Gerbang memasuki arena Festival Gajah Mada 2008, digelar akhir Desember untuk menyambut datangnya Tahun Baru 2009.

Pengantar

 Denpasar sudah sejak lama dibangun menjadi ‘kota budaya’ tetapi hal itu dilaksanakan tanpa dibarengi usaha memadai membangun ‘budaya kota’. Pada saat ini, Denpasar sudah kian padat dan heterogen penduduknya, kian padat lalu-lintasnya, kian kompleks persoalan yang potensial muncul, maka tidaklah solid membangun ‘kota budaya’ tanpa sekaligus membangun ‘budaya kota’. Bagaimana caranya?

Tulisan singkat ini akan menawarkan bahan diskusi seputar langkah untuk membangun ‘budaya kota’ yang menjadi penopang kokohnya langkah strategis membangun Denpasar sebagai ‘kota budaya’ atau kota berwawasan budaya. Di bagian akhir, disinggung juga sedikit tentang peran sentral Radio Pemkot Denpasar (FM 91.45) dalam memasyarakatkan pesan-pesan sosial yang merupakan basis nilai dari budaya kota.

Sejak Pemerintah Kolonial

Usaha menjadikan Denpasar sebagai kota budaya sudah tampak sejak pemerintah kolonial Belanda. Hal itu berlanjut secara melompat-lompat sampai dengan sekarang. Segera setelah menguasai keseluruhan Bali pasca-perang Puputan Badung 1906 dan Puputan Klungkung 1908, Belanda mengambil kebijakan untuk melestarikan kebudayaan Bali dan menjadikan Bali sebagai daerah tujuan wisata.

Berbagai usaha ke arah itu diambil termasuk mendirikan Bali Hotel 1928 dan Museum Bali 1932. Museum Bali menjadi ikon Denpasar sebagai kota budaya. Konsep pembangunan museum Bali sebagai museum etnografi agak unik karena inilah museum yang identitasnya tidak hanya bisa dilihat dari koleksi artefak yang dipajang di dalam gedung tetapi juga sekaligus dari arsitektur bangunannya yang merupakan campuran dari arsitektur puri dan pura. Pertimbangan Belanda ikut ‘memuseumkan’ artsitektur Bali berdasarkan perkiraan bahwa arsitektur itu kelak akan lenyap antara lain ditenggelamkan bangunan atau gedung-gedung modern menyerupai arsitektur Belanda. Banyangan tersebut ternyata meleset karena terbukti arsitektur Bali tumbuh terus, entah lewat pura, puri atau hotel.

Tahun 1970-an, pemerintah Orde Baru kembali menambah ikon budaya kota Denpasar dengan mengganti lonceng peninggalan Belanda di pusat kota dengan Patung Catur Muka dan membangun Taman Budaya yang lebih dikenal dengan Art Centre. Selain karena sudah tua, lonceng di ujung timur Jalan Gajah Mada itu dianggap tidak cocok dengan spirit estetika kultural Bali. Patung Catur Muka menggantikannya dengan pesona yang pas dengan spirit budaya Bali.

Kompleks Art Centre berisi beberapa panggung terutama Ardha Chandra dan ruangan untuk memamerkan karya seniman Bali, baik lukisan maupun patung. Galeri seni Art Centre pernah tampil berwibawa dan memikat, tetapi kini dalam usia tiga dekade redup karena berbagai faktor antara lain karena koleksinya tidak terjaga dengan baik. Peran penting Art Centre sekarang tampaknya sebatas sebagai arena pelaksanaan tahunan Pesta Kesenian Bali.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, event PKB memberikan kontribusi penting mewujudkan Denpasar sebagai kota budaya. Ikon budaya lain yang dimiliki Denpasar adalah Bhajra Sandhi, yang sesekali juga dijadikan latar belakang pementasan, baik untuk seni tradisi Bali maupun musik modern. Selain ikon ini, pemerintah kota Denpasar secara reguler mementaskan kegiatan kesenian di taman Puputan Badung sebagai usaha memperkuat langkah menciptakan Denpasar sebagai kota budaya.

Dalam sebuah artikel di English Cornor Bali Post yang terbit tahun 1991, Jean Couteau, menuliskan pengamatannya tentang sikap pemuda kota Denpasar terhadap seni pertunjukan Bali. Sosiolog asal Perancis yang sudah lama menetap di Bali itu berpendapat bahwa: ‘The city youth feels increasingly ‘embarresed’ (lek), to attend Balinese shows, except in relation to tourists, preferring the pounding vulgarity of pop music as promoted on their TVs’ (Couteau 2008:209). Artinya bahwa ‘pemuda kota kian merasa malu atau ‘lek’ (bahasa Bali) menyaksikan pertunjukan kesenian Bali kecuali yang berhubungan dengan turis, mereka lebih suka hentakan vulgar musik pop yang ditayangkan di televisi’.

Penilaian di atas mungkin ada benarnya ketika ditulis hampir dua dekade lalu, tetapi perkembangan mutakhir menunjukkan kebalikannya. Rasa bangga generasi muda Bali terhadap keseniannya kian tumbuh dan ini bisa dilihat dari minat mereka menonton seni pertunjukan Bali seperti tari-tarian, lagu pop Bali, dan wayang, juga dalam minat mereka untuk belajar menari dan menembangkan gaguritan, kidung, dan kakawin. Pelaksanaan PKB dan penggiatan pengenalan kesenian daerah di sekolah termasuk yang dilsakanakan dan disponsori Pemkot Denpasar merupakan program yang ikut memberikan andil pada munculnya rasa bangga generasi muda Bali terhadap keseniannya.

Kini tidak keliru menyimpulkan bahwa kian banyak anak muda Bali yang bisa makidung dan yang menggemari lagu pop Bali dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Generasi muda Bali kian bangga menjadikan kesenian daerah sebagai lambing identitasnya. Walaupun rasa bangga akan kesenian sudah tumbuh, belum berarti bahwa cita-cita menjadikan Denpasar sebagai kota berwawasan budaya sudah tercapai final. Perintangnya banyak sekali, selain karena ikon budaya seperti Art Centre dan Museum Bali kian pudar keberadaaannya secara fisik dan spiritual, juga karena secara keseluruhan di Denpasar belum ditumbuhkan secara memadai apa yang dinamakan sebagai budaya kota. Buktinya situasi lalu-lintas, kondisi lingkungan, dan kepedulian sosial masyarakat kian mencemaskan dalam akselerasi perubahan kota yang tidak bisa dibendung.

Perubahan Denpasar

Tidak bisa disangkal lagi, Denpasar dari dulu hingga kini, sudah berubah, dari kota kerajaan menjadi kota republik, dari daerah agraris menjadi daerah industri (jasa). Pertumbuhan jumlah penduduk dengan segala kompleksitasnya telah mengubah lanskap dan perangai kota Denpasar.

Salah satu ciri kota besar yang juga tampak di Denpasar adalah jumlah penduduk yang kian padat, orang tinggal berdekatan tetapi belum tentu saling mengenal. Sistem sosial budaya Bali yang mengikat penduduk dalam ikatan banjar, desa, dadia, dan bentuk komunalitas lainnya memang tidak membuat proses individualisasi manusia seperti di kota-kota besar di dunia lainnya, tetapi perasaan individu dan ketidakpedualin juga mulai tumbuh mewarnai budaya kota yang anomie.

Tahun 1971, sastrawan Made Sanggra dengan menarik melukiskan denyut perubahan kota Denpasar lewat sebuah sajak berbahasa Bali berjudul denpasar sanè mangkin (denpasar dewasa ini):

denpasar sanè mangkin
katah umah nyujuh langit
makwèh sawah dados umah
umah dados sawah
denpasar sanè mangkin
pasliwer wong sunantara
solahnyanè solèh-solèh
payasnyanè melagèndah
melalung mekamen lambih
macukur mabok dawa
luh matingkah muani
muani maambek…..

 

Sajak yang ditulis di awal perkembangan Bali menjadi daerah tujuan wisata massal (mass tourism) bisa disimak lewat dua lapis pemaknaan. Lapis pertama, sajak ini, mulai dari bagian awalnya melukiskan perubahan lanskap Denpasar dari suasana agraris persawahan menjadi suasana perkotaan yang ditandai dengan berdirinya gedung-gedung bertingkat yang menggapai langit (nyujuh langit), termasuk salah satunya yaitu Hotel Bali Beach di Sanur.

Kebutuhan urbanisasi membuat banyak sawah disulap menjadi rumah dan rumah-rumah dibangun bertingkat. Ungkapan ‘nyujuh langit’ agak hiperbolis karena senyatanya Bali memberlakukan regulasi tinggi maksimal bangunan hanya 15 meter. Meski demikian, hadirnya gedung-gedung bertingka mewakili apa yang digambarkan sajak di atas. Bagian berikutnya melukiskan Denpasar sebagai kota wisata yang dikunjungi banyak orang asing (wong sunantara). Di mata penyair Made Sanggra, perilaku dan perangai turis itu agak aneh.

Tahun 1970-an, Denpasar mulai banyak dikunjungi wisatawan dan mereka biasanya mengenakan sarung dengan baju minim, terkadang singlet saja atau topless, untuk menyesuaikan diri dengan udara kota yang tropis. Wisatawan yang muncul biasanya berambut panjang, mirip dengan hippies.

Di mata penyair dan ukuran kesopanan saat itu, penampilan mereka dianggap aneh untuk ukuran Denpasar saat itu. Tapi, wong sunantara bisa juga dianggap kaum migrant yang kemudian memperhebat urbanisasi di Denpasar, yang selanjutnya membuat kian meningkatnya konversi sawah menjadi rumah.

Dalam lapis kedua, sajak Made Sanggra ini melukiskan dampak sosial dari perubahan lanskap kota Denpasar. Ungkapan umah dados sawah menunjukkan perubahan sumber mata pencaharian masyarakat. Kalau dulu ‘sawah’ sebagai sumber pendapatan, kini ‘rumah’ menjadi sumber penghasilan khususnya bila mengacu pada rumah-rumah kost yang bermuculan di Denpasar.

Banyak warga kota yang beruntung punya sawah lalu diubah menjadi rumah kost dan hidup dengan hasil sewa rumah kost. Lukisan perilaku manusia yang aneh-aneh adalah ekspresi kekhawatiran penyairnya tentang munculnya fenomena kehidupan kota yang anomie ketika luh matingkah muani (wanita berperilaku seperti laki-laki) dan merosotnya nilai moral. Dalam konteks sajak Made Sanggra, sumber anomie ini seolah bersumber dari wong sunantara. Dampak negatif pariwisata bukan merupakan rahasia lagi, tetapi Denpasar dan Bali secara umum sudah tanpa ragu-ragu menjadikan pariwisata sebagai sumber perekonomian.

Akurasi penggambaran fenomena kota atau kehidupan urban (urban life) sudah banyhak diberikan oleh kalangan sosiolog. Keakuratan definisi mereka tentang kota terletak pada kemampuannya untuk menunjukkan sisi positif dan negatif kota sekaligus dalam oposisi biner. Durkheim berpendapat bahwa urban life merupakan ruang kreativitas, kemajuan, dan tatanan moral baru (creativity, progress and a new moral order) sekaligus sebagai arena pembusukan moral (moral decay) dan sirnanya aturan-aturan sosial atau anomi (Barker 2000:296).

Marx melihat urban life sebagai lambang kemajuan dan lompatan besar produktivitas yang dibeli oleh kapitalisme, sebaliknya juga sebagai arena kemiskinan, ketakpedulian, dan penderitaan. Walaupun batasan tentang kehidupan urban di atas disusun berdasarkan apa yang terjadi di kota-kota di Barat yang berciri industri yang kental, situasinya sedikit banyak juga tampak di kota-kota di Indonesia.

Pemerintah dan masyarakat pasti mendambakan perkembangan kota Denpasar bisa menjadi arena produktivitas, kreativitas, dan memberikan kemajuan-kemajuan serta tidak ingin melihat kota menjadi arena tumbuh suburnya ketidakpedualian dan pembusukan moral sosial. Atau, setuju kota Denpasar menjadi arena untuk memacu proses-proses produksi demi keberlanjutan perekonomian tetapi tidak mau kemajuan itu menyuburkan proses pemiskinan atau kemiskinan. Dengan kata lain, bagaimana menjadikan Denpasar sebagai kota yang berkembang dengan ciri positif kehidupan urban sekaligus mencegah dampak negatifnya seperti yang digariskan oleh Weber dan Marx di atas.

Membangun Budaya

Kota Yang dimaksud dengan budaya kota adalah gaya hidup manusiawi yang diupayakan untuk memenuhi tuntutan kenyamanan warga kota secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.

Mengingat kota merupakan arena perjuangan berbagai kepentingan dari orang, kelas, golongan untuk mewujudkan angan-angan atau ambisinya yang tak jarang di luar rasio normal, maka membangun budaya kota dengan tatanan dan aturan yang kuat merupakan hal yang utama.

Kota budaya akan semakin kuat dan menjadi ideal jika ditopang dengan pembangunan budaya kota. Banyak hal yang bisa dilaksanakan untuk membangun budaya kota, tiga yang disarankan di sini untuk diadopsi adalah apa yang sudah pernah digariskan oleh pemerintah-pemerintah sebelumnya adalah:

1. Membangun dan memperkuat kesadaran akan hukum (darkum).
 2. Membangun dan memperkuat kesadaran akan lingkungan (darling).
3. Membangun dan memperkuat kesadaran akan kemanusiaan (darman).

Kesadaran warga akan hukum diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial. Persoalan yang dihadapi Denpasar sekarang ini adalah masih lemahnya kesadaran masyarakah mematuhi hukum dan aturan sosial, termasuk misalnya dalam lalu-lintas. Parkir sembarangan atau pemilik ruko sembarangan melarang orang parkir di depan propertinya membuat Denpasar kehilangan pesona kota berwawasan budaya.

Untuk mencegah agar orang tidak memarkir kendaraan di halaman tokonya, pemilik toko memasang memancang patok dan rantai. Pemandangan ini membuat Denpasar sebagai kota yang egois dan gawat. Mengapa tidak dipasang tanda dilarang parkir saja? Terbatasnya fasilitas parkir memang merupakan kendala yang perlu dipecahkan tapi penghayatan dan pengalaman masyarakat agar tertib hukum sangat perlu ditanamkan. Gagal membangun lalu-lintas yang baik tidak saja dapat menimbulkan penyebab stress bagi warga kota dan menghambat kelancaran perekonomian tetapi juga akan membuat citra Denpasar sebagai kota budaya akan ambrol.

Citra Denpasar sebagai kota berwawasan budaya juga sangat ditentukan oleh lanskap lingkungan yang ada, mulai dari esetetika kota sampai dengan ihwal kebersihan. Kota Denpasar tampak meniru kekeliruan kota-kota lain dengan membiarkan dirinya terpolusi spanduk dan baliho hanya karena kemauan merebut retribusi reklame. Pemasangan poster dengan paku-paku dan kawat di batang pohon tak hanya menyiksa tanaman tetapi juga menodai estetika kota. Ini harus dicegah untuk mewujudkan kota yang indah dan ramah lingkungan.

Lihatlah toko-toko di Jalan Gajah Mada, khususnya di daerah barat sungai, semuanya tampak semrawut dengan barang dagangan yang bergelantungan meluber ke luar merusak pesona kota. Pedestrian yang bermutu rendah juga menjadi noda bagi pesona Denpasar. Ini juga harus diberikan perhatian serius. Masalah lain yang berkaitan dengan lingkungan adalah sampah.

Pemerintah memang sudah berusaha terus untuk memecahkan masalah sampah, tetapi diperlukan usaha lebih keras lagi untuk membuat Denpasar kota yang benar-benar bersih. Agar peran pemerintah lebih ringan, kesadaran masyarakat akan kebersihan dna keleastarian lingkungan harus diperkuat. Faktor paling terakhir yang tidak kalah pentingnya untuk membangun kota berwawasan budaya adalah menumbuhkan kesadaran warga kota agar menjadi insan-insan yang sopan dan ramah, menghargai manusia lain dengan ketulusan dan jiwa besar tanpa berarti merendahkan martabat.

Denpasar yang kian lama menjadi kota urban dengan penduduk heterogen sungguh memerlukan warga yang ramah. Keramahan ini tidak saja akan membuat warga kota merasa nyaman dalam berinteraksi atau menyelesaikan urusan di kantor-kantor tetapi juga akan menyenangkan hati para wisatawan. Kesan baik ini akan memperkuat citra Denpasar sebagai kota budaya.

Langkah pembinaan budaya kota ini harus dilakukan secara terencana, strategis dan berlanjut. Kalau selama ini program kota Denpasar berwawasan budaya merupakan program dari pemerintah ke masyarakat alias top down, maka program pembinaan budaya kota harus dilakukan dari dua arah, yaitu top down dan bottom up, dengan menggunakan lembaga pendidikan dan media massa serta lembaga-lembaga pemerintahan desa sebagai arena untuk membangun budaya kota. Anak-anak sekolah supaya diarahkan untuk ikut aktif mencari formula untuk membangun budaya kota di jiwa masing-masing.

Manusia memiliki sifat-sifat lahir untuk mencari gampang, keuntungan sendiri meski dengan melanggar aturan sekalipun, oleh karena itu tidaklah mungkin mengharapkan kesadaran akan hukum, lingkungan, penghargaan kepada manusia lain bisa tumbuh secara otomatis. Artinya, diperlukan rekayasa sosial yang berkelanjutan untuk membangun insan-insan yang memiliki darkun, darling, dan darman.

Syukurlah Pemkot Denpasar mempunyai media elektronik Radio Pemerintah Kota Denpasar yang sudah dijadikan media untuk membangun budaya kota. Iklan-iklan sosial atau layanan masyarakat Radio Pemkot sangat persuasif, mendorong masyarakat untuk bersama membangun Denpasar menjadi kota budaya, kota yang bersih, dan nyaman. Pesan-pesan jangan membuang sampah sembarangan, ketertiban lalu-lintas, iklan yang melarang pengendara motor/mobil menggunakan handphone saat berkendaraan, iklan dilarang parkir sembarangan, dan sejenisnya muncul dalam iklan layanan masyarakat. Iklan sosial ini sangat penting dalam upaya membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat mematuhi aturan dan terpanggil menjaga kebersihan demi kepentingan bersama.

Peran radio Pemkot dalam sosialisasi nilai-nilai budaya kota untuk taat peraturan, hidup bersih seperti itu patut diteruskan. Agar pesan-pesan yang mendukung terbentuknya budaya kota itu efektif dan menjangkau lebih banyak pendengar, pengelola radio harus mampu membuat acara radio yang menarik baik bagi anak muda maupun orang tua.

Penutup

Pembangunan Denpasar sebagai kota (berwawasan) budaya tidaklah cukup dengan menggelar pentas seni budaya atau festival serta membangun ikon fisik budaya saja tetapi perlu dibarengi usaha strategis dan rekayasa sosial untuk membangun budaya kota.

Pembangunan budaya kota diarahkan pada peningkatan kesadaran hukum, kesadaran lingkungan, dan kesadaran kemanusiaan alias sikap ramah tamah menghormati sesama.

I Nyoman Darma Putra                                                                                 Padangsambian, 29 Desember 2009.

Catatan: Makalah disampaikan pada Seminar Denpasar sebagai Kota Berwawasan Budaya, 29 Desember 2009, di Inna Bali Hotel, diselenggarakan serangkaian dengan Festival Denpasar, Desember 2009.

Bacaan: Barker, Chris. 2000. Cultural Studies; Theory and Practice. London: Sage Publication.

Couteau, Jean. 2008. Bali today 2. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).