LEBIH dari seabad lalu, tepatnya Juni-Juli 1895, Singaraja sudah kedatangan kelompok komedi stamboel dari Surabaya. Kehadiran stamboel atau teater musik Melayu di Singaraja ini disusul dengan tonil, kemudian pada zaman Jepang populer sandiwara.
Sesudah kemerdekaan, popularitas stamboel dan sandiwara mulai menurun. Para pelajar dan seniman mulai melirik teater atau drama modern yang berkembang di Jakarta, atau yang diperkenalkan oleh dramawan dari Jawa seperti Kirdjomuljo. Kehadiran stamboel, tonil, sandiwara, dan bentuk teater serupa lainnya menjadi dasar yang terbukti ikut memperkuat tradisi teater di Singaraja sejak dulu hingga kini. Komedi Sri Stamboel Grup stamboel yang datang tahun 1895 ke Singaraja adalah Koemedi Sri Stamboel yang berkedudukan di Surabaya. Kehadiran Sri Stamboel di Singaraja adalah bagian dari lawatan mereka dari Surabaya ke Makassar (Cohen 2006). Informasi singgahnya Sri Stamboel di Bali dilaporkan surat kabar Makassarsche Courant (12 Juni 1895:2), sedangkan berita stamboel ini meninggalkan pelabuhan Buleleng menuju Batavia untuk melanjutkan pementasan dilaporkan koran Bintang Barat (13 Juli 1895:2). Sri Stamboel menghabiskan waktu sekitar empat minggu di Singaraja. Tidak disebutkan lakon apa yang dipentaskan, yang jelas Resident Bali-Lombok yang berkedudukan di Singaraja memberikan mereka izin untuk pentas. Warga Bali senang akan stamboel. Laporan surat kabar seperti Bali Adjana dan Surya Kanta dari 1920-an menjelaskan bahwa orang Bali sudah biasa dengan stamboel. Informasi kehadiran stamboel atau komedi di Bali juga ada dalam buku-buku pelajaran bahasa Bali yang digunakan di sekolah-sekolah dasar di Bali pada dekade awal 1900-an. Dalam buku Sasonggan, Katrangan antoek satoea sane cendek (Perumpamaan; dilukiskan dalam cerita pendek) (1903), karangan I Wajan Djiwa, dikisahkan pementasan “wayang Cina” dari Singapura. Yang menanggap pentas komedi ini adalah seorang saudagar Cina. Pentas di halaman rumahnya digelar selama sebulan. Malam pertama penonton sepi, tapi setelah tahu kehebatan komedi ini, penduduk Singaraja dilukiskan “ketog semprong” (semua orang) menonton. Penonton menganggap wayang Cina ini mirip dengan “komedi Jepang”. Stamboel Pelajar Bali Pementasan kelompok stamboel yang mendapat cukup banyak laporan dari koran lokal adalah kelompok HUDVO, organisasi murid Bali yang sekolah MULO (tingkat SMA) di Malang. Anggota HUDVO datang ke Bali saat liburan tahun 1925. Mereka menggelar stamboel untuk menggali dana beasiswa bagi anak yang pintar tetapi tidak mampu. Stamboel HUDVO melakukan pementasan tiga kali, yaitu dua kali di Singaraja dan sekali di Denpasar. Pementasan pertama di Singaraja digelar 23 Mei 1925 di aula Kamar Bola di Singaraja, menggunakan bahasa Belanda dan Melayu. Penontonnya adalah warga Belanda, non-pribumi, atau pribumi yang bisa berbicara bahasa tersebut. Tiketnya antara 0,25 sampai 2 gulden. Pentas kedua, 25 Mei, di aula stamboel di Banjar Jawa. Pentas ini khusus untuk orang Bali, menggunakan bahasa Bali. Penonton tidak dikenai tiket masuk, tetapi disarankan menyumbang untuk menanggung biaya minyak (gasoline) dan upah tenaga kerja. Pementasan HUDVO di Denpasar berlangsung 31 Mei, menggunakan bahasa Belanda. Pentas ini mendapat kritikan dari Jong Balinger, dalam artikelnya di Surya Kanta (1926: 82-83). Jong Balier menulis: Penonton Bali biasa pada stamboel, jang berpakaian keemasan dan disertai oleh njanjian, tetapi tak mengerti akan kias dan kehendak pertoendjoekan sebagai jang diperlihatkan oleh Hudvo. Itulah menjebabkan toemboeh pikiran koerang poeas hatinja penonton tentang pertoendjoekan itoe. Sebaiknjalah menoeroet pendapatan kami, djika Hudvo beroesaha akan lebih mendekati penontonnja dengan bahasa Bali atau Melajoe, serta poela memilih pertoendjoekan lakon-lakon jang tiada djaoeh dari pemandangan dan pengertian bangsa kita emoem. Kritik stamboel juga muncul di Bali Adnjana, di mana Djiwa, kemungkinan besar I Wajan Djiwa yang bukunya dikutip di atas, mengritik murid Bali tampil secara Eropa, dalam arti menggunakan bahasa dan pakaian Barat. Mereka dikatakan sebagai melupakan “sesana Bali”.Selain kritik itu, kehadiran stamboel HUDVO dipuji karena mengandung niat untuk menggali dana untuk pendidikan. Bentuk Sendiri Pengarang Panji Tisna yang pernah sekolah di Batavia saat itu juga aktif dalam stamboel, dan belakangan membentuk kelompok sendiri. Dia sendiri memainkan violin, sedangkan salah satu calon istrinya (waktu itu) adalah seorang pemain stamboel. Di Klungkung, stamboel atau tonil hadir lewat kelompok yang dibentuk oleh Sri Resi Ananda Kusuma, seorang guru yang kemudian menekuni ilmu agama. Lakon yang dipentaskan adalah percintaan remaja, menggunakan bahasa Indonesia. Awal tahun 1930-an, kelompok tonil Dardanella dengan salah satu aktrisnya yang terkenal Devi Dja juga berkunjung ke Bali. Mungkin melaksanakan pentas, tetapi yang pasti Devi Dja bertemu dengan penari-penari Bali yang saat itu baru datang dari Paris Colonial Exhibition 1931. Devi Dja mempelajari tari Bali.. Zaman Jepang, bukan stamboel yang dipromosikan, tetapi sandiwara. Jepang membentuk Sandiwara Bintang Bali, mementaskan cerita heroik untuk propaganda Jepang. Sandiwara ini dipimpin oleh Ketut Sukrata, seorang pendidik, juga dari Singaraja. Kuat sampai Sekarang Sejak kemerdekaan, Singaraja terkenal memiliki tradisi teater atau drama modern yang kuat. Akhir tahun 1949 ada kelompok sandiwara ISSME (Ikatan Sekolah Menengah) dengan patron Panji Tisna. Awal 1950-an, awal tahun 1950-an Tjok Rai Sudharta (warga puri Ubud saat sekolah di Singaraja) dengan kelompok “Amatir Moeda”-nya, lalu Putu Wijaya, Gde Dharna, Wayan Silur, sampai kelompok teater Sanggar Seni Banyuning pimpinan Putu Satria. Seniman Jakarta seperti Kirdjomuljo ke Singaraja tahun 1950-an untuk membuat pentas-pentas drama modern. Dengan menengok ke tahun 1895 lampau, saat komedi stamboel datang ke Buleleng, kiranya bisa dipahami mengapa kelompok teater di Singaraja tetap kuat sampai sekarang. * Darma Putra |
Terimaksih banyak pak Darma atas tulisan-tulisannya. Semoga diberi kesehatan untuk selalu berkarya