yang semual negatif, menjadi positif tentang KB. “Saya berprinsip, seni tetap seni, nilai dan anjuran bisa disampaikan, asal dibungkus dengan cerita dan simbol. jangan sampai menjadi seni propaganda mentah,” tuturnya.
Pentas Luar Negeri
Ngurah Windia tak hanya tampil di Bali dan beberapa kota di Indonesia luar Bali ( Wawancara Pentas Ke Luar Negeri ), tetapi juga di luar negeri, alias keliling dunia. Beliau pernah pentas ke Jerman tepatnya di Kota Muncen, diundang oleh Ibnu Sutowo dalam acara penutupan sidang OPEC.
Beliau juga pernah ke Amerika (dua kali) untuk mengajar seni pertunjukan di sebuah universitas di sana. Awalnya adalah karena ada profesor dari Amerika yang belajar topeng pada beliau, lalu profesor itu mengundang Ngurah Windia mengajar ke Amerika.
Selain itu, beliau pernah tampil di India dan Itali. Ketika di Itali, dia pentas keliling seperti di Roma dan Venesia, kota air yang menjadi destinasi wisata tersohor dunia. “Kami pentas di Venesia. Jalan-jalan ke gereja di sana,” kenang I Gusti Ngurah Windia.
Lewat seni pertunjukan, nama Bali pernah beliau harumkan di mata dunia (Darma Putra).