Waiting (menunggu) karya Wayan Apel Hendrawan, menggambarkan wanita bertato.
Lady in Red, karya Nyoman Sani, menggambarkan wanita seksi menanti 'pembeli', sebuah perlawanan terhadap citra wanita yang biasanya digambarkan 'pemalu'.

DENPASAR: Sebelas perupa menggelar pameran lukisan yang sarat kritik dan pesan dengan tajuk 10 + 1 = Lawan! Di Paros Gallery, Banjar Palak, Sukawati. Pameran dibuka Prof. Dr. I Gde Pitana, Kepala Badan Pembinaan Sumber Daya Budaya dan Pariwisata, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Jumat 24 Desember 2010 pukul 18.00 dan berlangsung hingga 24 Januari 2011. Pengantar pameran dalam katalog ditulis oleh pengamat budaya Bali, I Nyoman Darma Putra.

Kesepuluh seniman itu adalah anggota Ten Fine Art yakni I Made “Romi “ Sukadana, I Made Dolar Astawa, I Made Budiadnyana, Ida Bagus Putu Purwa, A.A Ngurah Paramarta, Wayan Paramartha, Wayan Apel Hendrawan, Wayan Muliastra, I Ketut Teja Astawa, dan Vincensius Dedy Reru serta seorang perempuan perupa Ni Nyoman Sani.

Pemilik Paros Gallery Made Kaek mengatakan karya yang dipamerkan mengangkat tema kritik sosial serta pembacaan terhadap situasi dan kondisi terkini dengan gaya yang beragam. ”Kami menawarkan keleluasaan kepada perupa untuk menginterpretasikan tema dengan bebas termasuk media yang digunakan dalam berkarya,” kata Kaek kemarin.

Menurut Kaek belakangan ini masyarakat terbebani berbagai persoalan yang tak kunjung usai: terorisme, korupsi, narkoba, penganiayaan TKI, masalah ekonomi, sosial, politik, budaya hingga bencana yang terjadi akhir-akhir ini. Tentu kondisi tersebut tidak luput dari pengamatan dan keprihatinan seniman, termasuk para perupa, yang merasakan betapa berbagai masalah tersebut membuat kebudayaan kian tidak mendapat perhatian.

Bertolak dari kondisi seperti itulah dia bersama sepuluh perupa yang tergabung dalam Ten Fine Art mengagas pameran untuk merespons situasi terkini dan menginterpretasi kata ’marginalisasi kebudayaan’ dengan bahasa rupa. Mereka bebas menafsir dan mengekspresikan persoalan ini secara kritis melalui karya yang akan dipamerkan bersama.

Kaek berharap pameran ini diharapkan memberikan wacana bagi terbangunnya pemikiran-pemikiran cerdas tentang strategi kebudayaan ke depan yang lebih menguatkan olah budaya dan kreativitas masyarakat. ”Kegiatan ini juga sebagai upaya memberikan ruang kritis di wilayah kesenian untuk ambil bagian mencermati kondisi sosial dan politik melalui respons karya yang bernas,” kata Kaek.

Pengamat seni budaya Dr. Darma Putra mengatakan karya-karya dalam pameran ini, secara individu maupun kolektif, memperkuat asumsi bahwa pelukis tidak bisa lepas dari situasi sosial masyarakatnya. Pelukis-pelukis ini tidak bisa berpaling dari riuh-rendah wacana perubahan radikal di bidang sosial, politik, ekonomi, dan teknologi yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakatnya.

Darma menambahkan seperti juga halnya kelompok intelektual lain yang terus-menerus beropini lewat berbagai dialog dalam berbagai forum atau media massa, pelukis-pelukis modern ini pun terus-menerus ambil bagian dalam dinamika wacana publik. ”Mereka pun mencoba tampil sebagai opini maker, menawarkan pendapatnya dalam usaha memberi arti terhadap perubahan sosial yang terjadi,” kata dosen Fakultas sastra Universitas Udayana ini.

Kata dia kendati seniman ini hidup dalam era yang sama, dihadapkan pada ekspose isu-isu yang sama, cara mereka menghadapi problema atau dilema kehidupan dan kemudian menuangkannya ke dalam kanvas sangat beragam. Yang menjadikan karya mereka berbeda antara yang satu dengan yang lain adalah perbedaan pengetahuan, pengalaman, dan selera estetis. Perbedaan pendekatan mereka dalam memvisualisasikan gejala sosial ke dalam kanvas terjadi karena perbedaan bakat alam dan intelektualitas masing-masing.

”Kalau pelukis tradisional cenderung mengambil gaya dan tema yang mirip, pelukis modern selalu berusaha tampil dengan identitas masing-masing,” tutur Darma.(***)