JANGAN pernah berkata bahwa Anda sudah ke Bali kalau belum melawat ke Ubud. Jangan pernah mengklaim Anda sudah ke Ubud kalau belum menikmati pesona dan atmosfir Puri Ubud.
Sekali Anda ke Puri Ubud, selamanya Anda akan ingin kembali lagi. Kesan-kesan para wisatawan yang pergi ke Puri Ubud dan senantiasa ingin kembali lagi tertuang dalam guest books (buku tamu) Puri Ubud tahun 1950-an sampai 1980-an.
Salah satu di antaranya ditulis 19 Maret 1966 oleh sepasang turis Hellen dan Allen O’Brien, alamatnya 1245 Bayside Drive, Newport Beach, California. Dalam kesan-kesannya setelah berkunjung (dan mungkin menginap), mereka menulis begini:
“With great regret we leave Bali after much too short a stay! We will never forget this wonderful atmosphere of tranquility. Your Puri is the place we hope most to return to”.
Artinya, dengan rasa sedih kami meninggalkan Bali sesudah kunjungan dan tinggal dalam waktu yang begitu singkat. Kami tidak pernah lupa akan atmosfir harmoni yang mempesona. Kami sangat berharap bisa kembali lagi ke puri Anda. ata ‘Anda’ dalam kesan itu ditujukan kepada penglingsir (Raja) Puri Ubud waktu itu, Tjokorda Gde Agung Sukawati.
Puri Ubud yang terletak di depan pasar Ubud mulai dibuka untuk akomodasi sejak tahun 1948, atas saran pelukis Walter Spies mengingat kian tumbuhnya permintaan akan akomodasi. Minat wisatawan untuk tinggal di Puri bukan hanya karena absennya akomodasi memadai waktu itu di Ubud, tetapi yang lebih penting untuk bisa menikmati pesona Puri.
Sejalan dengan perkembangan pariwisata Ubud yang ditandai munculnya akomodasi dan hotel, mulai tahun 1980-an, Puri Ubud menutup pintu menerima wisatawan menginap. Meski demikian, sebagai daya tarik wisata Puri Ubud tetap dibuka dengan penuh keramahan. Wisatawan bisa bebas masuk, tanpa membayar tiket.
Di halaman luar Puri, secara regular dilaksanakan pementasan kesenian pada malam hari. Siang hari sering ada kegiatan berlatih seni tabuh dan tari yang juga menjadi daya tarik tersendiri buat wisatawan. Sejak zaman kolonial sampai sekarang barangkali sudah puluhan juta wisatawan nusantara dan asing berkunjung ke Puri Ubud. Puri ini merupakan salah satu pilar penting untuk menopang citra positif Bali sebagai destinasi pariwisata budaya.
Buku Tamu
Puri Ubud sudah menyediakan buku tamu sejak tahun 1930-an, namun sekarang ini tersisa tujuh buku, yang tertua dari tahun 1949, setahun setelah Puri Ubud mulai menerima turis menginap. Buku tamu itu berupa buku tulis besar. Di dalam buku itulah, wisatawan yang menginap atau yang sekadar berkunjung menulis kesan dan kenangannya. Kesan itu bisa khusus tentang Puri Ubud tetapi juga banyak tentang pesona daerah sekitarnya.
Menyediakan buku tamu buat wisatawan merupakan ide sederhana tetapi dalam konteks Puri Ubud makna dan manfaatnya luar biasa untuk merekam kesan pariwisata Ubud khususnya dan Bali umumnya.
Dari tujuh buku tamu itu terdapat sekitar tidak kurang dari 5000 kesan dan kenangan wisatawan yang ditulis tahun 1950-an sampai 1980-an. Secara kuantitatif dan dibandingkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Puri Ubud, angka 5000 itu relatif sedikit. Tetapi, kelas wisatawan dan kesan yang mereka tulis jauh lebih penting daripada jumlahnya.
Komentar yang ditulis dalam buku tamu menggunakan aneka bahasa seperti Belanda, Arab, Jerman, Jepang (dengan huruf kanji), dan Indonesia. Wisatawan yang menulis berasal dari berbagai negara seperti Inggris, AS, India, Jepang, Thailand, dan Australia. Ini menunjukkan waktu itu Ubud sudah dikunjungi wisatawan dari berbagai negeri.
Jika dilihat profesinya, wisatawan yang menulis komentar ada yang berlatar belakang wartawan, sastrawan, tamu negara, duta besar, dan wisatawan biasa (tanpa menyebutkan profesi). Jefl Last, penulis Belanda yang mengubah kisah Jayaprana, sempat menorehkan kesannya dalam buku tamu tiga kali, masing-masing tahun 1949, 1950, dan 1952.
Kesannya antara lain ditulis dalam bentuk puisi. Turis dari Jerman Barat, Peter Stich, menulis kesannya Juni 1962, mirip seperti apa yang ditulis Hellen dan Allen dari Kalifornia, seperti berikut:
This was my first visit to Bali / Ubud, and I know, if at all possible that it wont be the last one. I hope that the freedom of people of Bali , and with it their culture, and friendliness will never change. I believe there is nothing like Bali on our globe. I will be seeing you again.
Artinya: Ini wisata pertama saya ke Bali, Ubud, dan saya tahu, kalau keadaan memungkinkan ini bukanlah perjalanan yang terakhir. Saya berharap kemerdekaan masyarakat Bali dan kebudayaannya serta keramahtamahannya tidak akan pernah berubah. Saya percaya tidak ada tempat lain di dunia ini seperti Bali. Saya akan mengunjungi Bali lagi.
Ada banyak kesan yang terkadang ditulis dalam bentuk puisi, syair, dan diisi ilustrasi. Semuanya merefleksikan keriangan sang wisatawan. Kata-kata yang digunakan terkadang melankolis. Misalnya Rahnon Jan Black dari Hyde’s Hill Road 01096, Williamsburg , Massachuset, USA, menulis bahwa ketika dia mengakhiri liburannya di Bali dia meninggalkan separuh hatinya di Bali (I’m leaving half of my heart). Surat Robert Kennedy Dalam buku tamu ada juga kliping koran atau surat yang ditujukan kepada Tjokorda Gde Agung Sukawati. Semuanya berisi puja-puji atas pesona alam dan budaya Ubud.
Salah satu surat penting datang dari Jaksa Agung Amerika Serikat Robert F. Kennedy, tertanggal 18 Februari 1962, dan surat dari Gedung Putih yang ditandatangani sekretaris pribadi Presiden AS, Evelyn Lincoln, tertanggal 30 Agustus 1962. Surat dari Gedung Putih itu berisi ucapan terima kasih atas lukisan yang diberikan Tjokorda Gde Agung Sukawati kepada Presiden AS lewat Jaksa Agung.
Buku tamu dan surat-surat dari pejabat negara asing yang diterima Tjok. Gde Agung Sukawati tidak hanya menunjukkan bagaimana daya tarik Bali pada wisatawan asing waktu itu tetapi juga menyarankan Sang Raja mampu melakukan semacam public relations untuk pencitraan Bali, menciptakan kesan Bali yang positif. Sebagian dari popularitas Ubud dan Bali dewasa ini adalah hasil usaha Tjokorda Gde Agung Sukawati bersama masyarakat dan seniman setempat pada masa lalu.
Bukan Puja-puji Kosong
Mungkin banyak yang berpikir, ungkapan dalam buku tamu merupakan ungkapan berlebihan, penuh puja-puji kosong yang tidak merefleksikan akurasi realitas. Skeptisme seperti itu bisa dibantah dengan kenyataan kian kuatnya magnet Ubud hingga dewasa ini dalam menarik wisatawan untuk datang dan datang lagi.
Penulis Amerika Elizabeth Gilbert pun sekali datang ke Ubud, akhirnya datang lagi. Ketika dia datang dan datang lagi, dia berhasil menulis novel laris Eat Pray Love (2006). Novel ini telah diangkat ke layar perak dengan judul sama, dengan bintang Hollywood jelita Julia Robert. Siapa pun yang datang ke Ubud akan datang dan ingin kembali lagi. Puja-puji wisatawan yang tertulis dalam buku tamu Puri Ubud adalah kesan yang merefleksikan realitas betapa mempesona dan harmonisnya alam dan kultur Ubud.
• Darma Putra
http://www.cybertokoh.com/index.php?option=com_content&task=view&id=871&Itemid=97
Pertengahan tahun 70an pernah mengajak seorang dr dengan suaminya dari amerika dan bertemu langsung dengan Tjokorda gde Agung Sukawati, setelah berbincang sesaat kita lalu diundang untuk makan siang bersama,hidangan khas masakan bali. Tamu tsb merasa bangga mendapat jamuan khusus dari Tjokorda Sukawati. Beliau juga banyak mengenal keluarga dari Tatiapi (Pejeng). Ucapan yang masih teringat sampai saat ini ketika beliau mengatakan ” dija ade langit ane endep”.
Top site ,.. amazaing post ! Just keep the work on !