TOKOH, Senin, 08 Maret 2010 

Suasana Festival Gajah Mada akhir 2008 yang menampilkan tarian naga saat pembukaan. Foto Darma Putra

FESTIVAL Gajah Mada (FGM) dilaksanakan beberapa kali tahun 1964. Karena sukses, festival ini direncanakan digelar tiap tahun. Namun, setelah 1965 tidak dilaksanakan lagi mungkin karena faktor sosial politik. Tujuan FGM memberikan hiburan kepada masyarakat dan menggali dana.

Berikut penelusuran kegiatan FGM berdasarkan arsip koran Suara Indonesia (nama lama Bali Post). FGM senantiasa mendapat dukungan media massa (lihat ilustrasi). Festival pertama digelar 28 Maret-4 April 1964.

Acaranya sukses dan untung besar. Panitia mengeluarkan biaya Rp 327,981.70, sedangkan pemasukan Rp 1,061,367.38. Sisa dana yang dikantongi panitia Rp 733,385.68. Dana ini digunakan untuk membangun SMP/SMA dan beasiswa.

Berturut-turut

Mungkin karena sukses dan untung, FGM yang hendak digelar setahun sekali, malah digelar berturut-turut tahun 1964 itu. Tanggal 1-7 Juli 1964, diselenggarakan FGM dengan embel-embel “Malam Amal Gajahmada”. Pelaksananya, Mahasiswa Unud dan Angkatan Kepolisian yang saat itu merayakan HUT ke-18. Tujuannya, menggali dana untuk pembangunan Pura Jagatnatha.

Saat itu digelar aneka pertunjukan, berupa kesenian daerah Bali, kesenian nasional, dan dari etnikagama lain. Kelompok seni yang tampil pun beraneka, mulai dari pelajar, mahasiswa, kelompok profesi, seka seni dari desa, dan dari kepolisian.

Panitia menyediakan tiga panggung, yaitu Panggung Wisnu (di Timur), panggung di Pasar Senggol (tengah), dan Panggung Indra (di Barat). Wisnu dan Indra adalah nama gedung bioskop waktu itu. Kesenian Bali yang tampil seni-drama prembon berlakon “Mpu Beradah”, barong landung, kecak Bona, wayang kulit, tari topeng RRI Denpasar, janger TGA (Taman Guru Atas, Saraswati), janger SLUB (Sekolah lanjutan Umum Bawah, Saraswati), dan arja RRI Denpasar.

Ada juga lomba membuat banten tegeh. Kesenian nasional berupa band ditampilkan Orkes Dria Raba, Band Putra Dewata (pimpinan A.A. Made Tjakra), Band FKHP (Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan), Band Aneka Ria, Orkes Sinar Remaja, dan Band Bhineka Nada. Kelompok band Hawaiian dari kepolisian juga ikut mengisi acara.

Multikultur

Ada juga tari-tarian nasional yang ditampilkan SMP Negeri Denpasar dan Fakultas Kedokteran Unud. Tidak ketinggalan pementasan sulap dan lawak. Acara FGM menjadi aktivitas seni multikultur dengan tampilnya “Seruling Pemuda Katolik” dan Pencak Jawa Barat.

Tak lama berselang, acara malam Amal Gajah Mada digelar lagi, 26 September-5 Oktober. Kali ini lebih lama, yakni 10 hari. Tujuannya, mencari dana untuk melanjutkan pembangunan sekolah (SLTP/SLTA). Tidak ada informasi sekolah yang mana yang dibiayai dari dana malam amal itu.

Malam Amal Gajah Mada ini dimeriahkan orkes palajar dan pementasan barong landung. Penonton membeli tiket, dan nomor tiket diundi. Hidangan dijual Bazar SMANegeri dan Warung Sarinah.

Tahun 1964 itu Dewan Mahasiswa Unud menyelenggarakan Festival Gajah Mada dalam rangka menggali dana untuk mengirim kontingen Unud ke Pekan Olahraga Mahasiswa di Makassar. Ditampilkan berbagai acara yang ditujukan untuk mendapatkan dana seperti bazar, permainan ketangkasan, pilihan pendengar.

Pengunjung yang masuk untuk menonton festival maupun film di Indra, Wisnu, dan Jaya, membayar tiket di lima pintu masuk yakni di Barat 2, di tengah 2, dan di Timur 1. Untuk memikat pengunjung dipentaskan berbagai kesenian tradisional hingga musik Melayu (yang kini lebih dikenal sebagai musik dangdut).

Denpasar Ria

Pasca-kudeta 1965, FGM tidak ada lagi, namun ada acara “Denpasar Ria” (DR) yang berlangsung akhir April 1966. Selain untuk mengembangkan kreativitas seniman, acara ini juga dimaksudkan sebagai hiburan “operasi mental” alias menghilangkan rasa takut yang timbul sesudah pembunuhan massal.

Kegiatan pentas DR tidak dilakukan di ruangan terbuka di Jalan Gajah Mada tetapi dipusatkan di ruangan tertutup, yakni di Hotel Denpasar, Jalan Diponegoro. Hotel ini sudah tidak ada lagi, lokasinya kini berupa lahan kosong, terletak beberapa blok di utara Mal Ramayana. Acara DR digagas berlangsung tiap akhir bulan. Mata acaranya kebanyakan menampilkan band dan tari-tarian nasional yang antara lain diisi kelompok band dari Hotel Bali Beach.

Selang 44 Tahun Festival Gajah Mada tinggal kenangan. Selang 44 tahun, atas kreativitas Wali Kota Rai Mantra, FGM digelar Desember 2008 sekaligus untuk menyambut Tahun Baru 2009 dan menunjukkan komitmen menjadikan Denpasar sebagai Kota Berwawasan Budaya. Nama festival lebih ‘keren’, yakni yang disebut dengan ‘Gajah Mada Town Festival’.

Pembukaan dimeriahkan aktraksi barongsai dan sendratari Jaya Pangus, kisah pernikahan seorang raja Bali dengan putri Cina. Festival digelar di Jalan Gajah Mada dari perempatan Kartini sampai ke Catur Muka di ujung Timur, Warga masyarakat menikmati kenangan Gajah Mada tempo doeloe, menonton pertunjukan dan menikmati hidangan khas Bali. Akhir tahun 2009, untuk menyongosng Tahun baru 2010, Gajah Mada Town Festival ditingkatkan menjadi ‘Denpasar Festival’, digelar di sekitar Catur Muka, Puputan Badung, dan depan Bali Hotel.

Festival Denpasar lebih representatif untuk aktivitas dewasa ini, namun kiranya Festial Gajah Mada tetap perlu digelar sehingga Denpasar memiliki dua festival tetap: Festival Denpasar akhir tahun sekaligus menyongsong hadirnya HUT Kota bulan Februari, dan Festival Gajah Mada yang mungkin bisa digelar pertengahan tahun. * Darma Putra