Bali Post, Minggu, 4 Juli 2010

Sarasehan merupakan salah satu kegiatan utama Pesta Kesenian Bali (PKB). Kegiatan lainnya adalah pawai kesenian, pementasan, perlombaan, dan pameran. Dalam Sarasehan didiskusikan berbagai isu dalam seni dan budaya Bali. Seperti halnya ada banyak kritik terhadap kegiatan lainnya seperti pementasan yang monoton, pameran yang kurang terseleksi, kritik juga banyak meluncur ke arah sarasehan. Apakah Sarasehan lurus atau melenceng? 

Sejak dulu hingga kini, ada berbagai kritik atau saran mengenai pelaksanaan Sarasehan PKB. Kritik ini tampaknya perlu diangkat untuk menyempurnakan kegiatan diskusi seni budaya ini. Sebagian dari kritik-saran itu?

Ada yang mengatakan bahwa saat dirancang awal, Sarasehan dimaksudkan untuk memperkuat kajian Bali atau Baliologi. Selama ini, Sarasehan terkadang bicara politik (identitas) atau ekonomi (kreatif). Pembahasan topik itu dianggap kurang menuju arah yang diharapkan. Tujuan awal Sarasehan dalam PKB adalah melakukan pembahasan topik atau teks sesuai tema utama PKB. Kalau temanya tentang ‘Taksu’ maka, topik yang dibahas sarasehan mestinya juga tentang Taksu, bukan hal lain. 

Tahun ini, tema PKB adalah ‘Sudamala’, semestinya yang dibahas di dalamnya adalah teks geguritan atau kidung Sudamala. Makna, pesan, filsafat teks Sudamala bisa dibahas dari berbagai segi dengan segala kemungkinan aktualisasi dewasa ini. Atau, ditampilkan analisis perwujudan Sudamala dalam seni pertunjukan yang sudah berlangsung di PKB, dengan demikian ada kaitan erat antara Sarasehan dengan Pementasan atau acara PKB lainnya. 

Tapi, mengapa sarasehan PKB 2010 justru membahas tema diplomasi budaya, dan mengabaikan teks Sudamala? Tahun 1996 lalu, PKB mengambil tema Panji. Pertunjukan sendratari, arja, dan drama mengangkat kisah Panji. Ada banyak jenis cerita Panji. Dalam Sarasehan itu dibahas teks Panji dan bagaimana kisah-kisah Panji dipentaskan dalam arja dan dramatari waktu itu. 

Antara tema dan kegiatan PKB mulai dari pawai, pertunjukan, sarasehan ada kesesuaian, seiring seirama, sehingga ihwal Panji benar-benar bisa didalami dan disaksikan dalam berbagai kegiatan. Begitu juga mestinya untuk tema-tema lainnya. 

Kritik lain untuk sarasehan adalah desakan agar forum ini menggunakan bahasa Bali sebagai komitmen riil untuk mengembangkan bahasa. Soal bahasa, memang ada silang, pendapat. Ada yang berpendapat, bahasa Bali tidak mesti diharuskan dalam Sarasehan PKB, sebaiknya penggunaan bahasa Bali diwajibkan dalam forum Kongres Bahasa Bali. Forum itu dianggap merupakan arena yang  lebih tepat. 

Pembicara yang tampil juga dikritik karena kebanyakan kalangan akademik, padahal Bali memiliki tokoh seniman atau budayawan non-akademik yang pantas juga didengarkan pengetahuannya tentang topik yang dibahas. Soal diplomasi kebudayaan, misalnya, Bali memiliki Ketut Liyer, seorang balian di Ubud, yang memberikan inspirasi bagi novelis Amerika Serika Elisabeth Gilbert menulis novel Eat Pray Love, yang kemudian difilmkan dengan bintang Hollywood terkenal Julia Roberts. 

Kontak Liyer dengan Elisabeth merupakan arena diplomasi budaya semula di antara mereka berdua, tetapi setelah menjadi novel dan film dampak diplomasinya kian luas. Dengan menghadirkan tokoh seperti Ketut Liyer, kesan dominasi kaum akademik dalam sarasehan bisa direduksi sedikit, tetapi yang tak kalah pentingnya adalah peserta bisa melihat secara tajam bentuk lain dari diplomasi budaya lewat people to people contact. Hebatnya, dalam kasus Liyer, Bali tidak mengeluarkan dana sepeser pun dalam diplomasi kebudayaan itu. Dalam novel Eat Pray Love, keunikan budaya Bali diperkenalkan ke dunia, juga nanti lewat filmnya.  

Isu gender juga mencuat mengkritisi Sarasehan PKB. Dalam Sarasehan Jumat (2/7) lalu, peserta wanita mempertanyakan mengapa tidak ada pembicara wanita diundang berbicara dalam Sarasehan PKB? Saat itu, jumlah peserta wanita relatif banyak, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tapi, mereka sebagai peserta, bukan duduk di depan sebagai pembicara. 

Jika dipulung sejak dulu hingga kini, mungkin masih ada banyak kritik atau masukan untuk pelaksanaan Sarasehan PKB yang ideal. 

Tema Kongres Kebudayaan

Mungkin bukan bermaksud menanggapi berbagai kritik di atas, penjelasan Ketua Panitia Sarasehan PKB 2010 (dan juga sebelumnya) Pande Made Suputra, dosen Antropologi Faksas Unud, menjelaskan bahwa tema Sarasehan tidak saja disesuaikan dengan tema PKB tetapi juga dengan lima tema pokok Kongres Kebudayaan Bali 2008. Kelima tema itu adalah Peradaban, Identitas, Diplomasi Budaya, Ekonomi, dan Hak Kekayaan Intelektual. 

Ketika tahun lalu sarasehan membahas (politik) identitas dalam proses menggali kecerdasan diri, maka tahun 2010 sarasehan difokuskan pada tema Diplomasi Kebudayaan. Jika direnungkan, tema ini pun berkait dengan atau bisa dimasukkan ke dalam kategori kajian Baliologi. 

Namun, kalau hendak difokuskan pada penggalian teks-teks sastra saja, mungkin juga baik adanya. Sejauh ini, teks-teks gaguritan dan kakawin banyak diapresiasi lewat kegiatan githa shanti atau mabebasan lainnya, namun pembahasannya biasanya bersifat permukaan, maka sarasehan kalau membahasnya bisa merancang agar ada apresiasi yang lebih dalam dan kontekstual. Kalau mau membahas teks sastra, bahannya tidak akan pernah habis, dan tentu tergantung bagaiman pembahas mengontekstualisasikan isi teks dengan jiwa zaman saat teks ditulis dan dibaca sekarang. 

Tak ada satu pun buku yang terbit dari sarasehan yang sudah berjalan sekian kali. Ada yang menyarankan agar makalah dan pembahasan dalam Sarasehan PKB dibukukan agar bisa disimak dan disimak terus, agar mutiara pemikiran tidak dihanyutkan angin. Buku atau tidak, ini tentu berkaitan dengan dana. 

Lalu, bagaimakah sebaiknya Sarasehan PKB dilaksanakan?

 Pengamat dan Panitia tampaknya perlu melakukan ‘sarasehan’ tersendiri yang membahasa apa yang seharusnya dan sebaiknya dibahas dalam ‘Sarasehan PKB’. Bukankah lurus atau melenceng tidaknya Sarasehan PKB tergantung dari pedoman yang dipatok. Kalau pedomannya mengharuskan menerbitkan buku, lalu kalau tidak ada buku terbit, berarti pelaksanaan sarasehan ‘melenceng’, kalau sudah sesuai pedoman, berarti lurus dan bagus. Kalau pedomannya mengharuskan kuota 30% peserta perempuan, atau 50% kalangan non-akademik, maka pedoman harus diindahkan. Kalau pedomannya mengharuskan bahasa Bali sebagai media Sarasehan, maka panitia harus mengindahkannya.

 Selama ini pedoman yang jelas belum ada. Pedoman Sarasehan itulah tampaknya yang perlu disusun terlebih dahulu lewat sebuah sarasehan agar rambu-rambunya jelas. Hanya dengan demikian kritik dan saran bisa diantisipasi.

Darma Putra