Bali Tribune, Selasa, 7 Februari 2012, p. 1
Bali pulau kecil. Hampir tak punya identitas geografis karena hanya tergambar sebagai noktah dalam peta dunia. Meski kecil, pulau ini banyak dikunjungi turis dan peneliti mancanegara khususnya Baliologist (peneliti tentang Bali)
Jauh sebelum turis datang ke Bali, Pulau Dewata sudah dikunjungi para peneliti, seperti antropolog, musikologis, fotografer, pembuat film, ahli bahasa dan sastra, serta sejarawan. Mereka meneliti adat, sosial, dan budaya Bali, lalu mempublikasikan karyanya sehingga Bali kian dikenal warga dunia.
Tahun 1937, misalnya, seniman dan antropolog Mexico, Miguel Covarrubias menerbitkan buku Island of Bali, yang menjadi rujukan banyak mahasiswa dan turis yang ingin mengenal Bali.
Popularitas Bali dari publikasi itulah yang kemudian mendorong turis mancanegara terus berdatangan ke Bali. Kepada para peneliti, Bali berutang budi.
Jumlah turis yang datang ke Bali dalam setahun sudah melampaui 2,5 juta tahun lalu. Turisterus berdatangan. demikian juga halnya dengan peneliti, walau tentu saja jumlahnya sangat sedikit dibandingkan turis.
Ada saja topik tentang Bali yang ditelusuri para peneliti, mulai dari seni pertunjukan, agama, adat, budaya, politik, pariwisata, terorisme, bahasa, pertanian, subak, dan sekian banyak lagi. Bali adalah salah satu pulau kecil di dunia yang sangat banyak diteliti para sarjana.
Sudah ratusan buku dan ribuan artikel tentang Bali beredar di dunia. Beberapa, seperti karya Clifford dan Hildreed Geertz berhasil menjadi dasar penyusunan teori antropologi. Teori deskripsi tebal (thick description) dalam studi etnografi Geertz dan Geertz antara lain dikembangkan dari studinya di Bali, misalnya kajiannya tentang sabung ayam.
Buku Adrian Vickers, Bali A Paradise Created (Periplus 1989), merupakan buku bacaan untuk baik turis maupun mahasiswa perguruan tinggi di berbagai universitas dunia yang menawarkan kuliah Kajian Asia atau proses perkembangan pariwisata. Buku ini sudah mengalami cetak ulang dan diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk Jepang, Jerman, dan Belanda. Bali mendapat promosi gratis yang abadi lewat buku-buku seperti ini.
Yang datang ke Bali tidak saja penulis ilmiah, yang menerbitkan buku untuk kalangan perguruan tinggi. Ada juga penulis fiksi, yang mengarang novel lewat mana Bali juga bisa mendapat promosi. Tahun 2004 lalu, penulis Amerika Elizabeth Gilbert datang ke Bali, lalu menulis novel Eat Pray Love (2006).
Novel ini mengisahkan perjalanan pengarangnya untuk mencari kedamaian hidup ke tiga destinasi, yaitu ke Italia, India, dan Bali. Di Italia dia memuaskan hati untuk makan (eat), di India dia menekuni yoga (pray) untuk menenangkan jiwa, dan di Bali dia bercinta (love) untuk merasakan kenikmatan hidup.
Di luar dugaan, novel ini menjadi best seller, dan kemudian difilmkan produser Hollywood. Lewat novel dan filmnya, Bali menjadi populer sekali. Betapa tidak, sosok paranormal (pengobat) I Ketut Liyer dalam film itu sungguh menarik, membuat orang tertarik datang ke Bali, misalnya untuk meramalkan nasibnya.
Kalau kini jumlah turis terus meningkat ke Bali, salah stau penyebabnya adalah novel dan film Eat Pray Love itu. Di luar novel ini, banyak karya seni lainnya baik berupa film, artikel, foto. Semuanya secara serentak menjadi media promosi Bali.
Walaupun di media massa begitu banyak berita negatif tentang Bali seperti sampah menumpuk di pantai kuta, lalu lintas macet, dan kriminalitas, nyatanya wisatawan asing tetap mengalir ke Bali. Selain karena taksu Bali, juga karena kuatnya promosi positif dan mendalam tentang Bali lewat buku, film, dan karya intelektual lainnya yang menelusup ke berbagai pelosok dunia dan nurani warga dunia.
Walaupun tidak mantap sekali, kalangan sarjana atau peneliti dunia yang meneliti Bali (Baliologist) memiliki perhimpunan yang menjadi arena buat mereka untuk berbagi isu-isu penelitian mutakhir. Mereka tergabung dalam apa yang dulu disebut Society fo Balinese Studies (SBS), semula dirintis oleh AAM Djelantik, Prof Suryani, Prof Ngurha Bagus, Dr. David Stuart Fox (Belanda).
Beberapa kali kalangan Baliologist menggelar konferensi internasional, untuk sharing hasil penelitian mereka tentang Bali. Mereka pernah berseminar di Leiden, Amerika, Asutralia, dan di Bali sendiri.
Dari seminar di Amerika, misalnya, terbit buku Being Modern in Bali (1996) disunting oleh Adrian Vickers, seminar Sydney menghasilkan buku Staying local in the global village: Bali in the twentieth century (1999) suntingan Linda Connor dan Raechelle Rubinstein, sedangkan seminar Bali tahun 2000 menghasilkan buku To Change Bali suntingan Adrian Vickers dan I Nyoman Darma Putra (bersama Michelle Ford).
Tahun 2012 ini, Baliologist, bersepakat untuk mengadakan konferensi internasional di Bali, 16-18 Juli 2012, di Unud, Denpasar, bertepatan dengan perayaan 50 tahun Universitas Udayana.
Budayawan Goenawan Mohamad dan Gubernur Bali Made Mangku Pastika akan tampil sebagai pembicara kunci (keynote speaker) dalam konferensi internasional bertema “Bali in Global Asia, Between Modernization and Heritage Formation”.
Konferensi ini digagas oleh Prof. Henk Schulte Nordholt (KITLV), Prof Ardika dan Prof Darma Putra (Unud), dan Prof. Brigitta Hauser-Schaublin (University of Göttingen).
Konferensi diperkirakan diikuti 150 sarjana luar dan dalam negeri. Panitia internasional yang dipimpin Prof. Schulte Nordholt tengah tengah menyeleksi abstrak makalah yang dikirim para peminat. Panitia menerima 140 abstrak makalah dari kemungkinan 96 bisa ditampung dalam seminar dua hari. Calon pembicara seminar ini datang dari seluruh dunia seperti Jerman, Jepang, Belanda, Amerika, Australia, dan Paris.
Konferensi direncanakan dimeriahkan dengan pemutaran untuk publik film dokumenter “Healing of Bali” karya John Darling (almarhum). Film ini diangkat dari tragedi bom Bali Oktober 2002, dan pemutarannya bertepatan dengan satu dekade insiden tersebut.
Konferensi Bali kali ini juga diharapkan bisa menghasilkan beberapa publikasi yang akan menjadi kontribusi penting dalam studi Bali pada khususnya dan studi sosial budaya pada umumnya. Buku dan publikasi tersebut akan menjadi promosi Bali pada warga dunia lewat jalur pendidikan.
Seperti halnya para peneliti berutang budi pada Bali karena menyediakan diri sebagai objek riset yang menarik, Bali pun berutang budi pada para peneliti karena melalui karya tulis mereka, Bali kian populer.***
I Nyoman Darma Putra, dosen Fakultas Sastra Unud, Ketua Panitia Konferensi Internasional ‘Bali in Global Asia: Between Modrnization and Heritage Formation”.