Teks Darma Putra, Foto Ary Bestari
Peran Pesta Kesenian Bali (PKB) dalam merevitalisasi dan mengembangkan kesenian Bali tidak perlu diragukan lagi. Sejak digelar setiap tahun mulai 1979, PKB telah mencetak sekian banyak seniman.
Namun, yang terasa kurang adalah PKB belum melahirkan kritikus seni. Tulisan tentang PKB di koran sejak dulu lebih banyak menyoroti aspek pelaksanaan PKB, sementara ulasan aspeek seni dari seni pertunjukan bersifat superficial, permukaan.
Bali kaya akan kesenian tetapi hampir tidak memiliki kritikus seni. Pentas seni semarak, tapi kritik seni sepi jampi. Ini merupakan paradok.
Langkanya kritik seni di Bali mungkin terjadi karena faktor budaya ketimuran yang didominasi adat memuji daripada mengkritik. Kritik dianggap sesuatu yang negatif, padahal tidak semua kritik adalah celaan.
Era reformasi mulai mengubah karakter budaya ketimuran kita karena sejak era ini publik mulai berani angkat bicara lewat berbagai forum seperti interaktif di radio dan TV. Kondisi ini adalah momentum yang baik untuk menumbuhkan budaya kritik termasuk kritik seni.
Kritikus Seni
Kritikus seni adalah pengamat yang selalu mencurahkan perhatiannya untuk memikirkan dan membuat ulasan-ulasan tentang kesenian, entah seni rupa atau seni pertunjukan. Kritikus seni penting setidak-tidaknya untuk tiga hal berikut. Pertama, membantu masyarakat meningkatkan apresiasi terhadap karya seni lewat ulasan yang kritis, dalam, dan komprehensif.
Kedua, kritikus bisa memberikan motivasi atau tantangan lewat pujian dan kritik kepada seniman untuk meningkatkan kreativitasnya.
Keengganan berkarya bisa menjangkiti seniman kalau apa yang mereka tampilkan kurang mendapat tanggapan. Sebaliknya, seniman yang baik bisa tertarik meneruskan kreativitasnya kalau karya mereka diperhatikan, diulas kekuatan dan kelemahannya. Kritik yang baik adalah yang menggali mutiara terpendam dari suatu karya bukan melancarkan rasa dendam.
Ketiga, kritik seni dapat menyemarakkan wacana sosial dan memproduksi pengetahuan sejarah kesenian.
Dulu lontaran-lontaran tajam tentang PKB sering datang dari Prof I Gusti Ngurah Bagus (alm) tetapi sejak kepergian beliau tahun 2003, lontaran-lontaran yang melecut kreativitas seni nyaris senyap.
Situasi ini tidak bisa dibiarkan tetapi baik kiranya disiasati dengan cara membangun kondisi yang memungkinkan lahirnya kritikus seni. Harapannya agar lahir penulis seperti
Putu Setia, Gde Aryantha Soethama, Fajar Arcana, dan Wayan Juniarta (berprofesi seperti wartawan), Prof I Wayan Dibia, Kadek Suartaya, dan Kun Adnyana (kalangan akademik, kebetulan semuanya dari ISI).
Rancang lewat PKB
PKB bisa dijadikan arena untuk merangsang lahirnya kritikus seni. Salah satu caranya adalah dengan mengadakan lomba menulis ulasan seni-seni pertunjukan (dan juga seni visual) yang dipentaskan di arena PKB.
Selama ini, lomba tulisan tentang PKB melibatkan para wartawan atau penulis umum yang karyanya dimuat di koran. Lomba ini dilaksanakan dengan bekerja sama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bali . Program ini tentu saja pantas terus dilanjutkan, tetapi dalam rangka melahirkan kritikus seni yang baru dari kalangan generasi muda, perlu dirancang program secara strategis yang melibatkan siswa SMA dan mahasiswa.
Untuk lomba ulasan seni PKB tingkat SMA, Panitia PKB bisa menjalin kerja sama dengan pihak Diknas. Untuk lomba kategori mahasiswa, Panitia PKB bisa menghubungi pihak universitas yang ada di Bali .
Di Bali ada sejumlah universitas yang memiliki program seni dan budaya, seperti Faksas Unud, ISI, IHD, Undiksha Singaraja, IKIP PGRI, Dwijendra, Mahasaraswati, dan seterusnya. Di sana tentu terdapat sejumlah mahasiswa yang bisa dirangsang untuk ikut lomba menulis kritik seni pertunjukan PKB.
Dengan mengadakan lomba menulis kritik seni, PKB akan dapat mendorong lebih banyak generasi muda khususnya calon peserta lomba untuk menonton PKB secara serius. Tanpa menonton, tentu mereka tidak bisa membuat ulasan yang baik.
Lomba bisa dikemas dengan apik, baik lewat pemberian hadiah yang memikat dan pelaksanaan yang kompetitif. Misalnya, nominasi unggulan peserta bisa diminta untuk presentasi hasil ulasannya di depan juri sehingga tidak ada keraguan untuk memberikan mereka juara kalau memang baik, sekaligus menghindari peserta sistem joki. Di luar itu, kegiatan presentasi merupakan intellectual exercise alias latihan intelektual tersendiri khususnya mengasah keterampilan berbicara di depan audiens.
Kalau dalam sekali PKB ada peserta lomba kritik seni sekitar 50 orang (masing-masing 25 untuk pelajar dan mahasiswa), maka dalam lima tahun PKB, kita bisa optimistis dapat melahirkan sejumlah kritikus seni Bali yang baik.
Seperti halnya seniman dan profesi lain, kritikus pun memerlukan tiga hal, yaitu bakat alam, intelektualitas, dan kerja keras. Kalau bakat dibawa dari lahir, dua prasyarat lainnya yaitu intelektualitas dan kerja keras bisa dilatih dan diasah secara strategis antara lain melalui lomba.
Pendek kata, pesta seni sebaiknya tidak sebatas menjadi pesta bagi seniman dan bagi masyarakat tetapi juga pesta bagi kritikus seni yang bisa menjembatani keduanya dalam meningkatkan kualitas kreativitas dan apresiasi nilai seni budaya!
-Tulisan ini dimuat dengan judul berbeda di tabloid Tokoh, Minggu 5-11 Juli 2009.