Jadikan Pawai Etalase Acara Pertunjukan.
ACARA pawai Pesta Kesenian Bali (PKB) Sabtu (12 Juni), tampak sedikit rancu. Jenis ritual suci panca yadnya, seperti mecaru, ditampilkan dalam pawai. Beberapa peserta menampilkan adegan mirip mecaru dengan sesajen dan pemangku. Pemangkunya riil, entahlah sarana sesajen apakah ‘asli’ atau ‘asal-asalan’.
Ada peserta pawai yang membawa ayam, mengingatkan bahwa mecaru senantiasa diiringi tabuh rah (adu ayam). Sebagian orang mengatakan itu bukan mecaru, tetapi mirip mecaru.
Ini memang bukan pawai pertama yang menampilkan peragaan mirip ritual (ritual-ritualan?). Di Denpasar beberapa bulan lalu ada acara kesenian yang menampilkan atraksi seperti pernikahan dan pengabenan.
Meski bukan pertama, pawai bernada ritual dalam PKB tetap membuat kita tercenung dan bertanya: bolehkah ritual dipertontonkan? Kalau selama ini banyak prosesi agama disaksikan wisatawan, itu wajar karena hal itu dilaksanakan demi ritual, bukan ritual yang sengaja digelar untuk tontonan.
Dunia pariwisata yang sering dijadikan kambing hitam sebagai sektor yang membuat komersialisasi budaya berulang-kali diwanti-wanti agar tidak mengomersialkan ritual. Ketika terbetik berita Mick Jegger dan Jerry Hall menikah gaya Bali di Ubud, publik naik pitam dan protes.
Begitu juga ketika ada pasangan homo dari Belanda dikabarkan ‘menikah’ gaya Hindu di Tabanan, reaksi masyarakat mencuat. Berita ini dibantah karena yang terjadi bukan pernikahan tetapi proses orang asing masuk Hindu. Tetapi, karena pelaku dari kedua kegiatan tersebut orang asing, dan tiap orang asing dianggap turis, kedua peristiwa itu dianggap dampak negatif pariwisata.
Kian kuat tuduhan publik bahwa pariwisata menimbulkan polusi budaya. Reaksi masyarakat untuk mengingatkan agar ritual agama tidak boleh dikomersialkan, dijadikan permainan, atau tontonan, pantas dipuji. Tetapi, bagaimana kita mesti bersikap kalau ternyata orang Bali sendiri yang menjadikan prosesi ritual agama mereka sebagai tontonan?
Mengapa Pawai Ritual?
Dalam konteks pawai PKB, munculnya peragaan ritual mirip mecaru untuk penyucian pertiwi terjadi mungkin karena hal-hal berikut.
Pertama, peserta pawai dari kabupaten/kota mencoba menampilkan pawai sesuai dengan tema yang disodorkan panitia PKB. Tema pawai PKB 2010 ‘Bhuana Kerthi’ (penyucian alam semesta). Dalam adat Bali, penyucian antara lain bisa dilakukan dengan mecaru. Karena tema pawai diambil dari kosa kata ritual, tidak mengherankan kalau peserta pawai menampilkan prosesi ritual.
Kedua, pawai mecaru yang ditampilkan kontingen kabupaten/kota merupakan bukti lemahnya kreativitas seni mereka. Artinya, jika kreatif, mereka bisa mengemas seni pertunjukan yang merefleksikan semangat penyucian pertiwi. Masyarakat Bali paling piawai mengadopsi kehidupan riil ke dalam karya seni, seperti terlihat dalam kreasi Tari Nelayan, Tari Tenun, Tari Cendrawasih. Bukan burung yang ditampilkan di panggung tetapi gerak burung diimitasi dalam kreasi.
Dalam konteks menyajikan pesan penyucian bumi, bukan mecaru yang mesti diangkat ke pawai, tetapi kemasan tari atau teater yang mengedepankan spirit penyucian bumi.
Ketiga, peserta pawai tidak memiliki cukup waktu membangun kreativitas untuk membuat pertunjukan sesuai tema. PKB merupakan acara yang digelar rutin, tetapi selalu muncul banyak keluhan dari seniman bahwa mereka tidak dapat waktu cukup untuk belatih, alias didadak untuk tampil. Walau tema sudah disiapkan, mungkin setahun sebelumnya, mepetnya waktu untuk seniman berkreasi sering terjadi karena urusan birokrasi penunjukan dan penyediaan dana.
Dalam PKB 2010, misalnya, soal dana sempat mencuat hendak dipotong, sehingga beberapa daerah harus mengurangi paket seni yang ditampilkan, tetapi belakangan Pemprov Bali tidak jadi memotong anggaran PKB. Tetapi, karena ini terjadi pada beberapa waktu terakhir, masuk akal keluhan seniman bahwa mereka tidak memunyai cukup waktu untuk berkreasi. Ketika mendengar ‘Bhuana Kerthi’ maka langsung saja menampilkan ritual mirip mecaru tanpa kreasi seni.
Tema Lugas
PKB sudah berjalan 32 kali, tiap tahun, dan tentu saja tidak mudah membuat tema menarik tiap tahun. Tetapi, komitmen menggelar PKB tiap tahun harus memaksa panitia mampu melahirkan tema kreatif yang dapat mencegah lahirnya pawai kesenian yang mirip-mirip ritual agama.
Beberapa waktu lalu, panitia berhasil membuat tema yang dalam penjabarannya begitu lugas dan menarik, misalnya tema Tantri. Tantri merupakan kisah sejenis seribu satu malam, dan ini ada dalam sastra dan bisa diangkat ke dalam pertunjukan dan pawai. Pernah ada tema topeng (tapel), yang dalam pawai dan pertunjukan serta pameran dan sarasehan menampilkan kekayaan khazanah topeng Bali.
Unsur-unsur sakral masuk di dalamnya tetapi tidak sampai menampilkan parade mirip-mirip aktivitas ritual agama. Untuk selanjutnya, tema PKB perlu dibuat luas tanpa membatasi seniman untuk menafsirkan, sekaligus lugas agar tercegah penafsiran mentah khususnya untuk pawai dan pertunjukan.
Dalam pawai dan pertunjukan diharapkan tema menjadi perekat dominan walaupun tidak mesti tampak dalam semua pementasan.
Alternatif tema yang bisa diangkat misalnya suling, dengan harapan dominan pawai dan pertunjukan menampilkan kesenian yang mengandung unsur seruling. Beberapa tema yang sudah diangkat pada masa lalu bisa didaur-ulang dengan energi kreatif baru, misalnya musik bambu (angklung, jegog), bunga dan buah antara seni dan persembahan.
Tidak ada salahnya mendaur-ulang tema karena sudah terjadi pergeseran generasi seniman dan penonton dalam jagat PKB.
Kawinkan
Pawai kesenian PKB sepertinya terpisah dengan program pertunjukan. Ke depan, acara keduanya bisa dikawinkan. Caranya beberapa kesenian yang akan tampil dalam pertunjukan selama sebulan ditampilkan dalam pawai. Idenya, menjadikan pawai sebagai etalase kegiatan pertunjukan.
Kalau dalam pertunjukan PKB ada parade joged bumbung, alangkah eloknya kalau penari joged yang akan tampil itu diundang pawai. Saat tampil pawai, kehadiran mereka dipromosikan pembawa acara ‘inilah penari-penari joged yang akan tampil di Art Centre..saksikan…jangan lewatkan….’.
Begitu juga para dalang, atau tim kesenian lainnya.
Selama ini kaitan antara pawai dan pertunjukan renggang sekali. Tetapi, tentu tidak semua yang tampil di pertunjukan harus ditampilkan dalam pawai. Kalau antara pawai PKB dan pertunjukan bisa dikawinkan, kita tidak perlu khawatir peserta dan panitia kehabisan acara pawai, kita tak perlu tercenung melihat peragaan mirip mecaru atau mirip ritual panca yadnya Hindu lainnya.
Bagaimanapun, PKB merupakan pesta kesenian, bukan pesta adat apalagi agama, walau harus diakui bahwa di Bali seni, adat, budaya, dan agama sulit dipisah-pisahkan.
• Darma Putra
sumber: Tokoh, Minggu, 20 Juni 2010
http://www.cybertokoh.com/index.php?option=com_content&task=view&id=974&Itemid=61