Kliping Kompas on-line, Minggu 19 Oktober 2003.
Kliping Kompas on-line, Minggu 19 Oktober 2003.

Oleh I Nyoman Darma Putra

PROF I Gusti Ngurah Bagus, salah satu intelektual Bali yang penuh semangat, tak pernah puas, dan selalu menggugat, telah dipanggil Yang Mahakuasa, Kamis, 16 Oktober 2003 sore. Sudah sejak lama dia menderita komplikasi liver-diabetes, namun semangat intelektualnya yang tak pernah redup sampai akhir hayatnya seperti menutupi derita yang dialami tahun-tahun terakhir sehingga kepergiannya terasa sebagai sebuah ketiba-tibaan. Bali berduka!

Selain keluarga yang ditinggalkan, duka cita juga bergema di almamaternya, Universitas Udayana, di kalangan mahasiswa program master dan doktor yang tengah dibimbingnya menulis tesis atau disertasi, serta di kalangan sarjana asing yang bergerak di bidang Balinese Studies (Kajian Bali). Selain pemikiran-pemikirannya yang radikal tentang kebudayaan, Ngurah Bagus akan dikenang atas jasanya karena berhasil untuk pertama kalinya di Indonesia membangun program studi Kajian Budaya (Cultural Studies) untuk jenjang master (1996) dan doktor (2001).

Prof. IGN Bagus lukisan Polenk Rediasa.

Kajian Budaya yang menerima mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia inilah yang menjadi monumen akademik paling penting yang pernah didirikan Ngurah Bagus.

Perjalanan panjang

Program Kajian Budaya yang multidisipliner yang dilahirkannya merupakan hasil perjalanan panjang karier keilmuan Ngurah Bagus. Setelah tamat SMA II Yogyakarta, Ngurah Bagus yang lahir 12 Juli 1933 dari keluarga puri (ningrat) di sisi utara Kota Denpasar melanjutkan ke Jurusan Sastra Timur Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (1953). Dari sana dia melanjutkan ke Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1959). Setelah belajar sastra di tingkat sarjana, Ngurah Bagus mempelajari ilmu bahasa di program pascasarjana Jurusan Linguistik Umum dan Nusantara di Universitas Leiden (Belanda). Dari jurusan bahasa, dia putar haluan untuk mendalami kebudayaan dengan menempuh program doktor di Jurusan Antropologi Universitas Indonesia (1979).

Kalau pada akhirnya Ngurah Bagus dikenal sebagai guru besar antropologi, kompetensinya di bidang sastra dan linguistik ikut memperkokoh sosoknya sebagai intelektual multidisiplin.

Beragam ilmu yang dikuasainya membuat Ngurah Bagus menjadi intelektual yang sensitif terhadap fenomena yang berkembang, khususnya dalam kebudayaan dan masyarakat Bali. Salah satu penelitian pentingnya yang sangat maju (dalam arti orang lain belum memikirkannya ketika itu) adalah mengenai dampak pariwisata terhadap kebudayaan Bali. Studi Bali dalam Sentuhan Pariwisata ini dikerjakan awal tahun 1970-an bersama sarjana Amerika, Philip McKean, yang membahas gejala hippies yang berkembang di arena global dan merasuk ke Bali lewat pariwisata waktu itu.

Kalau kemudian pemerintah Orde Baru dan masyarakat umum berbicara tentang dampak negatif pariwisata terhadap jati diri masyarakat, Ngurah Bagus sudah jauh era mengkhawatirkannya. Salah satu kesimpulannya waktu itu adalah daripada menolak pengaruh luar, Bali sebaiknya dengan sadar memperkokoh kebudayaannya. Makanya, siapa pun kini meneliti dampak pariwisata Bali, tidak bisa mengabaikan penelitian Ngurah Bagus dan kawan-kawan tiga dekade lalu itu.

Dengan kepustakaan dan materi riset yang relatif lengkap, Ngurah Bagus bisa menemukan banyak informasi yang penting bagi dunia keilmuan. Di bidang sosial politik, Ngurah Bagus telah mengangkat peranan pemuda pejuang dalam revolusi Indonesia tahun 1940-an dan 1950-an, seperti ditulis dalam buku suntingan Hildred Geertz, State and Society in Bali, Historical, Textual and Antrophological Approaches (1991).

Di bidang sastra Indonesia modern yang berkembang di Bali, Ngurah Bagus-lah yang pertama kali menemukan drama berbahasa Melayu berjudul Kesetiaan Perempuan yang ditulis sastrawan Bali (anonim) tahun 1927, seperti bisa dibaca lewat kajiannya dalam buku suntingan Adrian Vickers, Being Modern in Bali, Image and Change (1996). Tulisan ini merangsang penelitian lebih lanjut tentang peran Bali dalam pertumbuhan sastra Indonesia dalam konteks kebangkitan nasionalisme, khususnya menjelang diangkatnya bahasa Melayu sebagai bahasa bangsa dalam Sumpah Pemuda 1928.

Dalam sepuluh tahun terakhir, Ngurah Bagus juga melirik dunia seni pertunjukan dan seni lukis. Tulisan-tulisan dan komentarnya di kedua bidang ini membuat kuping seniman-seniman di Bali merah sekaligus bergairah. Ngurah Bagus mengkritik keras Pesta Kesenian Bali (acara pesta seni kolosal Bali tahunan sejak 1979) sebagai “jalan di tempat, tanpa lompatan estetis berarti”.

Ngurah Bagus bukan saja peneliti dan pemikir, melainkan juga pembina. Dalam kapasitasnya sebagai dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana (Unud) dan Kepala Balai Penelitian Bahasa (dan Sastra) sejak akhir tahun 1960-an hingga pertengahan tahun 1980-an, Ngurah Bagus dengan sadar betul membina perkembangan sastra Bali modern. Kekagumannya melihat perkembangan sastra Jawa (modern) dan sastra Sunda mendorong Ngurah Bagus untuk meneliti perkembangan sastra Bali modern yang sudah berbenih sejak tahun 1910-an, namun hidup “bagai kerakap tumbuh di batu”.

Ngurah Bagus memacu kehidupan sastra Bali modern dengan mengadakan berbagai perlombaan dan pembentukan kelompok pengarang (Sabha Sastra Bali). Hasilnya, tak hanya bahasa Bali hidup terus dalam bentuk tulisan, tetapi juga khazanah sastra Bali modern kian subur dan menjadi dokumen estetik masyarakat Bali yang berisi respons mereka terhadap perubahan sosial. Di era otonomi daerah di mana muatan lokal menjadi kebutuhan, khazanah sastra Bali modern telah menyiapkan diri untuk kepentingan dunia pendidikan.

Jasa Ngurah Bagus dalam membina sastra Bali modern dengan komitmen tinggi membuat Ketua Yayasan Rancage, Ajip Rosidi, untuk menganugerahi Ngurah Bagus Hariah Sastra Rancage tahun 1999. Tanpa sentuhan Ngurah Bagus, kehidupan sastra Bali modern pastilah jauh tenggelam dibandingkan dengan sastra Bali klasik/tradisional yang terus berkibar di era modern ini.

Minat-minatnya dalam berbagai bidang ilmu dan pembinaan menjadi landasan bagi Ngurah Bagus untuk mengembangkan Kajian Budaya, program studi yang pertama tumbuh di Inggris tahun 1960-an dan populer di seluruh dunia dalam dekade terakhir ini dengan berbagai mazhabnya.

Yang juga mempercepat proses Ngurah Bagus untuk mewujudkan Program Kajian Budaya di Unud adalah intensifnya dialog keilmuan Ngurah Bagus dengan sarjana luar negeri yang menunjukkan minat di bidang antropologi dan kajian budaya, seperti Mark Hobart dari School of Oriental and African Studies (SOAS) London, Carol Warren dan Adrian Vickers (Australia), serta Hildreet Geertz (Amerika).

Dialog dengan sekian banyak sarjana asing yang datang ke Bali lewat program penelitian menambah keyakinan Ngurah Bagus untuk membuka Kajian Budaya di Universitas Udayana. Sosok dirinya yang multidisipliner dan semangat keilmuannya yang cenderung dekonstruktif menjadi ikon khas Kajian Budaya yang dibangunnya.

“The father of Balinese Studies”

Sejak lama Ngurah Bagus menjadi pintu masuk bagi calon doktor luar negeri yang hendak menjadikan Bali dengan segala aspek kehidupannya sebagai fokus riset dan studi. Dia tidak saja menjadi sponsor visa riset, tetapi juga menjadi kamus untuk kebudayaan Bali bagi peneliti asing. Perannya sebagai kamus kebudayaan Bali itu telah membuat seorang sarjana Belanda, Henk Schulte-Nordholt, menjulukinya sebagai “the father of Balinese Studies”. Menurut Henk, yang menjadi “the mother” adalah antropolog Amerika, Prof Hildred Geertz.

Sebagai tanda terima kasih atas peran Ngurah Bagus dalam studi kebudayaan Bali, pada tahun 2000 para sarjana asing menerbitkan buku kumpulan karangan To Change Bali, Essays in Honour of I Gusti Ngurah Bagus, disunting Prof Dr Adrian Vickers dkk, dari University of Wollongong, Australia. Dalam buku inilah predikat Ngurah Bagus sebagai “the father of Balinese Studies” terpatri yang kelak akan dikenang terus.

Kompetensi keilmuannya di bidang sastra, bahasa, budaya, agama, dan sosial telah membuat Ngurah Bagus kerap ditunjuk sebagai penguji disertasi mahasiswa program doktor di dalam dan luar negeri. Awal tahun 2003 ini, misalnya, Ngurah Bagus diundang ke Belanda untuk menjadi anggota penguji Maya HT Liem yang menulis disertasi berjudul The Turning Wheel of Time, Modernity and Writing Identity in Bali 1900-1970. Undangan ini membanggakan hati Ngurah Bagus karena memberikannya kesempatan untuk melakukan ziarah ke Leiden, kota tempatnya pernah menuntut ilmu.

Di sela-sela acara menjadi anggota penguji, Ngurah Bagus pun didaulat untuk memberikan ceramah tentang kondisi Bali pascatragedi bom di hadapan sarjana penekun studi Bali dan Indonesia pada umumnya. Bagi Ngurah Bagus, proses reformasi dan peledakan bom 12 Oktober 2002 merupakan alasan dan landasan bagi orang Bali untuk mengoreksi diri sebagai orang-orang yang kurang tertarik pada politik menjadi lebih politically active and strategic. Dalam konteks kebudayaan, seperti sering dikatakan dalam tulisan dan seminar-seminar, Ngurah Bagus mendesak agar Bali jangan “hanya menjadi tontonan”.

Pandangan-pandangan Ngurah Bagus tentang kebudayaan dan masyarakat Bali memang tampak sesuai dengan spirit cultural studies yang dikembangkan. Dalam kajian budaya, Ngurah Bagus sepemikiran dengan koleganya, Mark Hobart, bahwa tugas sarjana tidak saja menjelaskan bagaimana kebudayaan dan media bekerja, tetapi lewat “analisis intervensi” (intervention analisys), dia juga harus mengubah pemikiran orang. Dengan kata lain, menjadi orang menjadi more active subject.

Ngurah Bagus memiliki negative capability dan lewat kegelisahan itu dia menggugat berbagai pemahaman yang semu dan mapan tentang agama, tradisi, sastra, dan seni dalam konteks masyarakat Bali.

Kegarangan Ngurah Bagus dalam menolak pemikiran orang lain dan menyampaikan gagasannya sendiri membuat orang lain enggan mendekatinya atau mengikuti konsep-konsepnya. Satu kendala yang sering dikeluhkan orang tentang Ngurah Bagus adalah karena ketidakberhasilan Ngurah Bagus mengartikulasikan pemikirannya dengan lugas. Ide-ide Ngurah Bagus yang kompleks selalu disampaikan secara kompleks juga. Ngurah Bagus banyak menulis karangan, tetapi karena tersebar dan merupakan kajian-kajian awal, jalan pemikirannya tidak mudah dirunut.

Seperti pernah dikatakan Teeuw, Ngurah Bagus memang seorang petualang, dalam arti mengepakkan sayap pemikirannya untuk menjelajahi berbagai ilmu dan aneka disiplin, mulai dari sastra, agama, budaya, sosial, seni, dan terakhir juga politik. Salah satu cita-citanya sebelum dipanggil Yang Mahakuasa, seperti disampaikan kepada Bali Post (8 Juni 2003), adalah membukukan karya-karyanya mengenai antropologi, linguistik, sastra, agama, dan kajian budaya. Konsep grand theory tentang kajian budaya sedang diperam terus, tetapi sayang belum sempat dituangkan dalam bentuk tulisan sampai akhir hayatnya.

Sisi lain kehidupan Ngurah Bagus yang unik terlihat pada saat dia maju menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) utusan daerah di era reformasi. Jabatan ini seperti menjadi hadiah baginya yang ikut berdemonstrasi di tengah-tengah massa dan mahasiswa di Bali saat menjatuhkan Orde Baru. Dia tidak pernah merasa cukup untuk berjuang di kancah akademik.

Setelah pensiun dalam usia 70 tahun, per 31 Juli 2003, sebagai Guru Besar Universitas Udayana, Ngurah Bagus masih ingin mengabdikan dirinya kepada masyarakat dan bangsa. Dia pun mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan siap bertarung dalam Pemilihan Umum 2004. Pencalonannya menjadi DPD sudah lolos verifikasi KPU, namun perjuangan itu kini terhenti setelah keberangkatannya ke alam sana. Selamat jalan Prof Ngurah Bagus! Bali akan mengenangmu sebagai pemikir yang penuh vitalitas.

I Nyoman Darma Putra Dosen Jurusan Sastra Indonesia Universitas Udayana