Beberapa buku sastra Bali modern yang terbit tahun 2011.

Oleh I Nyoman Darma Putra, dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana

Sepanjang tahun 2011, buku sastra Bali modern yang terbit sebanyak sembilan judul. Angka ini menurun dari tahun 2010 yang mencapai 13 judul. Walaupun secara kuantitas terjadi penurunan, kehidupan sastra Bali modern bisa dikatakan tetap stabil. Hanya saja agak sayup-sayup karena karya-karya yang terbit terasa sunyi dari apresiasi atau respon pembaca.

Dari sembilan buku itu, delapan judul karya baru dan satu judul merupakan cetak ulang sebuah novel. Novel yang dicetak ulang berjudul Tresnanè Lebur Ajur Satondèn Kembang (Cinta Layu Sebelum Berkembang) karya Djelantik Santha, seorang pengarang terkemuka Bali. Novel Tresnanè Lebur Ajur Satondèn Kembang ini pertama kali terbit sebagai cerita bersambung di Bali Post bulan Juli 1981, kemudian terbit sebagai buku tahun 1984. Cetak ulang kali ini dapat mengisi kekosongan buku di pasar.

Djelantik Santha sudah menerbitkan kumpulan cerpen dan beberapa novel, salah satunya novel Sembalun Rinjani (2001) menerima hadiah sastra Rancage tahun 2002. Dari delapan karya baru yang terbit tahun 2011, tiga di antaranya novel karya I Nyoman Manda. Ketiga novel itu adalah Cicih, Sampek Engtay, dan Jayaprana-Layonsari.

Nyoman Manda adalah juga pengarang produktif. Karyanya berupa puluhan novel, sejumlah kumpulan cerpen, dan antologi puisi. Dia juga menerbitkan majalah berbahasa Bali, Canang Sari dan majalah khusus cerpen berjudul Satua. Atas karya dan dedikasinya, Nyoman Manda telah tiga kali mendapat Hadiah Sastra Rancage. Lima buku lain yang terbit terdiri dari empat kumpulan cerpen yaitu Bor karya IBW Widiasa Kenitèn, Sundel Tanah dan Bunga Valentine keduanya karya I Made Sugianto, Metèk Bintang (Menghitung Bintang) karya Komang Adnyana, dan sebuah prosa liris Kama Bang Kama Putih karya I Made Suarsa.

Dari ketiga pengarang ini, I Made Sugianto yang paling yunior, baru mulai menerbitkan buku sastra Bali modern dalam tiga tahun terakhir, dan belakangan cukup produktif. Pengarang-pengarang sudah memulainya lebih awal beberapa tahun lebih awal.

Tema Hukum Karma

Tema yang muncul cukup beragam, namun yang utama adalah hukum karma dan konflik adat atau jual tanah akibat situasi dan kondisi. Novel Cicih (104 halaman) karya Nyoman Manda mengambil tema tentang hukum karma, yakni perbuatan buruk akan mendapat pahala buruk, perbuatan baik akan mendatangkan pahala yang baik. Dalam novel ini dilukiskan tokoh cerita yang berbuat baik sehingga di akhir cerita mendapat kebahagiaan. Dilukiskan dengan bahasa yang serderhana, mudah dipahami, dan alur jelas, novel Cicih adalah cerita yang happy ending, memberikan pelajaran moral lewat cerita.

Novel Sampek Engtay (110 halaman), juga karya Nyoman Manda, merupakan pengisahan ulang cerita rakyat Cina yang populer di Bali sejak awal 1900-an. Kisah Sampek Engtay hadir di Bali dalam bentuk puisi tradisional Bali, gaguritan, juga sering diangkat sebagai lakon opera Bali alias arja atau drama gong alias teater berbahasa Bali.

Inti cerita yang berdar di Bali dengan yang diadopsi ke dalam novel tetap sama, yakni kasih tak sampai karena salah pengertian antara Sampek (pria) dan Engtay (wanita, tetapi menyamar sebagai laki-laki agar diizinkan bersekolah). Namun, cinta sejati di antara keduanya berlanjut di alam sana, karena di akhir cerita Engtay singgah ke kuburan Sampek dan kuburan itu tiba-tiba terbuka. Engtay menceburkan diri ke dalam kuburan, masuk ke dalamnya. Sebelum kuburan tertutup kembali, dari dalamnya ke luar dua kupu-kupu, simbol kedua kekasih.

Sama dengan novel Sampek Engtay, novel Jayaprana-Layonsari (124 halaman) juga merupakan gubahan atas cerita rakyat. Jayaprana-Layonsari adalah legenda Bali yang banyak ditulis dalam gaguritan. Kisah ini juga sering dijadikan lakon arja, drama gong, film atau sinetron. Jayaprana-Layonsari adalah sepasang suami-istri yang diperdaya oleh Raja Kalianget. Raja jatuh cinta pada Layonsari yang cantik kemudian membuat konspirasi untuk membunuh Jayaprana. Begitu Jayaprana mampus, Raja membujuk Layonsari tetapi janda ini menolak dan memilih bunuh diri. Terhina karena cintanya ditolak, Raja pun kalap dan membunuh siapa saja, sampai akhirnya dia sendiri kena tusuk dalam keriuhan perkelahian.

Seperti Sampek Engtay, cerita ini pun diakhiri dengan pertemuan atma mempelai, Jayaprana dan Layonsari, bahagia di alam sana.

Ketiga novel Nyoman Manda di atas berangkat dari kisah berbeda tetapi memiliki persamaan tema, sama-sama menggarap tentang hukum karma. Orang-orang yang berbuat buruk, seperti Sang Raja, menemui nasib tragis, sedangkan yang berbuat baik mendapatkan kebahagiaan sejati di alam sana.

Dewasa ini seni pertunjukan jarang memainkan lakon Sampek-Engtay dan Jayaprana-Layonsari, oleh karena itu kehadiran novel Nyoman Manda ini menjadi sumber bacaan yang dapat mempopulerkan kekayaan sastra tradisional Bali kepada generasi muda.

Masalah Adat dan Tanah

Kumpulan cerpen Bor berisi 13 cerpen, ceritanya umumnya berisi gambaran ketidakharmonisan dalam masyarakat Bali akibat penafsiran adat dan tradisi yang sangat kaku. Disajikan dengan bahasa Bali yang halus, cerpen-cerpen IBW Keniten ini sering menggunakan tokoh luar Bali atau asing (Jawa, turis Amerika) sebagai saluran untuk menyampaikan kritik terhadap ketidakharmonisan di Bali.

Dalam cerpen “Julia”, misalnya, pengarang menggunakan tokoh wanita orang Amerika ini untuk menyindir perilaku masyarakat Bali yang terlibat perkelahian antar-kelompok, sikap masyarakat yang menolak menguburkan jenazah, dan sejenisnya. Cerpen-cerpen dalam kumpulan ini hadir dalam bahasa yang lugas. Pengarang berhasil membangun konflik cerita dengan menarik. Sayangnya beberapa cerita tampil dengan pola isi yang sama, seperti cerita “Natab” dan “Ayu Bali”, kisah suami istri yang ‘membagi anaknya’ baik karena perbedaan agama maupun karena perbedaan status kasta.

Cerpen Sundel Tanah dan Bunga Valentine keduanya karya I Made Sugianto masing-masing berisi 13 cerita. Tema cerita cukup beragam, mulai dari kisah romantika remaja merayakan hari kasih-sayang dalam cerpen “Bunga Valentine” sampai dengan isu serius mengenai masyarakat Bali yang kian dihimpit oleh situasi untuk mau tidak mau, perlu tidak perlu, harus menjual tanahnya seperti dalam “Sundel Tanah”.

Cerita-cerita Made Sugianto dalam kedua kumpulan ini menunjukkan kreativitasnya dalam mengangkat tema cerita, namun penggarapan ceritanya masih memerlukan sedikit pendalaman baik dalam hal konflik maupun karakterisasi.

Prosa Liris

Prosa liris Kama Bang Kama Putih karya I Made Suarsa menawarkan penggalian dan pengungkapan baru dalam sastra Bali modern. Pemakaian bahasa yang indah dalam prosa liris ini menunjukkan kemampuan pengarang dan bahasa Bali itu sendiri untuk mengungkapan suatu persoalan secara mendalam dengan bersyair dan estetis.

Kama Bang Kama Putih simbolisasi pada sosok laki dan perempuan, dua yang berbeda, yang perempuan memiliki indung telur (kama bang) yang laki-laki memiliki sperma (kama putih). Dalam kisahan prosa liris ini, bukan tokoh laki-laki atau perempuan benar yang dilukiskan tetapi esensi keperempuanan dan kelaki-lakian dalam kehidupan yang penuh gejolak hawa nafsu, gejolak sosial politik, dan sebagainya.

Kemampuan prosa ini menampilkan untaian kata-kata indah, bersyair sungguh mengagumkan, tetapi dalam keseluruhan prosa, penggalian kata-kata bersajak itu terkadang terasa agak berlebihan.

Cerpen Metèk Bintang

Kumpulan cerpen Metèk Bintang (Menghitung Bintang) karya Komang Adnyana berisi 13 cerpen yang hampir semuanya menarik dalam hal tema dan penggarapan. Daya tarik atau kekhasan cerpen-cerpen Metèk Bintang terletak pada kemampuan pengarang untuk ‘terang-terangan menyembunyikan’ point-point penting cerita sehingga pembaca dibuat terpaksa memikirkan dan membayangkan hubungan-hubungan antar-insiden dan ucapan para tokohnya.

Siapa pun membaca cerpen-cerpen dalam kumpulan ini tidak akan merasa rampung begitu habis membaca kalimat terakhir tetapi akan terus terangsang untuk berfikir, mengait-ngaitkan, dan menggali-gali unsur-unsur cerita yang disembunyikan pengarang. Cerpen-cerpennya relatif pendek dan di dalamnya terdapat banyak gap yang harus disimak oleh pembaca untuk memahami cerita secara utuh. Gap inilah yang memberikan kekuatan tersendiri pada cerpen-cerpen Komang Adnyana.

Cerpen “Nganten”, misalnya, melukiskan hubungan rumit antara suami-istri Bali dengan orang Jerman yang bernama Michèl, yang datang ke Bali untuk mempelajari kebudayaan Bali. Michèl sangat tertarik mempelajari bahasa Bali, tarian Bali, dan ingin menjadi orang Bali dengan memilih nama bernama Luh Sandat. Dari awal cerita, Michèl dilukisan sebagai seorang wanita yang jatuh cinta dengan seorang lelaki Bali yang sudah beristri. Michèl ingin sekali menikah, tetapi belakangan terungkap bahwa dia seorang ‘laki-laki’ alias waria. Yang juga menarik, pengarang menjadikan tokoh Michèl yang tekun mempelajari seni budaya Bali untuk membuat orang Bali merasa malu dan terpanggil untuk melestarikan kebudayaannya melebihi semangat orang asing.

Cerpen-cerpen dalam kumpulan Metèk Bintang sangat beragam sehingga membaca satu cerpen ke cerpen lain terasa menyenangkan dan juga menyentuh terutama cerita-cerita yang mengandung tragedi seperti “Cicing” (anjing) “Maling”, dan “Luh Ronji”. Kejutan-kejutan di akhir cerita merupakan kekuatan lain yang muncul merata dalam kumpulan cerpen Metèk Bintang.

Tantangan Mencari Pembaca

Tantangan untama dari kehidupan sastra Bali modern kini bukan lagi mencari penulis yang baik tetapi mencari pembaca yang setia. Dalam situasinya yang sayup-sayup stabil ini, sastra Bali modern sepertinya hanya diapresiasi oleh kalangan terbatas mahasiswa sastra Bali (modern), itu pun bagi mereka yang hendak menyusun paper atau skripsi.

Namun, optimisme tetap bersinar di tengah kian kuatnya kegairahan untuk mengembangkan bahasa Bali dan kepentingan mengajarkan bahasa dan sastra di sekolah-sekolah. Ini akan menjadi pintu masuk buat memperluas pembaca dan apresiasi atas sastra Bali modern.

Dimuat di Bali Post, Minggu, 5 Februari 2012, halaman 5. Tanpa ilustrasi. Ilustrasi ditambahkan di sini.