Bali kehilangan salah satu tokoh pendidikan yang penuh jasa melahirkan tenaga guru dalam rentang waktu lebih dari tiga dekade. Dialah Djiwa Duarsa yang dipanggil Yang Maha Kuasa, Selasa, 14 April 2009, dalam usia 83 tahun.
Lelaki asal Kerambitan, Tabanan, ini lahir 14 Oktober 1926. Dia pernah mengajar di Makassar dan kota lain di Indonesia, pernah mengelola majalah bahasa, aktif di partai, dan menjadi kepala sekolah guru yang terakhir bernama SPGN Denpasar selama 27 tahun (lihat tulisan Widminarko dalam situs ini).
Berikut adalah kesan seorang anak didiknya, I Nyoman Darma Putra, yang merasa mendapat banyak sentuhan semangat dan pekerti dari Pak Djiwa Duarsa selama dia menjadi murid di SPGN Denpasar, tahun 1977-1980. SPGN yang lokasinya di Jl Kamboja, dempet dengan asrama kepolisan Polda Bali, kini menjadi SMAN VII.
Ketika itu, Darma Putra tinggal untuk beberapa tahun di asrama SPGN, sedangkan Pak Djiwa bersama keluarga menempatkan rumah dinas di kompleks sekolah dan asrama. Saat anak asrama belajar malam, Pak Djiwa tekun mengamati dan mengawasi. Beliau juga mengawasi kami saat makan siang dan malam di asrama. Pak Djiwa memiliki wibawa yang lebut sehingga kami segan dan hormat sekali kepadanya. Wibawanya tak hanya membuat kami sering merasa terlindungi, seperti anak dengan orang tua sendiri, tetapi juga menjadi inspirasi untuk rajin belajar.
Cerdas, bijaksana, sabar, berwibawa, dan lembut tutur katanya adalah sebagian dari pesona yang bisa dilekatkan kepada Pak Djiwa. Jika perlu, dalam memberikan kami nasehat beliau menangis, sampai kami terharu dan segala nasehatnya menjadi mangkus dan manjur.
Lokasi asrama dekat sekali dengan pasar malam Lila Bhuwana, ujung Barat laut stadion Ngurah Rai, yang kini sudah jadi GOR. Hari Sabtu kami tidak ada kewajiban belajar malam. Saat itu biasanya kami boleh ke luar asrama dan hiburan paling memikat waktu itu adalah pergi ke Lila Bhuwana, menonton pedagang obat bermain akrobat dan pulangnya beli pisang goreng dengan uang patungan dari teman-teman.
Pak Djiwa mengajarkan kami untuk membuat peraturan sendiri untuk dipatuhi sendiri. Penghuni asrama yang ke luar malam, pukul 9 malam harus sudah kembali.
Kalau malam hari kami lapar, kami suka merayu Bu Dayu di dapur asrama agar bisa menikmati makan malam ekstra, ada atau tidak lauk, tak masalah. Sebagai penghuni asrama, kami bergilir membantu Bu Dayu untuk belanja ke pasar Kereneng setiap pagi.
Jarak asrama SPGN dengan Pasar Kereneng tak sampai 1 km. Kami ke pasar pagi hari, mungkin pukul 03.00, belanja dua jam, dan kembali ke sekolah sekitar pk. 05.00 untuk berkemas bersekolah.
Di antara sekian pengalaman berkesan sebagai anak didiknya, yang harganya tiada tara adalah yang berikut ini:
Pertengahan tahun 1980 nyaris terjadi ‘tragedi akademik’ bagi lulusan Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN) Denpasar. Mereka hampir kehilangan hak-haknya untuk mengikuti ujian masuk ke Universitas Udayana kalau saja almarhum Djiwa Duarsa tidak dengan sigap bertindak.
Pak Djiwa melakukan pendekatan ke Kanwil Dikbud (Drs AAG Oka) dan Rektor Unud (dr Ida Bagus Oka) agar anak didiknya bisa ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN), atau mungkin sudah disebut dengan Sipenmaru (sistem penerimaan mahasiswa baru).
“Saya tidak mau anak-anak saya dikalahkan sebelum bertarung,” kata Pak Djiwa penuh semangat kepada para alumni yang sedih telah dibayangi kabut tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.
Pak Djiwa berjuang dan dia berhasil. Kami bersyukur dan mencoba membuktikan kata-katanya bahwa kalau bertarung kami akan menang!
Waktu itu, masa pendaftaran masuk sebagai mahasiswa-baru Unud sudah ditutup, sementara lulusan SPGN Denpasar belum mendapatkan ijazahnya. Tanpa memiliki ijazah, jelas kami tidak bisa mendaftar dan tidak bisa bertarung dalam UMPTN.
Ketidaksinkronan masa pendaftaran UMPTN dan kelulusan SPGN terjadi karena banyak hal, salah satu di antaranya adalah transisi perpanjangan tahun ajaran. Biasanya akhir tahun ajaran terjadi Desember 1979, namun saat itu digeser ke Juni 1980. Ada perpanjangan satu semester.
Transisi itu terjadi di seluruh Indonesia dan sebetulnya tidak masalah kalau saja pengumuman kelulusan untuk sekolah kejuruan (termasuk SPG) tidak dilaksanakan belakangan dibandingkan sekolah umum (SMA). Dalam situasi demikian, hanya tamatan SMA yang bisa mendaftar UMPTN. Bagi kami, dan juga Djiwa Duarsa, ini tidak fair.
Sebagian besar alumni SPGN sedih karena harapan mereka untuk melanjutkan ke Unud sudah terbang melayang. Yang beruntung hanya satu dua orang yang mungkin mempunyai keluarga bekerja di Unud sehingga bisa mengantisipasi keadaan sehingga bisa melamar dengan cara-cara tertentu.
Sebagian besar, termasuk saya dari keluarga tidak mampu dan tidak memiliki kerabat yang ‘berkuasa’, hanya bisa gigit jari. Impian untuk kuliah, menjadi mahasiswa, sudah akan saya kubur.
Tapi, ternyata Djiwa Duarsa sangat peka dan peduli. Dia tidak tinggal diam melihat kemurungan kami. Dia pun berjuang ke Kanwil Depdikbud dan Rektor Unud. Beberapa alumni sebagai perwakilan diajak serta menghadap kedua pejabat tersebut.
Kabar gembira datang. Kami dinyatakan akan bisa mendaftar UMPTN secara khusus. Kami akhirnya mendaftar UMPTN di SPGN Denpasar. Karena formulir asli habis saat pendaftaran itu, kami dibagikan formulir fotokopi.
Alumni SPGN hanya diizinkan untuk melamar program diploma pendidikan FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Singaraja. Peluang untuk melamar ke S-1 tidak ada. Menurut ingatan teman lain bahwa kami diizinkan melamar S1 sebagai tetapi sebagai pilihan kedua. Pilihan pertama harus diploma. Tamatan SPG harus ‘langsung’ jadi guru, sepertinya tak perlu jadi ‘sarjana’.
Yang jelas saat itu, saya terpaksa melamar D-1 Jurusan Bahasa Indonesia FKIP Singaraja, dengan angan-angan tamat di sana bisa menjadi guru SMP.
Pelaksanaan UMPTN dilakukan serentak. Kami yang melamar dengan formulir fotokopi tidak mengikuti tes di Unud tetapi di gedung SPGN. Bukan kami yang datang ke Unud, tetapi Panitia Unud yang datang ke SPGN. Walau kami hanya bertarung untuk program diploma, bukan program sarjana (S1), kami merasa diistimewakan.
Tahun 1980-an merupakan tahun-tahun sulit untuk mendapatkan kursi di perguruan tinggi negeri karena ketimpangan antara jumlah kursi di PTN dan angka lulusan SMA yang besar. Ini terjadi di seluruh Indonesia. Sementara itu, minat lulusan untuk masuk perguruan tinggi swasta (PTS) sangat rendah karena kuliah di PTS kurang memberikan rasa bangga.
Untuk mengatasi masalah daya tampung, untuk pertama kalinya Unud membuka kelas sore untuk tiga fakultas, yaitu Fakultas Sastra, Hukum, dan Ekonomi. Kelas sore hanya dibuka untuk jurusan tertentu yang peminatnya relatif besar. Kelas sore waktu itu mungkin sama dengan kelas ekstensi masa kini. Karena PTS kemudian komplin karena tidak kebagian mahasiswa seperti diharapkan, kelas sore di Unud tutup setelah berlangsung 3-4 angkatan.
Unud seperti berpacu dengan waktu. Pendaftaran untuk kelas sore dibuka sebelum hasil UMPTN diumumkan. Bagi mereka yang sudah ikut UMPTN boleh mendaftar dan tidak usah ikut tes lagi. Saya mendaftar masuk kelas sore Jurusan Sastra Indonesia.
Ketika UMPTN diumumkan di Bali Post, saya lulus di dua tempat: kelas sore Sastra Indonesia dan diploma satu di FKIP Singaraja. Saya memilih kelas sore di Unud Denpasar karena ini jenjang S1. Sementara kuliah sore, pagi hari saya bekerja menjadi guru olah raga di SD Anugerah Denpasar karena tidak ada lowongan sebagai guru mata pelajaran lainnya. Tak lama setelah itu, saya kemudian menjadi wartawan di Bali Post.
Banyak teman-teman SPGN lulusan 1980 bisa selamat dari ‘tragedi akademik’ berkat perjuangan Djiwa Duarsa. Sebagian di antaranya sudah sukses menjadi guru, kepala sekolah, dosen, dan juga ada yang sudah menyandang titel professor. Beberapa di antaranya bisa melanjutkan dan meraih gelar doktor di Jerman (I Ketut Ardhana), Belanda (IB Dharma Palguna), dan Australia (I Wayan Arka).
Ada juga teman kami yang menjadi sekpri gubernur, jabatan yang tak terbayangkan ketika masuk SPGN tetapi pasti hanya terraih karena prestasi dan budi pekerti yang terbina sejak di SPGN Denpasar!
Pak Djiwa Duarsa memiliki cara sederhana untuk mengajari kami mengukur sukses. Seseorang dinilai sukses kalau bisa mendatangkan kesan “Inilah”, sebaliknya gagal kalau mendatangkan ungkapan “Inikah?”. Dia memotivasi kami agar mampu membuat kesan “Inilah tamatan SPGN….”, dan mencegah munculnya kesan “Inikah tamatan SPGN?”.
Motivasi ini disampaikan dalam pidatonya sebagai kepala sekolah setiap upacara bendera Senin pagi. Ajaran agama yang kompleks, konsep filsafat yang rumit, bisa dituangkan dengan gamblang di hadapan siswanya. Yang penting bahwa Pak Djiwa Duarsa adalah tokoh dimana ‘kata’ dan ‘perbuatan’ menyatu dan memancarkan inspirasi. Meneladaninya adalah tantangan.
Setelah mendapat kabar dari Mita Duarsa bahwa Pak Djiwa Duarsa dipanggil ke alam sana oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, saya teringat lagi perjuangannya membebaskan kami dari ‘tragedi akademik’ hampir tiga dekade lalu.
Tanpa kesigapannya memperjuangkan formulir fotokopi waktu itu, pasti banyak alumni SPGN 1980 tidak bisa menikmati pendidikan tinggi, bahkan sampai ke luar negeri!
Selamat jalan guruku.
Tidak ada kegelapan yang mampu melenyapkan jasa-jasamu! Di tengah kegelapan sekalipun inspirasimu tetap terang!
I Nyoman Darma Putra, alumni SPGN 1980, menulis dari St Lucia, Brisbane.