I Nyoman Darma Putra

MEMBACA artikel tentang ”terbunuhnya” kultur ”tatap muka” di Indonesia karya Indra Tranggono (Kompas, Minggu, 29 Maret), saya jadi teringat budaya ”tatap muka” atau ”temu wicara” ala Orde Baru, tetapi tidak dibahas di dalamnya. Padahal, inilah yang terkubur, bukan kultur tatap muka milik publik.

Indra membatasi budaya ”tatap muka” sebagai tradisi bertemu, berdialog secara intens, dan menyelami batin bersama dalam ruang sosial yang kondusif. Contoh yang diberikan adalah menonton bersama kesenian tradisional seperti ketoprak dan wayang. Budaya ini dikatakan sudah mati sejak 1980-an karena maraknya televisi dan sikap pragmatisme masyarakat.

Batasan di atas melihat tatap muka sebagai aktivitas sosial budaya, padahal dia juga bisa dilihat sebagai kegiatan sosial politik. Kalau mau melihat tatap muka sebagai produk sosial politik, maka tahun 1980-an bukanlah tahun matinya budaya tatap muka, sebaliknya masa subur kultur tatap muka. Rezim Orde Baru menggunakan budaya tatap muka secara intens sebagai alat propaganda pembangunan.

Waktu itu, Pak Harto kerap melakukan ”temu wicara” dengan petani atau nelayan. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan serangkaian dengan peresmian proyek besar seperti bendungan atau panen raya. Dalam setiap ”temu wicara” selalu tampak kesan seolah Pak Harto paham betul urusan pertanian, padahal itu tak lebih dari teater politik yang dijaga intel dan aparat keamanan buat melanggengkan hegemoni.

Dalam temu wicara Pak Harto terkadang ”melucu”, tetapi bila perlu mengeluarkan pernyataan untuk memukul lawan politik atau anak buahnya yang mulai tampak tidak patuh. Dalam sebuah temu wicara seusai meresmikan Bendungan Palasari di Bali Barat akhir 1980-an, misalnya, Pak Harto mengatakan akan memukul siapa yang njeplak (asal omong). Banyak yang menafsirkan peringatan itu disampaikan kepada pengikutnya yang mau mendongkel.

Dalam temu wicara rakyat duduk dalam kepatuhan mengikuti wejangan Pak Harto. Kesadaran palsu ini terjadi karena sihir pengawasan pihak keamanan, dalam hal ini ABRI, dan sorot lampu kamera media massa, dalam hal ini TVRI. Keduanya merupakan state apparatus yang menjamin agar hegemoni tetap tegak.

Temu wicara ala Orba tak saja berlangsung di sebuah desa terpencil, tetapi menjadi teater yang ditonton jutaan rakyat Indonesia. Rekaman tanpa potong biasanya disiarkan TVRI malam itu juga, pada prime time seusai Dunia dalam Berita. Waktu itu, TVRI adalah satu-satunya saluran dan sepenuhnya di bawah kontrol Menteri Penerangan sehingga dengan mudah dijadikan alat propaganda.

Budaya tatap muka menjadi salah satu ciri khas pemerintahan Orde Baru. Selain di desa, Pak Harto juga sering melakukannya di Istana Negara. Aparatur negara di bawahnya juga senang melakukan tatap muka. Setiap ada informasi baru, wakil pemerintah biasanya merasa tidak cukup mengedarkan surat saja, tetapi menjelaskan langsung kepada publik lewat tatap muka. Siapa dan di mana pun dilaksanakan, dialog dalam tatap muka ala Orba adalah hal semu.

Setelah Orba jatuh, kultur ”tatap muka” ini terkubur, diganti dengan budaya tatap muka yang dialogis di era pascareformasi yang memberikan ruang kebebasan ekspresi tiada tara. Justru, budaya tatap muka yang dijelaskan Indra Tranggono malah panjang umur, bahkan diperkaya bentuk tatap muka baru.

Seperti ditulis Barbara Hatley dalam bukunya Javanese Performance on an Indonesian Stage (2008), pementasan wayang dan ketoprak berlangsung terus sejak 1970-an. Kalau dulu wayang dan seni lainnya dipentaskan untuk perayaan pernikahan atau sunatan, belakangan digelar untuk 17 Agustusan atau hari ulang tahun perusahaan surat kabar. Pementasan musik modern senantiasa ramai dan membuka ruang sosial untuk menonton. Semua ini merupakan bukti bahwa budaya tatap muka masih berlanjut, belum terkubur.

Pernyataan Indra bahwa budaya tatap muka sudah masuk kubur sebetulnya secara tidak langsung dibantah oleh artikel lain yang dimuat Kompas pada edisi yang sama. Artikel ”Memasuki Dunia Sapardi” ini mengulas pentas musikalisasi atas puisi Sapardi di sebuah Newseum, gedung tua di kawasan Jalan Veteran, Jakarta Pusat, dihadiri sejumlah penonton. Acara ini dan kegiatan lain, entah berupa pementasan, seminar, talk-show, dialog sastra budaya entah di kafe atau tempat lain tak bisa dimungkiri sebagai ruang sosial tempat tatap muka berlangsung.

Indra menyebutkan televisi sebagai salah satu penyebab musnahnya budaya tatap muka, padahal tidak demikian adanya. Televisi dan juga video/DVD mungkin benar membuat orang enggan ke bioskop dan bioskop akhirnya redup, tetapi televisi juga membuat munculnya budaya tatap muka baru, yaitu nonton bareng Piala Dunia sepak bola di kafe-kafe.

Masih ada model tatap muka baru yang sedang membudaya belakangan ini sejalan dengan kemajuan internet dan telekomunikasi. Ahli film dan media massa dari Australia, Krishna Sen (2003), membedakan dua jenis interaktiviti, yaitu interaktiviti yang didasarkan pada teknologi seperti yang terjadi pada internet; dan interaktiviti yang terjadi lewat kontak sosial, termasuk di dalamnya program interaktif radio dan televisi. Walaupun tidak ada tatap muka langsung, interaktiviti-sosial ini menghilangkan karakter radio dan TV sebagai sumber hiburan atau informasi satu arah.

Walaupun tidak semua orang aktif dalam interaktif radio dan televisi, yang jelas audiens program interaktif tidak lagi berada dalam situasi soliter, tetapi menjadi bagian dari komunitas pendengar dan pemirsa. Kalau mau, secara seketika mereka bisa masuk ke dalam dialog, menyampaikan komentar untuk ikut membentuk wacana sosial. Sering terjadi anggota komunitas pendengar, pemirsa, atau klub dunia maya melakukan kopi darat alias tatap muka. Infrastruktur dan aktivitas mereka membuat kultur tatap muka panjang umur, tidak terkubur.

Yang sebetulnya sudah terkubur adalah budaya tatap muka ala Orde Baru sesudah lengsernya Pak Harto tahun 1998. Kultur tatap muka milik publik justru panjang umur, hidup subur lewat ruang-ruang sosial seni pertunjukan, bahkan sebagian diperkaya bentuk-bentuk tatap muka baru, seperti interaktiviti yang didiseminasi secara sinergis oleh energi media massa elektronik, internet, dan kebebasan berekspresi.

* I Nyoman Darma Putra, Dosen Sastra Indonesia Universitas Udayana yang menjadi research fellow (2007-2009) di School of Languages and Comparative Cultural Studies, The University of Queensland, Australia.

Sumber: Kompas, Minggu, 5 April 2009