Ini adalah foto-foto demonstrasi civitas akademika Universitas Udayana yang melakukan demonstrasi damai ke Pengadilan (PN) Denpasar, Senin, 27 April. Unjuk rasa besar-besaran itu berkaitan dengan eksekusi tanah milik Unud dalam perkara yang diputus Mahkamah Agung yang luasnya 2,7 hektar di kawasan Kampus Bukit, Jimbaran.
Demo yang dimpimpin langsung oleh Rektor Unud Prof Suastika itu diikuti pembantu rektor, dosen, mahasiswa, pegawai, dan beberapa alumni. Mereka berkumpul mulai pk. 08.00 di kampus Sudirman, kemudian sekitar pk. 09.00 berjalan menuju Pengadilan Denpasar di Jl Sudirman, arah utara sekitar 500 meter.
Sekitar 2500 peserta demo berjalan damai, dan melakukan orasi di depan Pengadilan. Polisi membuat pagar betis menjaga agar demonstran tidak masuk ke Pengadilan. Mobil pengamanan polisi berjaga agak di utara, siaga mengamankan jika terjadi yang tidak diinginkan.
Dalam demo itu Rektor dan orator lain memohon dan mendesak PN agar menunda eksekusi tanah negara itu, karena Unud hendak mengajukan peninjauan kembali. Sebelumnya, sudah pernah terjadi rencana eksekusi di Bukit, namun karena mahasiswa demo eksekusi dibatalkan, dan akhirnya dilaksanakan Senin, 27 April 2015.
Dalam surat panitera PN Denpasar, untuk pelaksanaan eksekusi, Rektor diminta berkumpul di PN Denpasar, tapi ketika Rektor dan demonstran datang, petugas eksekusi malahan pergi ke Bukit melakukan eksekusi. Dalam orasinya, mahasiswa mengkritik PN dan menyindir “Pengadilan Negeri” menjadi “Pembohongan Negeri”.
Demo berjalan damai, sekitar pk. 11.45, warga yang demonstarsi kembali tertib ke Unud. Sulit bagi mereka menerima bagaimana tanah milik Unud yang notebene merupakan tanah negara yang sudah dibebaskan dan mendapat sertifikat awal 1980-an lalu bisa digugat oleh masyarakat yang dulu merasa memiliki secara turun-temurun.
Unud mulai pindah ke Unud awal 1980-an sebagai perluasan areal kampus yang relatif sempit di Jl Sudirman Denpasar. Pembebasan tanah mengalami berbagai kerumitan dan sampai ada bagian-bagian tanah yang diperkarakan, seperti yang 2,7 ha ini, yang terletak dekat pompa bensin Unud.
Ketika Unud memilih Bukit untuk perluasan kampus tiga dekade lalu, tanah gersang di sana sangat murah. Waktu itu, harga tanah per are sekitar Rp 50,000, namun kini sudah mencapai Rp 1 milyar, berkat berbagai perkembangan termasuk pariwisata. Tidak mengherankan, upaya menggugat barang bernilai itu terjadi dan terjadi.
Dalam proses hukum sudah lumrah diketahui permainan uang untuk menang, sementara Unud sebagai lembaga pemerintah tidak mempunyai alokasi dana untuk beracara apalagi menyogok makelar kasus.
Kekalahan Unud dalam perkara sampai harus melepas tanah memprihatinkan. Pihak pemerintah daerah, DPR, dan pemerintah Pusat yang terkait mesti menjadikan kasus Unud kehilangan tanah negara agar tidak terjadi lagi dan tidak terjadi untuk tanah negara milik institusi lain (Teks dan Foto; Darma Putra).