Wisatawan mendorong kereta dorong di depan Puri Saren Ubud. Foto Darma Putra

Ubud baru saja terpilih sebagai ‘ kota terbaik di Asia ’. Berita ini tersebar ke seluruh dunia, khsusunya di kalangan industri pariwisata sehingga tanpa repot mengeluarkan dana, Ubud dan pariwisata Bali mendapat promosi cuma-cuma.

Masyarakat Ubud terkenal santun dan low profile. Seperti halnya juga pencapaian mereka dalam dunia seni lukis, pertunjukan dan kuliner, prestasi sebagai ‘kota terbaik’ ini pun diterima oleh tokoh-tokoh dan warga Ubud sebagai ‘cambuk’ untuk mengobarkan rasa ‘jengah’ (siap menghadapi tantangan) untuk merawat dan membangun Ubud agar tetap memikat.

Angket Pembaca

Predikat Ubud sebagai kota terbaik ditentukan berdasarkan angket 25.008 orang pembaca majalah pariwisata Conde Nast Traveller.

Indikator yang dijadikan dasar untuk menilai kota terbaik di Asia oleh majalah tersebut, seperti dilaporkan The Jakarta Post,  antara lain atmosfir (suasana), pesona lingkungan, seni dan budaya, penginapan, restoran, situs-situs objek wisata, keramahan penduduk, dan fasilitas belanja.

Hasil kalkulasi menunjukkan Ubud memperoleh nilai tertinggi, yaitu 82.5. Dalam urutan berikutnya masing-masing Bangkok (82.2), Chiang Mai (80.9), Hong Kong (81.3), Kyoto (80.2), Singapore (79.6), Shanghai (75.9), Jaipur (74.2), dan Tokyo (72.9).

Walaupun selisih angkanya tipis sekali, hanya beda 0,3 dengan Bangkok , tetapi tetap saja Ubud yang berhak menyandang predikat ‘Kota Terbaik di Asia’.

Conde Nast Traveller rutin menyelenggarakan jajak pendapat semacam ini untuk membuat rating destinasi wisata seperti pulau berlibur terbaik, spa terbaik, atau kota terbaik dengan indikator masing-masing.

Majalah pariwisata lain seperti Travel and Leisure yang bermarkas di Amerika juga sering melakukan jajak pendapat. Bali sering mendapat predikat destinasi terbaik dunia. Awal tahun 2000, Bali beruturt-turut empat kali mendapat predikat ‘world’s top destination’ dari majalah Travel and Leisure.

Jajak pendapat merupakan strategi pemasaran bagi media bersangkutan. Dengan melakukan jajak pendapat dan memberikan penghargaan kepada destinasi wisata yang mendapat predikat terbaik, media pariwisata bersangkutan juga kian menjadi populer.

Bangga dan ‘Jengah’

Predikat Ubud sebagai ‘Kota Terbaik di Asia’ memberikan rasa bangga sekaligus ‘jengah’ untuk terus berbenah sehingga predikat itu bisa dipertahankan. Atau, agar realitas Ubud sesuai dengan bahkan lebih baik dari predikat yang dianugerahkan kepadanya.

Di balik ekspresi rasa bangganya, Bupati Gianyar Tjokorda Oka alias Cok Ace mengingatkan bahwa banyak masalah urgent yang perlu dilakukan untuk mempercantik Ubud dan Gianyar pada umumnya. Yang mendesak ditangani termasuk penataan parkir, lalu-lintas, dan lingkungan lainnya, sehingga kesemrawutan yang tampak di mana-mana bisa diminimalisir.

Cokorda Kerthiyasa, salah satu tokoh Puri Ubud, di balik rasa syukurnya memandang prestasi yang diraih Ubud sebagai ‘cambuk untuk segera berbenah diri’. Anggota DPRD Bali dari Partai Golkar ini menyebutkan pentingnya penataan infrastruktur dan lingkungan lainnya di Ubud. Perasaan kedua tokoh di atas mewakili pendapat warga Ubud dan masyarakat Bali pada umumnya yang mencintai Ubud.

Di tengah segala keterbatasan, Ubud toh terus menata diri. Langkah untuk mengatasi parkir, misalnya, kini tengah dilakukan lewat proyek ‘kecil’ penataan halaman depan dan gerbang masuk ke Museum Puri Lukisan. Selain membangun tembok dan gerbang anggun berarsitektur Bali , areal itu juga ditata untuk lokasi parkir. Menurut Cok Ace, areal ini bisa menampung sekitar 50 kendaraan.  

Dibandingkan animo aliran wisatawan berkunjung ke Ubud, jumlah ruang parkir baru di gerbang Museum Puri Lukisan itu relatif kecil, tetapi jelas jauh lebih baik daripada tidak sama sekali. Akan lebih baik lagi kalau terobosan-terobosan membangun infrastruktur sejenis bisa dilakukan di spot-spot yang lain.

Kombinasi dua Taksu

Pesona Ubud merupakan kombinasi serasi antara taksu spiritual yang muncul dalam seni budaya, prestasi estetik dan keramahan penduduk di satu pihak dan taksu alam yang terpancar dari suasana, hawa, sinar mentari, lingkungan alam terutama sawah, sungai, dan lembah di pihak lain. Keindahan dan kedamaian Ubud ini hanya bisa dinikmati dengan optimal oleh pelancong yang sudi menghabiskan waktu beberapa hari atau menginap di Ubud, oleh mereka yang semapt masuk ke ‘dalam’ Ubud.

Bagi pelancong pelintas sepintas, mereka hanya akan melihat deretan toko dan lalu-lintas padat, lalu dengan mudah melontarkan komentar keliru bahwa Ubud tak beda dengan Denpasar dan Kuta yang serba semrawut. Bagi pelancong kasual ini, Ubud pastilah tak pantas mendapat predikat kota terbaik di Asia .

Saya yakin sekali bahwa pembaca majalah Conde Nast Traveller yang memberikan nilai tertinggi buat Ubud adalah mereka yang sempat menyelami pesona desa internasional ini untuk beberapa waktu. Mereka yang sempat menginap, menonton tarian di Puri Saren Ubud, mereka yang sempat mengikuti aktivitas yoga, jogging pagi di pedesaan Ubud, mereka yang menikmati tur bersepeda, yang keluar-masuk museum, atau mereka yang duduk di restorant atau warung dengan pemandangan lembah sungai atau hijau sawah ladang.

Wisatawan di Monkey Forest, Ubud. Foto Darma Putra

 Terlepas dari konflik sosial berdimensi adat yang sesekali muncul di Ubud dan sekitarnya atau kesan materialisme masyarakat saat meminta sejumlah dana secara berlebihan dari produser film Eat Pray Love yang dibintangi Julia Robert saat syuting Oktober 2009 lalu, Ubud secara umum berhasil memadukan taksu spiritual dan taksu alamnya sehingga tetap menjadi magnet pariwisata Bali. Masalah-masalah sosial yang pernah muncul secara sporadis tidak sampai menodai popularitas Ubud buktinya ‘desa internasional’ ini mampu menyabet predikat ‘Kota Terbaik di Asia’.

 Selamat buat Ubud yang telah menjadikan anugerah sebagai cambuk dan tantangan!

 Darma Putra, dimuat koran TOKOH, 14 Februari 2010.