Kompas, Minggu, 14 Maret 2004

I Nyoman Darma Putra

MENJELANG Pemilu 2004, belantika musik pop Bali diwarnai dengan munculnya lagu-lagu bertema kritik sosial dan politik. Hal ini memang bukan merupakan fenomena baru dalam perjalanan lagu pop Bali sejak kelahirannya awal tahun 1960-an di tengah konfrontasi partai politik.

Meski demikian, kehadiran lagu-lagu bertema kritik sosial dan politik belakangan ini pantas dicatat karena dia muncul dalam suasana pemilu dan lirik-lirik lagunya secara blakblakan mengecam pejabat korupsi atau bentuk KKN lainnya. Selain itu, lagu-lagu tersebut dinyanyikan dengan musik pop-rock atau rap yang digemari anak-anak muda perkotaan.

Lagu pop Bali yang dulu dianggap kampungan oleh anak muda, kini disambut bangga pelajar dan mahasiswa serta dimainkan dalam perayaan hari jadi sekolah atau fakultas-fakultas. Mengentalnya wacana identitas Bali berdasarkan budaya (cultural identity) di era otonomi ini, juga ikut memperluas dan mempermulus ruang gerak lagu pop Bali ke teritori baru di mana dulu kehadirannya tidak pernah disambut.

Yang manakah lagu pop Bali? Seperti halnya lagu pop Sunda, Jawa atau pop daerah lainnya, lagu pop Bali pun dibatasi sebagai lagu-lagu yang berbahasa Bali dan dimainkan dengan alat musik modern. Dia berbeda dengan lagu-lagu Bali tradisional (kidung, kakawin, gaguritan) yang umumnya diiringi musik tradisional berupa gamelan, suling, dan geguntangan. Kalau lagu-lagu Bali tradisional berkaitan erat dengan tradisi dan ritual keagamaan, lagu pop Bali merupakan hiburan dan arena untuk menyampaikan kritik sosial dan politik.

Berkait erat dengan politik

Para pencinta dan pengamat lagu pop Bali sepakat bahwa kelahiran lagu pop Bali berkaitan erat dengan politik. Lagu pop Bali disebutkan muncul awal tahun 1960-an di tengah-tengah konfrontasi politik antara Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), masing-masing perpanjangan tangan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sama halnya dengan bentuk seni lainnya seperti drama tari atau teater, lagu pop Bali pun dijadikan alat propaganda politik. Saat itu, lagu pop Bali tampil mengusung tema kerakyatan, tema politik, dan nasionalisme, seperti lagu Juru Pencar (nelayan), Merah Putih (warna bendera Indonesia), dan Buah Buni (seperti anggur, tapi kecil-kecil).

Lagu Merah Putih yang mengumandangkan nasionalisme terhadap bangsa diciptakan Gde Dharna tahun 1950-an, tetapi menurut penciptanya, lagu ini baru ramai dinyanyikan sekitar 1963 oleh pendukung PNI. Temanya sebetulnya netral, tetapi karena lagu ini banyak dinyanyikan pendukung PNI sepertinya dia langsung menjadi lambang ideologi partai ini. Lagu Buah Buni yang dinyanyikan kelompok LKN mendendangkan pesan lewat politik warna dan rasa buah buni. Diungkapkan, buni yang muda berwarna merah dan kecut rasanya, sedangkan buah yang matang berwarna hitam dan manis rasanya. Merah adalah warna PKI, sedangkan hitam adalah PNI. Lagu ini secara simbolis mengandung pujian “manis” terhadap PNI dan sindiran “pengecutnya” PKI.

Pascahuru-hara tahun 1965 yang dilanjutkan dengan pembasmian PKI, pemerintahan Orde Baru (Orba) menetapkan kebijakan politik yang mengharamkan intervensi politik ke dunia seni. Tidak mengherankan, di era tahun 1970-an, ketika pertama lagu pop Bali hadir sebagai bagian dari pop culture (budaya pop) karena sentuhan industri rekaman, selera lagu pop Bali bergeser dari politik ke cinta-asmara. Selain tema cinta-asmara, lagu pop Bali juga mengeksploitasi tema-tema normatif seperti pesan-pesan yang menggurui, humor, dan bercanda.

Lagu Kusir Dokar (Kusir Delman) merupakan contoh lagu jenaka dari era depolitisasi seni di era Orba. Lagu yang dinyanyikan AAM Tjakra (almarhum) ini sekaligus menjadi judul album pertama yang diluncurkan. Walau musiknya sederhana, daya pikat lagu ini terletak pada liriknya yang jenaka, penuh canda tentang si kusir yang mata keranjang terhadap penumpangnya sampai-sampai kudanya menyeruduk dagang obat di tepi jalan. Album Kusir Dokar, yang konon terjual sampai 100 ribu keping, dan lagu-lagu lain yang muncul di era Orba benar-benar steril dari tema politik.

Lagu Bunga Sandat (Kembang Kenanga) adalah lagu yang berisi nasihat kepada wanita agar pandai-pandai menjaga diri supaya bisa seperti kembang kenanga, senantiasa harum sekalipun sudah layu. Lirik dan irama-klasik membuat lagu yang muncul tahun 1970-an lewat rekaman kelompok Band Putra Dewata pimpinan AAM Tjakra ini masih bisa merebut selera publik sampai sekarang. Tak pelak lagi lagu yang anonim dan dinyanyikan beberapa penyanyi ini menjadi salah satu lagu pop Bali “klasik”.

Cinta-asmara yang nyerempet porno berlanjut mewarnai tema lagu pop Bali tahun 1980-an dan 1990-an. Hal ini antara lain bisa dilihat dari lagu Ketut Bimbo dalam album Main Bilyard, khususnya lagu Korting 3 Bulan yang dinyanyikan duet bersama Alit Adiari. Lagu ini mengisahkan kekecewan si pria karena pacarnya telah hamil empat bulan, padahal mereka baru pacaran dua bulan. Lagu kocak yang dominan muatan cinta-asmara dengan asosiasi porno yang kuat juga melambungkan nama Yong Sagita, pendatang baru awal tahun 1990-an.

Tentu saja salah memvonis bahwa semua lagu dari era ini cengeng belaka karena banyak juga yang baik dengan nasihat mulia seperti mirip tema Bunga Sandat. Yang jelas fenomena Iwan Fals yang menyanyikan lagu bertema politik ketika tekanan Orba kuat tidak tampak di Bali tahun 1980-an dan 1990-an awal. Tampaknya bukan menjadi watak penyanyi dan pencipta lagu pop Bali untuk memberontaki zamannya.

Tema politik menjelang pemilu

Lagu pop Bali, yang memang lahir dari konfrontasi politik empat dekade sebelumnya, berusaha kembali menampakkan wajah aslinya dengan menampilkan lagu-lagu bertema politik segera setelah jatuh Soeharto Mei 1998. Album pertama dengan tema politik yang kental adalah Reformasi Hidup Mega karya bareng Yong Sagita dan Gusdel. Album ini dirilis pada momentum yang tepat, yakni antara lengsernya Soeharto dan menjelang tibanya Pemilu 1999. Saat kebebasan berekspresi dimungkinkan situasi politik itulah, lagu-lagu bertema politik bermunculan.

Lagu dalam album Reformasi Hidup Mega banyak mengkritik praktik KKN pejabat di zaman Orba. Lagu ini sepertinya hendak mewakili aspirasi rakyat banyak yang anti-Orba. Lagu Reformasi, misalnya, mengisahkan gerakan mahasiswa yang berdemonstrasi untuk menghidupkan demokrasi yang telah mati, sedangkan lagu Kala Kali Zaman Orba menyindir kehadiran pensiunan militer jadi pejabat (Ne cerita dugase nu zaman Orba, pensiunan juru perang dadi pejabat, pejabat tinggi ngelah caling, yang artinya: diceritakan zaman Orba, pensiunan juru perang menjadi pejabat, pejabat tinggi yang punya caling).

Mode munculnya lagu pop Bali bertema politik tampak lagi menjelang Pemilu 2004, seperti tampak dalam album pop Bali dari Lolot Band, Triple X (XXX), dan Bintang Band. Lagu-lagu dari grup-grup band ini dikenal sebagai pop Bali alternatif karena tiga hal. Pertama, irama musik mereka adalah pop-rock, disko, rap, dan punk. Karakter ini berbeda dengan irama pop-konvensional lagu-lagu yang ada selama ini. Kedua, grup band ini adalah mereka yang dulu main di kelab, pub, atau diskotek, tetapi tidak pernah mempunyai identitas sebagai penyanyi/pemusik sehingga mencoba terjun ke dunia pop Bali yang telah terbukti memberikan popularitas (dan finansial) kepada sejumlah penyanyi. Ketiga, lagu-lagu mereka direkam lewat musik live, bukan musik yang diprogram lewat komputer. Pendek kata, mereka bukan orang-orang karbitan di belantika pop Bali.

Kehadiran kelompok musik alternatif ini memberikan warna baru bagi wajah lagu pop Bali. Kalau dulu penggemar lagu pop Bali diidentikkan dengan orang-orang kampung, kini pendapat itu harus ditumbangkan karena pelajar dan mahasiswa mulai menyukai lagu pop Bali. Pada hari ulang tahun kampus Fakultas Sastra Universitas Udayana September 2003, misalnya, lagu Lolot Artha Utama dinyanyikan mahasiswa dengan penuh keriangan, tanpa rasa minder apalagi “kampungan”.

Kehadiran tema kritik sosial dan politik yang dilansir lagu-lagu pop Bali alternatif mampu mengimbangi tema cinta-asmara yang dominan selama ini. Tema politik yang sangat blakblakan muncul dalam album Bajingan Eling, khususnya lagu Nusuk (Nyoblos), yang diluncurkan pertengahan Februari lalu. Klipnya sudah muncul di layar kaca Bali TV dengan penggambaran rally dan yel-yel politik yang relevan dengan tema lagu. Radio-radio swasta di Bali juga kerap memutar lagu ini, ikut mewarnai suasana kampanye Pemilu 2004 dengan wacana lain.

Lagu Nusuk mendendangkan pendirian untuk tidak memilih alias golput dalam pemilu ini. Pernyataan golput itu mulai diungkapkan lewat intro lagu berupa berita di radio yang isi selengkapnya dituangkan dalam lagu. Beginilah lirik lagu Nusuk menyatakan sikap golputnya: “Pak, Jani tiang mikir-mikir/Luungan tiang sing milih/sawireh konyangan lipi/Pak, buin pidan ja bapak ngidang/Dadi pemimpin ne jujur/kayang ento tiang milih“. Artinya: “Pak, sekarang kami mikir-mikir/Sebaiknya kami tidak memilih/karena semuanya ular/Pak, kapan Bapak bisa/jadi pemimpin yang jujur/Saat itulah kami memilih”.

Pedas sekali kritik lagu ini terhadap kualitas pemimpin atau caleg yang diumpamakan sebagai “ular” yang suka membelit alias alias korupsi. Dinyanyikan dalam irama rock dengan tema politik yang blakblakan membuat tajamnya kritik sosial lagu ini terdengar sebagai melebihi kritikan lagu-lagu Yong Sagita dan Gusdel dalam album Reformasi. Tema lagu Nusuk bisa dilihat sebagai paduan dari kritik terhadap watak pemimpin atau caleg yang korup dengan ekspresi dari kekecewaan sebagian masyarakat yang tidak puas dengan kondisi politik (di Bali) dewasa ini.

Selain album dan lagu-lagu di atas, ada satu lagi album pop Bali yang benar-benar dibuat untuk propaganda politik. Itulah album Bendera… udah aku kibarkan, Jayalah Partaiku.. PDI-Perjuangan. Album ini diproduksi dalam bentuk kaset dan CD sebanyak 2000 dengan vokalis Yong Sagita dan kawan-kawan. Dalam album ini, Yong juga memasukkan beberapa lagunya yang ada di album Reformasi. Dalam album ini, bukan tema politik lagi yang tampak, melainkan lagu pop Bali benar-benar dijadikan alat propaganda, jauh lebih “terang-terangan” daripada propaganda politik tahun 1960-an ketika pop Bali baru-baru lahir.

Apakah tema politik seperti ini akan terus muncul? Ungkapan Yong Sagita yang pernah disampaikan kepada penulis menarik disimak. Yong Sagita mengatakan, “Jika ketidakberesan dan korupsi jalan terus, kritik juga jalan terus lewat lagu pop Bali.” Jawaban ini juga sesuai dengan makna baris terakhir lagu Nusuk yang menegaskan bahwa golput tidak akan ada kalau pemimpin jujur. Jawaban ini menunjukkan bahwa lagu pop Bali sangat tergantung dari kondisi sosial politik.

Walaupun tema politik marak, tema cinta terus mendapat tempat dalam lagu-lagu pop Bali. Lagu Sarinem Neha Nehi yang dibawakan Bayu Kasta Warsa, salah satu menjadi penyanyi yang sangat populer tahun 2003, mendendangkan cinta asmara. Lagu yang terpengaruh tembang Banyuwangian dan liriknya mencantelkan kesan India ini sangat digemari anak-anak dan dewasa. Kecengengan tema lagu ini terlontar dalam liriknya yang berbunyi “ke Banyuwangi ngganggurin adi, dimulihne mabekel sakit ati” (ke Banyuwangi kunjungi adinda, pulang [ke Bali] berbekal sakit hati).

Dua lagu yang top belakangan ini dengan jumlah kaset terjual di atas 35 ribu keping, masing-masing Desir Angin oleh Yan Sri dan Tresna Galang Kuluk (Cinta Direbut Anjing) oleh Agung Wirasuta, juga bertema cinta-asmara. Berkat iramanya yang manis, lagu Desir Angin dinobatkan sebagai lagu pop Bali terbaik 2003 dan mendapat anugerah Gita Denpost Award 2004, akhir Februari lalu.

Penyanyi dan politik

Tak lengkap rasanya kalau berbicara tema politik dalam lagu pop Bali tanpa berbicara tentang keterlibatan penyanyi dalam kampanye Pemilu 2004. Pada musim pemilu ini, banyak partai mendekati penyanyi untuk memeriahkan acara kampanye mereka. Para penyanyi merespons permintaan itu dalam tiga jenis. Pertama, penyanyi yang dengan tegas menolak untuk mengisi acara partai dalam kampanye. Lolot, penyanyi yang meroket namanya belakangan ini, misalnya, sudah menyatakan tidak mau tampil dalam kampanye parpol. Bintang band yang justru melagukan sikap golput, juga tidak akan mau tampil dalam acara kampanye.

Kedua, penyanyi yang mau menyanyi sebatas mengisi acara. Asal tidak disuruh menjadi jurkam, mereka tidak khawatir. Agung Wirasuta, penyanyi pop Bali pria terbaik dalam ajang Gita Denpost Award 2004, mengatakan sudah sepakat untuk mengisi acara hiburan sebuah partai selama masa kampanye. Hal ini sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu.

Ketiga, penyanyi yang benar-benar “bekerja secara total untuk parpol”, seperti halnya Yong Sagita, seperti terlihat dari albumnya yang dulu dan yang baru keluar Jayalah Partaiku. Tapi, Yong mengatakan tidak mau menjadi caleg karena kalau terpilih tidak bisa bebas lagi mengkritik.

Akhirnya, dapat dikatakan bahwa perkembangan lagu pop Bali sejak kelahirannya tahun 1960-an hingga maraknya lagu-lagu bertema politik dalam dua pemilu terakhir (1999 dan 2004) berkaitan erat dengan dinamika politik. Bebasnya lagu Bali dari pencekalan dan sensor adalah karena pencipta dan penyanyi pop Bali mampu memainkan politik sesuai dengan jiwa zamannya. Mereka tahu kapan harus menyanyikan lagu asmara dan kapan harus mendendangkan lagu bertema kritik sosial dan politik untuk menyuarakan inspirasi masyarakatnya tanpa harus berhadapan dengan kekuasaan. Itulah politik lagu pop Bali.

I Nyoman Darma Putra Dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Anggota Juri Pemilihan Lagu Pop Bali “Gita Denpost Award 2004”, Februari 2004