Keputusan: HADIAH SASTERA “RANCAGÉ” 2011
Dengan rido Allah SWT, alhamdulillah Hadiah Sastera ”Rancagé” tahun ini akan diserahkan untuk ke-23 kalinya buat sastera Sunda, yang ke-18 kalinya buat sastera Jawa, dan ke-15 kalinya untuk sastera Bali. Untuk sastera Lampung tahun ini tidak ada hadiah, karena tahun 2010 tidak ada buku yang terbit dalam bahasa Lampung.
Penerbitan buku, apalagi dalam bahasa ibu, tidak bisa berlangsung terus kalau tidak ada masyarakat yang membacanya. Penerbit buku dalam bahasa ibu sampai sekarang, kecuali dalam bahasa Sunda, terutama berupa perwujudan rasa cinta para anggota masyarakat yang mempunyai bahasa tersebut, umumnya atas usaha yayasan-yayasan atau perseorangan yang kebetulan punya uang.
Tapi biasanya buku-buku yang diterbitkan itu tidak sampai kepada masyarakat, karena yang menerbitkannya merasa puas setelah menyaksikan bukunya terbit, tidak memikirkan bagaimana mendistribusikannya supaya sampai kepada tangan pembaca.
Belakangan sasterawan Jawa yang sudah tiga kali mendapat hadiah Sastera “Rancagé”, Suparto Brata, memakai uang hadiah yang diterimanya untuk membiayai penerbitan bukunya, tapi pelaksanaannya diserahkan kepada penerbit komérsial. Cara demikian mémang salah satu jalan yang bisa ditempuh, tapi sebenarnya kehidupan penerbitan buku bahasa ibu itu harus digarap oléh penerbit komérsial secara profésional. Yang menjadi masalah, penerbit komérsial atau orang yang mempunyai modal, tidak percaya bahwa penerbitan buku dalam bahasa ibu bisa menguntungkan – paling tidak bisa “jalan”. Kebanyakan penerbit komérsial baru menerbitkan buku dalam bahasa ibu kalau ada “proyék” besar.
Tapi kasus penerbitan buku bahasa Sunda yang dilaksanakan oléh penerbit komérsial Kiblat Buku Utama secara profésional membuktikan bahwa menerbitkan buku bahasa ibu merupakan lapangan usaha yang rasional meskipun harus dihadapi dengan sabar. Yang penting harus menerbitkan buku dahulu sebanyak-banyaknya, sebab adanya buku itulah yang akan membangkitkan minat untuk membaca buku dalam bahasa ibu. Bagaimana masyarakat akan gemar membaca buku dalam bahasa ibu kalau bukunya tidak tersedia?
Hadiah sastera “Rancagé” 2011 untuk sastera Sunda
Dalam tahun 2010 penerbitan buku bahasa Sunda ada 24 judul, tidak dihitung kamus. Tapi banyak yang merupakan cétak ulang. Yang merupakan buku baru dua kumpulan sajak (Nu Nyusuk dina Sukma karya Chyé Rétty Isnéndés dan Sajak-sajak Rosyid E. Abby), tiga kumpulan cerita (Sapeuting di Cipawening oléh Usép Romli H.M., Layung Katumbiri oléh Nunung Saadah dan Halis Pasir oléh Us Tiarsa), sandiwara sebuah (Kabayan Ngalanglang Jaman oléh Rosyid E. Abby), dua roman (Didodoho Lahar oléh Adjat Sudradjat dan Cahaya Gumawang dina Ati oléh Ningrum Djulaéha), dua kumpulan éséy (Nyusur Galur Mapay Raratan oléh Hana Rohana Suwanda dan Léngkah-léngkah Urang Sunda dina Pulitik jeung Budaya oléh Karno Kartadibrata. Adapun buku bacaan anak-anak hanya satu judul yang baru ialah Rasiah Kodeu Binér oléh Dadan Sutisna.
Yang merupakan cétak ulang adalah Jajatén Ninggang Papastén kumpulan cerita Yus Rusyana yang mendapat Hadiah “Rancagé” yang pertama (1989), Tanjeur na Juritan Jaya di Buana oléh Yoséph Iskandar yang mendapat Hadiah “Rancagé” 1992; Ménak Baheula oléh Tjaraka, Rajapati di Pananjung oléh Ahmad Bakri, Pangantén oléh Dédén Abdul Aziz yang mendapat Hadiah “Rancagé” 2004; Abunawas Saémbara oléh Rachmat M. Sas. Karana, dan Nu Maranggung dina Sajarah Sunda oléh Édi S. Ekadjati. Ada empat judul karya baru Ajip Rosidi, yaitu Gerakan Kasundaan, Oyong-oyong Bangkong, Kamerdikaan jeung Démokrasi dan Babasan & Paribasa jilid 2. Seperti yang sudah diumumkan, cétak ulang dan karya Ajip Rosidi tidak dinilai untuk Hadiah “Rancagé”.
Nu Nyusuk dina Sukma adalah kumpulan sajak Chyé Rétty Isnéndés yang kedua. Kumpulan sajaknya yang pertama Kidang Kawisaya mendapat Hadiah “Rancagé” 2000. Rétty yang mendalami téori sastera sesuai dengan tugasnya sebagai dosén, seperti yang kehilangan spontanitas dalam sajak-sajaknya. Sajak-sajak Rosyid E. Abby memperlihatkan usahanya memperoléh cara pengucapan yang khas, meskipun tak selalu tercapai. Tapi melihat semangatnya yang haram padam, ada harapan untuk masa depan.
Usép Romli dalam cerita-cerita péndeknya dalam Sapeuting di Cipawening tetap mengemukakan téma utama karya-karyanya yang lebih dahulu, yaitu masalah perubahan sosial di perkampungan, pemerintah yang tidak memikirkan kehidupan rakyat, orang yang kehilangan étika, kian tipisnya rasa keagamaan, dan semacamnya. Selain dari “Lain Baheula”, semua cerita yang dimuat dalam Sapeuting di Cipawening cukup bagus.
Nunung Saadah dalam bukunya yang pertama Layung Katumbiri, memperlihatkan bahwa dia masih harus meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya dalam menggunakan bahasa Sunda, baik éjaan maupun ungkapan. Ia tidak bisa membédakan akhiran “eun” dan “keun”, tak bisa menuliskan kata “kusabab”, “kadinya”, “kadieu” dll. yang seharusnya dipisahkan. Tidak bisa membédakeun “tempoeun” dengan ”tempokeuneun”, dll. Ungkapan bahasa Indonésia “kedua biji matanya” jadi “kadua siki panonna”, “kedua tangannya” menjadi “kadua leungeunna”. Banyak menggunakan kata-kata yang dia dengar seléwat sehingga dia tak tahu benar artinya seperti “teu béda digerihan ku hinis karék meunang maut”, “kuring teu bisa narah”, “teu antaparah deui ngan burudul baé pangeusina tarurun” (dari atas bis). Demikian juga dalam menyusun cerita dia masih harus banyak belajar.
Us Tiarsa meskipun sudah lebih dari 30 taun menulis dalam bahasa Sunda, buku kumpulan cerita péndéknya baru terbit tahun 2010 berjudul Halis Pasir. Isinya 13 cerita péndék. Yang dia ceritakan bermacam-macam, ada hal-hal yang biasa dialami sehari-hari seperti cerita “Halis Pasir”, “Buah” atau “Incok”; ada yang agak anéh seperti “Diantos di Sarajévo”, “Nu Ngaraliwat” atau “Karémbong Srangéngé”. Begitu juga latarnya, ada yang terjadi di tanahair, ada yang di mancanegara.
Yang penting dalam cerita bukanlah apa yang dikisahkan saja, melainkan juga bagaimana cara menceritakannya. Dalam hal itulah keunggulan cerita-cerita Us Tiarsa. Dalam “Halis Pasir” umpamanya, antara fokus pengisahan, sudut pandang, alur dan latar, bersatu menjadi téma yang mandiri. Perkara pentingnya bekerja bukan dilakukan oléh anak muda sembada, melainkan oléh perempuan tua yang sudah rapuh. Yang berkisah “kuring” (aku) yang menjadi salah seorang anak perempuan tua itu, melukiskan bahwa ibunya kukuh pada pekerjaannya yang sudah dia lakukan selama puluhan tahun, yaitu membuat genting dan bata di perusahaan genting milik haji yang pernah menjadi anak pungutnya namun tidak mau diberi upah lebih tinggi daripada pegawai lainnya. Ajakan anak-menantunya agar berhenti bekerja pindah hidup bersama meréka di kota, ditolak. Alasannya tidak mau jauh dari “bapa” – suami yang sebenarnya tinggal nisannya saja. Pada waktu mengakhiri cerita Us memperlihatkan keunggulannya. Dalam “Halis Pasir” itu, “ema” tidak mau meninggalkan kampungnya berpisah dengan “bapa”. Waktu perusahaan genting itu ditutup “ema” berkata bahwa dia terus bekerja di situ karena selamanya dikawani oléh “bapa”. Malah “bapa” waktu itu datang menjemputnya. “Ema” meninggal.
Sandiwara Kabayan Ngalanglang Jaman karya Rosyid E. Abby, tadinya berjudul Mesin Waktu berupa naskah longsér (semacam téater rakyat Sunda) yang sudah berkali-kali dipentaskan. Waktu dibukukan dirubah menjadi lebih berupa ”drama komédi”. Tokoh Kabayan jadi profésor yang berhasil menciptakan mesin waktu serta masuk ke jaman sang Kuriang dan Nyai Dasima. Lucu, tapi dibuat-buat.
Didodoho Lahar karya Adjat Sudradjat menceritakan gunung Galunggung meletus (1984) tapi sebenarnya hendak menjelaskan soal gunung, maklum pengarangnya mémang ahli perkara gunung. Sedangkan Cahaya Gumawang dina Ati karya Ningrum Djulaéha melukiskan sepasang suami-isteri yang baru menikah namun awalnya dipengaruhi oléh prasangka yang bukan-bukan. Pengarang bagus dalam melukiskan secara psikologis perubahan sikap yang berpangkal pada prasangka itu sehingga keduanya menjadi lebih saling mengerti.
Nyusul Galur Mapay Raratan adalah kumpulan tulisan Hana Rohana Suwanda tentang sejarah yang pernah dimuat dalam majalah Manglé. Hana menguraikan sejarah seperti yang dia baca atau dengar dari orang tanpa mengadakan pemeriksaan sejauh mana kebenarannya. Disebut sebagai tulisan sejarah populér, seharusnya berupa uraian sejarah secara populér, namun apa yang dikisahkannya adalah sejarah yang benar. Karangan dari majalah Manglé dikumpulkan langsung jadi buku tanpa mengalami éditing, sehingga karangan pertamanya dimulai dengan “Minggu pengker dipedar……..” Isinya menunjukkan bahwa penerbitnya tidak melakukan éditing maupun koréksi terhadap téks sehingga pada setiap halaman bertebaran salah cétak dan kesalahan lainnya. Sungguh memalukan untuk buku yang mendapat bantuan Pemda disertai dengan sambutan dari Gubernur Jawa Barat.
Léngkah-léngkah Urang Sunda dina Pulitik jeung Budaya merupakan kumpulan pilihan tulisan Karno Kartadibrata yang sejak sekian puluh tahun yang lalu muncul setiap minggu dalam majalah Manglé. Seperti yang ditulis oléh Hawé Setiawan dalam pengantarnya, Karno menempatkan dirinya sebagai advisor yang bertugas mengingatkan atau menyampaikan saran baik kepada pemerintah maupun kepada élit poltik, juga kepada lembaga-lembaga kesundaan yang ada. Sayang bahwa pihak yang diberinya peringatan dan saran itu nampaknya tidak ada yang memperhatikannya.
Setelah ditimbang dengan matang, karya sastera Sunda terbitan tahun 2010 yang pantas mendapat Hadiah Sastera “Rancagé 2011 untuk karya, adalah
Halis Pasir
Kumpulan cerita péndék karya Us Tiarsa
Terbitan Kiblat Buku Utama, Bandung
Dengan demikian kepada Us Tiarsa akan dihaturkan Hadiah Sastera “Rancagé” 2011 buat karya berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Sedangkan yang terpilih untuk menerima Hadiah Sastera “Rancagé” 2011 sastera Sunda buat jasa berdasarkan kréativitasnya yang panjang serta telah memperkaya sastera Sunda, ialah
H. Usép Romli H.M.
(lahir di Limbangan, Garut, 16 April 1949)
Setelah tamat SPG (1966), Usép ditempatkan menjadi guru SD di wilayah Kadungora, Garut. Kegemarannya menulis terutama dalam bahasa Sunda yang dimulai ketika masih duduk di SPG, dilanjutkan, banyak dimuat dalam majalah Kalawarta Kudjang, Manglé, Hanjuang, Giwangkara, dan Galura, baik berupa sajak maupun cerita péndék. Sambil menjadi guru Usép sempat menjadi koréspondén untuk kabupatén Garut mingguan Fusi (1972), Giwangkara (1972-76), sk. Pelita (1977—1979), sk. Sipatahunan (1979-1980). Ketika hendak dipindahkan menjadi pegawai Dinas P dan K di Bandung dia memilih keluar dari PNS lalu bekerja sebagai wartawan sk. Pikiran Rakyat sampai pensiun. Karena kemampuannya berbahasa Arab (ayahnya memimpin pesantrén), sebagai wartawan Usép pernah dikirimkan ke Afganistan (meliput perjuangan kaum mujahiddin melawan pasukan Soviet), ke Paléstina dan ke Bosnia dan negara lainnya. Setelah pensiun, Usép setiap tahun memimpin rombongan haji atau umrah ke Tanah Suci. Dia juga biasa memberikan khutbah di masjid-masjid baik di Bandung maupun tempat lainnya.
Usép banyak menulis bacaan kanak-kanak baik dalam bahasa Sunda maupun bahasa Indonésia, al. Si Ujang Anak Peladang (1973), Pahlawan-pahlawan Hutan Jati (1974), Nyi Kalimar Bulan (1982), Oray Bedul Macok Mang Konod (1983), Bongbolongan Nasrudin (1983), Aki Dipa (1983), Pertaruhan Domba dan Kelinci (1984), Dongéng-dongéng Arahéng (1993), dll.
Pada tahuh 1979 terbit kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Sebelas Tahun, yang diikuti oléh roman péndék Béntang Pasantrén (1983), kumpulan cerita péndék Ceurik Santri (1985), Nganteurkeun (1986), Jiad Ajengan (1991), Sanggeus Umur Tunggang Gunung (2009) dan Sapeuting di Cipawening (2010). Kumpulan sajak yang kedua, Nu Lunta Jauh terbit tahun 1992.
Usép pernah mendapat Hadiah Sastera Manglé (1977), Hadiah Sastera LBSS (1995) dan Hadiah Sastera “Rancagé” untuk karya 2010 berdasarkan Sanggeus Umur Tunggang Gunung.
Berdasarkan pengabdiannya kepada dunia sastera Sunda yang berlangsung selama puluhan tahun terus menerus, dan telah memperkaya khazanah sastera Sunda, Usép berhak menerima Hadiah Sastra “Rancagé” 2011 untuk jasa. Kepadanya akan dihaturkan hadiah berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Hadiah Sastera “Rancagé” 2011 untuk sastera Jawa
Dalam tahun 2010 buku sastera Jawa yang terbit ada 15 judul, yaitu lima kumpulan sajak (Sanja karya Nono Warnono, Garising Pepesthén karya Bambang Nursinggih, Salam Sapan saka Gunung Gamping karya Naryata, Geguriatn Alam Sawegung karya Sudi Yatmana dan Bakal terus Gumebyar karya Sucihadi), tiga kumpulan cerita péndék (Pulo Asu karya Hérwanto, Tunggak Jarak Mrajak kumpulan karya beberapa pengarang dan Putri Tuwa kang Nyalawadi kumpulan terjemahan dari bahasa asing karya R. Muchtar). Dan tujuh roman (Babad Jipang Panolan saduran dari cerita rakyat Jawa oléh J.F.X. Hoery, Sadrajat Coro & Tikus karya Rahmat Ali, dan Cintrong Paju Papat, Nona Sékertaris, Pawéstri Tanpa Idéntiti, Spookhuis (Gedhong Sétan) dan roman-biografi R.M..T.R. Suryo gubernur Jawa Timur yang pertama, kelimanya karya Suparto Brata).
Geguritan Alam Sawegung adalah penerbitan kembali semua guritan Sudi Yatmana yang sebelumnya pernah terbit, jadi semacam cétak ulang. Garising Pepesthén kumpulan guritan Bambang Nursinggih yang kedua setelah Aja Kokijoli Warisanku. Hampir semua guritannya menyuarakan isi hati pengguritnya tentang perubahan masyarakat Jawa tentang nilai-nilai tradisinya. Kritiknya terhadap masyarakat terutama anak-anak muda digambarkan melalui imaji-imaji visual auditif, sehingga selain pikiran penggurit menjadi lebih jelas, guritan itu énak dibaca karena rima dan iramanya menciptakan alunan perasaan seniman (pangrawit). Namun nafas puisinya hampir selalu panjang dan penggunaan tipografi sering tak ada hubungannya dengan substansi yang ingin disampaikan.
Bakal Terus Gumebyar karya Sucihadi yang kedua. Sucihadi, usianya 74 tahun, perhatiannya luas sekali, dalam guritannya ada yang mengenai politik, ékonomi, budaya dan lainnya, namun yang bagus-bagus adalah yang mengenai kehidupan sehari-hari ibu rumahtangga, terutama yang berurusan dengan dapur.
Salam Sapan saking Gunung Gamping karya Naryata, pegawai Puskesmas (biasanya yang menulis dalam bahasa Jawa itu guru) yang mulai menulis guritan sejak tahun 1994. Ada yang panjang, tapi kebanyakan péndék-péndék, isinya padat, tidak banyak menggurui seperti tulisan guru, seperti “Kulit-kulit Kacang”, “Nalika Liwat Alas Jatén” dan “Topéng-topéng”.
Sanja karya Nono Warnono berisi 115 guritan. Banyak yang menyampaikan pengalaman jiwa, tanggapan mengenai kejadian-kejadian, mengenai perubahan sosial dan keyakinan hidup transédéntal. Salah sebuah guritan yang menyentuh hati adalah “Nalika Sandal Jepit Pedhot” yang melambangkan rahayat kecil dengan sendal jepit yang biasa meréka pakai.
Rahmat Ali sudah banyak menerbitkan buku dalam bahasa Indonésia. Sudrajat Coro & Tikus adalah roman kedua yang dia tulis dalam bahasa Jawa. Tapi masih belum ada bédanya dengan yang pertama Mis, Koncoku Sinorowedi, yang banyak salah dalam menggunakan éjaan, umpamanya kata “lara” (sakit) ditulis “loro” (dua); kata “isa” (dapat) ditulis “iso” (tembusu), begitu juga dalam bahasa Jawa harus dibédakan antara “t” dalam “tutuk” (mulut) dengan “th” dalam “thuthuk” (memukul), “d” dalam “duduk” (bukan) dengan “dh” dalam “dhudhuk” (menggali). Kesalahan éjaan seperti itu disebabkan pengarang kurang banyak membaca buku bahasa Jawa, terdapat hampir pada setiap halaman, sehingga mengganggu kelancaran membaca.
Kumpulan cerita péndék Hérwanto yang berjudul Pulo Asu, memuat 16 cerita yang obyéknya serba baru, soal-soal kecil, namun hampir tak pernah disinggung oléh pengarang lain serta oléh Hérwanto digarap dengan apik. Umpamanya “Ibu” yang menggunakan konflik batin tokoh aku-serta dengan cinta dan baktinya kepada ibunya pada saat kondisi yang terjepit. Dalam cerita itu nampak kontras-kontra ékspresi cinta kasih para tokoh dengan posisi masing-masing dalam keluarga. Begitu juga cerita-cerita “Kenthongan”, “Pulo Asu”, “Gumiyem”, “Grobag”, “Untu Palsu”, dll. Hampir semua cerita dalam Pulo Asu mengangkat masalah rakyat kecil yang seakan-akan tak seberapa, namun bagi meréka sangat penting terutama bagi hubungan antar-manusia.
Tonggak Jarak Mrajak merupakan kumpulan bersama sehingga tidak dinilai untuk Hadiah “Rancagé’.
Babad Jipang Panolan menghidupkan kembali tokoh Arya Penangsang yang melawan kepada Sultan Pajang. Cara Hoery mengisahkannya kembali sangat memikat, bisa membangkitkan minat anak-anak muda terhadap cerita rakyat daérahnya. Sayang sekali sering terganggu oléh uraian tentang tempat-tempat yang sering dikunjungi orang dari mana-mana seperti Gunung Purwosari dan Gua Sentolo.
Dengan lima judul roman yang terbit tahun 2010, Suparto Brata meskipun sudah lanjut usia (l. 1932) masih memperlihatkan keterampilannya menulis berbagai macam fiksi. Ada yang mengenai kehidupan importir dan bisnis di kota, ada yang mengenai anak-anak muda yang penuh dengan romantisme menghadapi hidup yang penuh tantangan, ada biografi, dan ada cerita horor. Suparto Brata seperti yang sengaja hendak membuktikan bahwa umur tua bukan berarti berhenti berkarya.
Setelah dipertimbangkan dengan seksama karena ada beberapa buku terbitan 2010 yang sebenarnya pantas mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” buat sastera Jawa, namun akhirnya diputuskan bahwa yang mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” 2011 sastera Jawa buat karya ialah
Pulo Asu
Kumpulan cerita karya Hérwanto
(terbitan Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro)
Sedangkan orang yang dianggap besar jasanya dalam memelihara dan mengembangkan bahasa dan sastera Jawa terutama dialék Tegal ialah
Lanang Setiawan
Lanang mulai kelihatan usahanya memajukan bahasa Jawa dialék Tegal pada tahun 1984. Dia menterjemahkan sajak Réndra “Nyanyian Angsa” menjadi “Tembangan Banyak”. Usahanya itu diikuti oleh kawannya Rofie Dimyati yang menterjemahkan sajak Réndra “Rick dari Corona”. Lanang juga menterjemahkan sajak-sajak Chairil Anwar, antaranya “Karawang Bekasi”. Terjemahannya dalam bahasa Jawa dialék Tegal itu sering dibacakan di panggung di berbagai daérah, antaranya di Taman Budaya Jawa Tengah (Solo) dan di Kabupatén Indramayu. Lanang menulis dalam bahasa Jawa dialék Tegal antaranya roman Tegal Bledugan, kumpulan guritan Nggayuh, naskah drama Surti Gandrung, Lenggaong, Ni Ratu dan Kén Arok Gugat. Lanang sering menyelenggarakan pertunjukan baca guritan dalam bahasa Jawa dialék Tegal dan pernah berhasil mengajak bupati, walikota dan Ketua DPRD Tegal membaca guritan Tegalan di Warung Aprésiasi Sastra di Bulungan yang kegiatannya tidak hanya membaca sajak saja, melainkan juga mengadakan pertunjukan lagu-lagu dialék Tegal. Lanang menyusun Wangsalan Tegalan, Kamus Tegalan, Kumpulan Puisi Tegalan dan membina Koran Tegal. Setiap hari Lanang menulis kolom “Anéhdotegalan” dalam sk. Nirmala Post yang terbit di Tegal. Dalam tahun 2008 Lanang menerima Anugerah Seni dari Déwan Kesenian kota Tegal.
Sebagai penghargaan terhadap usahanya membina dan mengembangkan bahasa serta sastera Jawa dialék Tegal, Hadiah Sastera “Rancagé” 2011 sastera Jawa untuk jasa, dihaturkan kepada Lanang Setiawan berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Hadiah Sastera “Rancagé” 2011 untuk sastera Bali
Buku sastera Bali yang terbit tahun 2010 ada 13 judul, lebih banyak daripada tahun sebelumnya (9 judul). Ada enam roman sejarah oléh Nyoman Manda. Tiga mengenai Puputan Badung yang merupakan trilogi Biyar-biyur ring Pesisi Sanur, Kulkul Bulus dan Tyaga Wani Mati. Puputan Badung itu perang habis-habisan Raja Badung melawan penjajah Belanda (Séptémber 1906). Raja dan ratusan rakyatnya gugur. Roman yang tiga lagi Gendhing Pengalu mengenai berdirinya kerajaan Gianyar, Suara Saking Batukaru mengenai pertempuran rakyat Batikaru, Tabanan, melawan tentara Nica tahun 1946, dan Gusti Ayu Kedangan mengisahkan ékspédisi Gajah Mada ke Bali pada abad ke-14.
Sesuai dengan permintaan pengarangnya, keenam roman itu tidak dinilai untuk Hadiah “Rancagé” 2011. Nyoman Manda pernah tiga kali menerima Hadiah “Rancagé”. Satu kali untuk jasa (1998), dua kali untuk karya (2003 dan 2008). Beliau memberi kesempatan kepada yang muda-muda untuk memperoléh Hadiah “Rancagé”.
Jénggot Kambing karya Bawa Samar Gantang memuat 13 cerita péndék yang banyak menggarap téma sosial seperti mengenai tsunami di Acéh, mengenai kawin campur laki-laki Bali dengan wanita Amérika, prasangka rélasi antar-étnis, kian berkurangnya sawah di Bali karena banyak membangun fasilitas pariwisata, dll. Dalam cerita-cerita Samar Gantang itu kritik sosial lebih dominan, sehingga terasa tidak ada bédanya dengan berita yang lebih banyak memuat fakta daripada fiksi.
Préman (13 cerita) dan Bikul (14 cerita) keduanya karya Madé Sugianto, pengarang baru dalam bahasa Bali, kebanyakan pernah dimuat dalam Bali Orti. Sebagai “sastera koran” selain péndék-péndék, témanya mengenai hal-hal yang aktual seperti “Élpiji” dan “Sértifikasi”. “Préman” melukiskan betapa amburadulnya kehidupan démokrasi yang menimbulkan politik uang dan prémanisme.
Kania karya Ida Bagus Wayan Wadiasa Keniten adalah roman tentang gadis yatim piatu kasta brahmana yang hendak menjadi pendéta dengan latar belakang politik kejadian tahun 1965. Tokohnya, Dayu Latri. Ayahnya dibunuh karena dituduh PKI. Pembunuhan itu didalangi oléh adiknya sendiri yang ingin merebut warisan. Témanya mengenai konflik antara yang baik dengan yang jahat. Yang baik, Dayu Latri, yang jahat, pamannya. Sampai akhir cerita, konflik itu tidak selesai. Si paman berusaha sekeras-kerasnya merusak kehidupan kemenakannya yang sudah menjadi pendéta. Akhir terbuka demikian seperti hendak menunjukkan bahwa yang baik dengan yang jahat itu tak bisa saling mengalahkan, sebab keduanya selalu hadir dalam hidup manusia. Sesuai dengan hukum rwa bhinéda yang menjadi kepercayaan orang Bali, dalam hidup selamanya ada dua kekuatan yang baik dan yang jahat.
Bahasa Bali yang digunakan dalam Kania indah, kuat serta amajinatif. Déskripsi dan narasinya memukau. Sayang struktur narasinya rusak sebab ada bagian yang menganga karena tidak dimanfaatkan, misalnya prosési penobatan Dayu Latri menjadi pendéta yang sesungguhnya bisa diéksplorasi lebih dalam konflik antara kebaikan dengan kejahatan.
Dalam Kania, tragédi politik 1965 menjadi latar, tapi dalam Rasti karya Raka Kusuma menjadi téma utama. Tokoh utamanya, Rasti, siswa SMA di Bali yang oléh kawan-kawannya diéjék sebagai anak Gerwani (Gerakan Wanita Indonésia, organ PKI). Rasti berusaha mencari kebenarannya, namun gagal, karena keluarganya menutupi hal itu untuk kebaikannya sendiri. Tapi akhirnya Rasti menemukan bukti, yaitu surat ibunya kepada ayahnya yang sudah bercerai. Ibunya mengakui bahwa dia aktivis Gerwani, sedangkan ayahnya anggota PNI. Ibunya ditolong oléh tentara yang kemudian menikahinya dan membawanya ke Jawa. Selain sedikit mengungkapkan tentang huru-hara politik 1965 di Bali, Rasti juga melukiskan remaja yang tak berdosa menjadi korban “dosa politik” orang tuanya. Roman itu mempertanyakan kemutlakan hukum karma. Prinsip hukum karma setiap orang menanggung akibat perbuatannya sendiri. Rasti seakan mempertanyakan mengapa anak yang tak tahu apa-apa harus menanggung dosa politik yang tak pernah dia perbuat?
Selain Rasti, Raka Kusuma juga dalam tahun 2010 menerbitkan kumpulan sajak Sang Lelana yang bahasanya indah dan imajinatif. Isinya sembilan judul sajak panjang, yang bahasanya sangat liris. Kesembilan sajak itu merupakan kesatuan, sebab mengisahkan Sang Lelana yang berangkat dari rumah sampai pulang kembali ke rumah lagi, dikawani oléh kawannya setia “bayang-bayangnya sendiri”. Dalam pengembaraan dia bertemu dengan orang bijak, sasterawan, meléwati pantai yang sunyi, bukit yang indah, hutan yang gundul, kota yang warganya terperangkap konflik sosial dan aksi kekerasan. Semuanya meningkatkan kesadaran Sang Lelana mengenai hidup, kesetiaan, kebijakan, sikap rendah hati dan spiritualitas. Péndéknya idéntik dengan usaha sang subjék untuk mengenali éksisténsinya. Sajak-sajak dalam Sang Lelana mencoba melakukan interprétasi terhadap konsép sangkan paraning dumadi, yaitu mengenai asal dan tujuan hidup, ajaran filosofis mengenai jalan untuk bersatu dengan Tuhan.
Kumpulan sajak lain, Komédi Birokrat karya DG Kumarsana, nama baru dalam sastera Bali. Sebelumnya dia aktif dalam sastera Indonésia. Dari judulnya ada kesan bahwa isinya terutama mengenai kritik sosial, tapi meskipun ada juga yang demikian jumlahnya tidak banyak. Kebanyakan sajak mengenai cinta, kasih sayang, kesepian dan réfléksi tentang arti hidup. Sayang bahasa dan éksprésinya banyak yang sukar dimengerti. Mémang banyak métafora yang kréatif, tapi sulit merangkai-rangkainya untuk menjadikan makna sajak.
Karena itu Hadiah Sastera “Rancagé” 2011 buat sastera Bali untuk karya, dihaturkan kepada
Sang Lelana
Kumpulan sajak IDK Raka Kusuma
Terbitan Sanggar Buratwangi
IDK Raka Kusuma pernah mendapat Hadiah Sastera “Rancagé sastera Bali untuk jasa (2002). Kepada IDK Raka Kusuma akan dihaturkan Hadiah Sastera “Rancagé” 2011 berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Sedangkan yang akan memperoléh Hadiah Sastera “Rancagé” 2011 buat jasa dalam memelihara dan mengembangkan bahasa dan sastera Bali adalah
Bali Orti
Sisipan bahasa Bali sk. Bali Post Minggu
Sisipan Bali Orti (Kabar Bali) mulai terbit dalam Bali Post Minggu tg. 20 Agustus 2006 sedang gagasannya lahir dalam saraséhan bahasa dan sastera Bali di Taman Budaya Dénpasar awal tahun 2006. Dengan adanya Bali Orti para sasterawan Bali mempunyai tempat untuk menerbitkan karyanya. Sebenarnya sk. Bali Post pernah membuka rubrik sastera Bali Sabha Sastra Bali tapi hanya satu halaman setiap pekan serta berlangsung hanya dua tahun (1969—1971). Setelah Sabha Sastra Bali berhenti, para sasterawan Bali memuatkan karyanya dalam majalah Kulkul, Buratwangi dan Canang Sari. Kulkul hanya sebentar. Yang dua lagi sirkulasinya terbatas. Béda dengan Bali Orti yang karena menumpang dalam Bali Post Minggu, tersebar ke seluruh Bali.
Bali Orti dikelola oléh A. Mas Ruscitadéwi dan Wayan Juniartha yang pernah mengelola Kulkul, ditambah dengan I Nyoman Manda, Madé Madé Adnyana, I Madé Sujaya, Wayan Suardiana, Gedé Tapayasa dan Ni Madé Ari Dwijayanthi. Bali Orti besar jasanya dalam mengembangkan sastera modéren Bali. Banyak pengarang lama yang aktif menulis di dalamnya, seperti Gdé Dharma, Samar Gantang dan Tusthi Éddy. Begitu juga muncul yang muda-muda seperti Widiasa Keniten dan I Madé Sugianto. Sajak dan cerita péndek yang dimuat dalam Bali Orti banyak yang kemudian dibukukan.
Sebagai penghargaan kepada usaha membina dan mengembangkan bahasa dan sastera Bali, Hadiah Sastera “Rancagé” 2011 untuk jasa dalam sastera Bali, dihaturkan kepada Bali Orti berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Hadiah “Samsudi” 2011 untuk bacaan kanak-kanak dalam bahasa Sunda
Buku bacaan kanak-kanak dalam bahasa Sunda yang terbit tahun 2010 ada lima judul, tapi hanya satu yang baru. Empat judul lainnya merupakan cétak ulang, yaitu Nyi Kalimar Bulan dan Oray Bedul Macok Mang Konod oléh Usép Romli, Sasakala Bojong Emas oléh Aan Merdéka Permana, Syéh Kuro jeung Dongéng Karawang Lianna oléh Darpan dkk. dan Mistéri Haur Geulis oléh Dadan Sutisna. Yang baru adalah Rasiah Kodeu Binér oléh Dadan Sutisna.
Seperti buku Dadan yang terdahulu, Rasiah Kodeu Binér merupakan cerita mistéri. Ada seorang anak, Diran namanya, menemukan kertas di gudang yang isinya senarai angka satu dan nol. Ada orang yang sedang mencari kertas itu. Diran, Rina, Anis dan Emod empat sahabat bersama-sama membongkar rahasia angka itu. Setelah mengalami berbagai kejadian seperti diculik, akhirnya keempat sahabat itu dapat membongkar rahasia kode binér itu. Yang menginginkan mendapatkan kertas itu adalah Ibu Ening, bekas isteri kedua Pak Sukaya. Ia ingin mewarisi harta Pak Sukaya. Dadan pandai menjaga kepenasaran pembaca sampai akhir. Cocok untuk bacaan kanak-kanak supaya aktif memikirkan ke mana cerita akan menuju.
Karena itu, Hadiah “Samsudi” 2011 akan diberikan kepada pengarang buku bacaan kanak-kanak
Rasiah Kodeu Binér
Karya Dadan Sutisna
Terbitan Kiblat Buku Utama, Bandung
Sebelumnya Dadan Sutisna pernah mendapat Hadiah “Samsudi” dua kali, tahun 2002 (Nu Ngageugeuh Legok Kiara) dan tahun 2004 (Mistéri Haur Geulis).
Kepada Dadan Sutisna akan dihaturkan Hadiah “Samsudi” 2011 berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
*
Upacara penyerahan Hadiah “Rancagé” 2011 dan Hadiah “Samsudi” 2011 akan diselenggarakan atas kerjasama Yayasan Kebudayaan “Rancagé” dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Gunung Jati Bandung pada akhir Apil 2011
.
Pabélan, 31 Januari, 2011.
Yayasan Kebudayaan “Rancagé’
Ajip Rosidi
Ketua Déwan Pembina