Bali Post Minggu, 24 Juni 2007

 

Sastrawan I Made Sanggra berpulang Rabu (20/6/2007) lalu. Bali kehilangan salah satu sastrawan terbaiknya. Penghargaan penting yang sekarang pantas diberikan atas prestasi kreativitasnya pastilah dengan menerbitkan karya-karya yang ditinggalkan. Di masa hidupnya, sastrawan kelahiran Sukawati, Gianyar, tahun 1926 ini sering mengeluarkan biaya sendiri untuk menerbitkan karya-karyanya.

 

BANYAK yang pantas dikagumi dan diteladani dari sastrawan rendah hati ini. Made Sanggra adalah sastrawan serba bisa. Selain menulis sastra Bali tradisional seperti geguritan, dia juga menulis sastra Bali modern seperti puisi dan cerita pendek. Tahun 1950-an, dia malah pernah menulis sejumlah puisi dalam bahasa Indonesia.

Walaupun menekuni berbagai sastra, nama Made Sanggra lebih harum terpatri dalam dunia sastra Bali modern. Prestasi kreativitasnya mulai bersinar lewat cerita “Ketemu ring Tampaksiring” (KrT) yang ditulisnya awal 1970-an. Inilah cerpen sastra Bali modern terbaik dan belum ada yang bisa menandingi sampai kini. Siapa pun hendak mengetahui sastra Bali modern wajiblah membaca cerpen ini. “KrT” melukiskan pertemuan secara kebetulan wartawan Belanda dengan ibunya, orang Bali, di daerah Tampaksiring. Wartawan ini datang ke Bali mengikuti kunjungan kenegaraan Ratu Juliana. Struktur naratifnya indah, nilai pesannya dalam. Tampilnya tokoh Barat dalam cerpen ini menambah sifat modern sastra Bali modern.

 

Buku “KrT” pernah diterbitkan pengarangnya sendiri pada 1970-an, namun stensilan karena terbatasnya biaya. Tahun 2004, lagi atas usaha sendiri, kumpulan cerpen ini dicetak ulang lebih mewah dan terbit dalam tiga bahasa — Bali, Indonesia, dan Inggris. Kini, buku itu sudah terlihat menjadi koleksi beberapa perpustakaan luar negeri seperti Amerika dan Australia. Penampilan buku tiga-bahasa ini memungkinkan sastra Bali modern untuk dinikmati oleh mereka yang tidak bisa berbahasa Bali.

 

Cerpen “KrT” pun sempat memikat hati seniman Prof. Dr. I Wayan Dibia. Dia mengangkat kisah cerpen ini ke dalam lakon Arja dengan judul sama dan mementaskannya di Pesta Kesenian Bali (PKB) 2005. Lakon Arja yang biasanya bersumber dari cerita Panji, kini diperkaya satu cerita lagi. Inilah sumbangan lain Made Sanggra pada jagat kesenian Bali. Adaptasi ke Arja membuat cerpennya menjadi sejajar dengan kisah klasik Bali lainnya.

 

Made Sanggra banyak menulis puisi. Sebagian terkumpul dalam buku puisi “Kidung Republik” (1997). Kumpulan puisi ini mendapat penghargaan hadiah sastra Rancage 1998, yang diprakarsai satrawan Ajip Rosidi. Puisi-puisi dalam kumpulan ini banyak bertema heroisme dan respons terhadap perubahan sosial di Bali. Dalam menulis puisi, Made Sanggra senantiasa menggunakan huruf kecil (nonkapital). Dari segi tata ejaan, penulisan itu tentu salah, tetapi Made Sanggra sengaja melakukan sebagai cermin rasa rendah hati alias tidak sombong. Gaya seperti ini juga diteruskan oleh putranya, sastrawan Made Suarsa yang sudah dua kali mendapat hadiah Rancage.

 

Puisi Made Sanggra sangat indah, enak dibaca. Isinya memberikan pembacanya sudut pandang alternatif dalam memahami proses dan dampak modernisasi. Salah satu puisinya yang memenuhi ciri ini adalah “denpasar sane mangkin” (1970-an). Lewat ungkapan “sawah dados umah, umah dados sawah” (sawah jadi rumah, rumah jadi sawah), Made Sanggra tidak saja menjelaskan transformasi sawah secara fisik menjadi rumah, tetapi juga mengungkapkan bahwa di Denpasar rumah (kost-kost-an) berfungsi seperti sawah, menjadi sumber penghasilan (kontrak). Karena apa yang ditulis hampir empat dekade itu merefleksikan realitas sekarang, tidak berlebihan untuk mengatakan puisi ini adalah karya yang visioner.

 

Yang patut diteladani dari Made Sanggra adalah komitmennya yang tinggi untuk mempertahankan kehidupan sastra Bali modern. Ia memfokuskan diri menulis sastra Bali modern akhir 1960-an karena prihatin melihat jumlah penulis dalam jenis sastra ini langka. “Yang menulis sastra Indonesia dan sastra tradisional Bali sudah banyak,” katanya suatu kali. Menulis sastra Bali modern, baginya, adalah salah satu cara untuk menjaga kehidupan bahasa Bali yang waktu itu banyak diprakirakan akan mati.

 

Bersama dengan koleganya Nyoman Manda dari Gianyar, Made Sanggra sampai di usia tuanya masih gigih menerbitkan majalah sastra Canang Sari. Lewat majalah ini, dia mempublikasikan tulisannya sekaligus mendorong para pelajar untuk menulis, membaca, dan mencintai sastra Bali modern. Pengarang yang lebih muda pun menjadi termotivasi, seperti IDK Raka Kusuma dan Komang Beratha dkk. di Karangasem yang menerbitkan majalah sastra Bali Buratwangi.

 

Meski gigih berjuang, Made Sanggra senantiasa tampil rendah hati. Selain dalam gaya menulis sajak dengan huruf kecil, rasa rendah hati itu juga tercermin dari caranya bergaul dan mendorong penulis muda untuk terus mencipta. Tutur katanya pun santun meski ketika harus mengatakan sesuatu yang pahit dan kritis seputar kehidupan kebudayaan dan sastra Bali dalam berbagai seminar. Ia sastrawan yang senantiasa tampil dengan ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Walaupun kini dia sudah dipanggil Yang Maha Kuasa, prestasi kreativitasnya, pengabdiannya, dan sikap rendah hatinya sebagai sastrawan Bali amat pantas diteladani.

  * darma putra,  Brisbane, Australia

source: http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2007/6/24/b5.html