Setelah menerbitkan antologi puisi “Dendang Denpasar Nyiur Sanur” (2012) dan puisi bertema Denpasar yg berbahasa Bali “Denpasar lan Don Pasar” (2013), kami berkeinginan untuk menerbitkan cerpen dengan tema atau latar Denpasar. Cerpen ditulis dalam bahasa Indonesia.
Ide untuk menerbitkan kumpulan cerpen dengan tema dan latar Denpasar juga muncul setelah kami menemukan beberapa arsip cerpen Denpasar di media massa tempo doeloe, seperti “Kisah di Jembatan Badung” (majalah Damai, 1 Juli 1954) atau cerpen “Denpasar Kota Persimpangan” (Damai, 1 April 1955).Kedua cerpen ini dikisahkan terjadi di Denpasar. Darinya, pembaca tak hanya bisa mendapatkan pengalaman hidup tokohnya yang dialaminya di Denpasar tetapi juga deskripsi dan narasi tentang Denpasar saat cerpen ditulis, 1950-an.
Karya-karya tersebut telah menjadi semacam heritage sehingga pantas dijaga dan disebarkan untuk dinikmati secara luas dengan cara menerbitkannya kembali.
Sementara terus mencari cerpen-cerpen Denpasar tempo doeloe yang mungkin pernah terbit di koran-koran lama lainnya, kami mengundang Anda untuk menulis cerpen dengan tema atau latar Denpasar untuk kami terbitkan bersama cerpen-cerpen heritage Denpasar yang sudah ada itu.
Menurut rencana, dicari 20 cerpen tentang Denpasar, baik cerpen yang baru atau yang sudah pernah terbit di media massa atau antologi lain.Kirimlah cerpen dan CV ringkas Anda (sekitar 5 kalimat) ke email idarmaputra@yahoo.com Batas waktu1 Juli 2014. Rencananya buku terbit 1 November 2014. Sponsor untuk biaya cetak dan honorarium penulis sedang diusahakan ke Pemkot Denpasar.
Seperti apakah cerpen dengan tema dan latar Denpasar yang diharapkan?
Sebagai gambaran, cerpen dengan tema dan latar Denpasar yang diharapkan adalah kisah yang membuat pembacanya mengetahui sesuatu tentang Denpasar atau merasakan bahwa cerita itu terjadi atau mengenai kehidupan di Denpasar. Kalau ketentuan ini kurang begitu terang, ilustrasi berikut semoga dapat menjelaskan.
Ingatkah Anda pada cerpen ‘Seribu Kunang-kunang di Manhattan” karya Umar Kayam, atau cerpen “Jakarta Sunyi Sekali di Malam Hari” karya Jujur Prananto (Cerpen pilihan Kompas 2001, pp.13-24), atau cerpen Faisal Baraas “Sanur tetap Ramai” (majalah Varia, 1970)? Cerpen-cerpen tersebut mengisahkan pengalaman hidup tokohnya di kota-kota yang menjadi latarnya. Cerpen-cerpen itu juga berisi narasi dan deskripsi kota yang menjadi latarnya. Kebetulan nama kotanya disebutkan sejak di judul sehingga menambah kuat kisah itu tentang kota itu.
Contoh lain, yang berbahasa Bali, adalah cerpen klasik-menarik berjudul “Ketemu ring Tampaksiring” (Bertemu di Tampaksiring) karya Made Sanggra. Cerpen ini mengisahkan pertemuan dua bersaudara yang ayahnya adalah bekas aparat kolonial Belanda, sedangkan ibunya orang Bali. Anak perempuan berjualan di art shop di Tampaksiring, anak laki-lakinya menjadi wartawan di Belanda yang menginap di Istana Tampaksiring dalam rangka meliput kunjungan Ratu Juliana. Alam, orang, dan suasana desa atau objek wisata atau Istana Tampaksiring tertangkap apik di balik kisah ini.
Namun, nama kota yang dilukiskan tidak mesti muncul di judul karena yang penting adalah narasi dan problematik dalam isi. Cerpen “Dua Wajah Ibu”karya Guntur Alam (Cerpen pilihan Kompas 2012, pp. 130-37) yang mengisahkan kehidupan kelas bawah di Jakarta yang miskin, tinggal di rumah sempit, mirip comberan, dan cari air bersih saja sulit.
Begitulah kurang lebih cerpen Denpasar yang diharapkan.
– I Nyoman Darma Putra